bahasa yang termenung

Hudan Hidayat

bahasa yang termenung – senja di pelabuhan kecil sering disebut orang, dunia puisi beda dengan dunia prosa. dalam puisi, sang penyair bertaruh pada bentuk. yakni sebuah ciptaan yang tak beralur dan tak berplot dalam tokoh tokoh pembentuk konflik (dan konflik konflik antar tokoh). mungkin, kini batasan seperti ini harus dan bisa kita terabas. seperti yang ditunjukkan dengan nyaris sempurna oleh penyair bergaya bebas rimbaud itu, yang puisinya telah saya tayangkan di jurnal sastra tuhan hudan – semusim di neraka. sebuah puisi yang, saya kira, telah mematahkan anggapan puisi tak beralur atau tak bertokoh dalam puisi. tak bersetting tempat dan waktu juga.

(penyair bebas membentuk puisinya sendiri) kalau kebebasan semacam itu telah di tangan, apa yang bisa dilakukan sang penyair dengan kebebasannya?

saya kira pertaruhan sebuah seni – seni puisi atau seni prosa, tetaplah pada makna. makna yang bukan datang dari gugus nilai semata. tapi bisa pula datang dari cara sang penyair menyusun puisi. seperti yang telah diperagakan oleh penyair m aan mansyur, atau bernard batubara itu. di mana di sana, konvensi pembentuk puisi seolah diayun ayun ke dalam bahasa yang hendak dicari oleh sang penyair. Bahasa seolah membentuk tarian seperti yang diniat oleh sang penyair – menari dengan bahasa. bahasa membentuk tarian seolah bahasa itu sendiri menukar nukar dirinya, berganti ganti posisi dalam struktur puisi.

(puisi hidup kembali, sebagai pantulan dunia peristiwa dan dunia benda, yang memantul ke dalam dunia puisi) padatnya perasaan, hampanya hati, marah dan kecewa dalam hidup, seolah berkumpul ke dalam tangan sang penyair. penyair bisa merasakan tiap tekstur, dari detilnya tiap debur – debur hati. tapi saat dia mengolahnya ke dalam bentuk puisi, segera ia dihadang dua ancaman besar: ancaman tehnik, ancaman mengkonkretkan tiap abstraksi – ide, atau dunia sepi itu. atau marah dan kecewa itu. pada titik ini, sang penyair mengalami laju bahasa atau bahasa yang termenung, dalam niatnya membuat puisi.

chairil anwar menahan laju bahasa, masuk ke dalam bahasa yang termenung, saya kira dalam puisinya senja di pelabuhan kecil. di sana dunia sepi, atau dunia sendiri dari eksistensi manusia yang memang sendiri, adalah dunia perasaan yang berbentuk abstrak. ada, bisa dirasakan, tapi tak teraba. tak berbentuk seolah bayang diri. sang penyair memberinya bentuk, ke dalam benda ke dalam peristiwa dan ke dalam sebuah setting waktu dan tempat juga. sehingga sepi atau sendiri itu mewujud, bisa kita kenali dari indera indera dan bisa kita rasakan getar getarnya ke dalam jiwa.

tapi tidak cukup. sang penyair pun membentuk, atau menemukan, laju bahasa yang tertahan, ditahannya ke dalam bahasa yang termenung. bahasa yang seolah bergumam pada dirinya sendiri. seolah ia sedang menuliskan sebuah diary dari rahasia hidupnya – hanya ia yang tahu. hanya untuk dirinya saja tulisan itu. ini kali tidak ada yang mencari cinta, katanya.

dan lihatlah betapa sang penyair mati muda itu telah mengolah bahasa – mengapa tak disebutnya: aku mencari cinta. aku mencari cinta, seolah sebuah bahasa yang kehilangan bobot, seolah massa sepi itu, atau sendiri itu, cair oleh laju bahasa yang tak ditahan: aku mencari cinta. tapi lihatlah, hanya dengan menukar posisi dalam gramatika bahasa: kali ini yang dibalik menjadi ini kali, jarak yang dilepas oleh chairil dengan memindah pengucapan (bukan saya), seolah mensugesti pada setting di mana bahasa itu dilepaskan (di sebuah senja di sebuah pelabuhan kecil).

maka ini kali tak ada yang mencari cinta seolah menjadi seorang anak yang telah kehilangan induknya. iya menjadi piatu dalam bahasa: tak berstatus manusia pengucap bahasa. tapi kita tahu, sang aku liriklah pengucap bahasa itu: diucapkannya bahasa itu untuk menekan semaksimal bentuk sepi dan sendiri itu. bahasa yang dilepaskannya dari temalinya dengan setting waktu dan setting tempat. bahasa yang keluar dari dirinya sendiri. bergetar dan menjalar ke dalam tempat di mana bahasa itu bermain. tempat sepi dari bahasa yang meniat sepi dalam dirinya sendiri.

(bahasa itu menemukan bentuknya sendiri. seolah mur menemukan bautnya sendiri) maka semacam intro dalam musik, melodi – ini kali tak ada yang mencari cinta – itu pun masuk ke dalam sebuah struktur musik berwajah kesunyian, dari seseorang yang memindahkan kesunyian dirinya ke dalam bentuk benda dan peristiwa di pelabuhan kecil, di saat senja.

ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. kapal, perahu tidak berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

lihat betapa hampa di sana menjalar dan bergetar kepada pembacanya. hampa yang kosong dari situasi yang seolah berhenti semua: perahu tidak berlaut, gudang, rumah tua, cerita, semua adalah situasi kosong, situasi di mana tak ada apa apa kecuali sang aku lirik, dan kita pembaca, yang berhadapan dengan dirinya sendiri. melangkah pelan dalam bahasa, termenung melalui bahasa. benda pun mengecil: kapal berubah menjadi perahu, optimisme terasa utopia (menghembsus diri dalam mempercaya mau berpaut)

(puisi menjalar mencapai puncak pengucapan puisi) datang dari impulsi yang dimatangkan oleh situasi piatu dalam diri yang menjelma piatu dalam bahasa. sang penyair pun keluar dari lubang sakratul maut dari jiwanya sendiri. seolah bukan dia yang berucap tapi kedalaman jiwanya yang keluar, bertemu dengan suasana alam di sana. gerimis mempercepat kelam, katanya.

suara yang datang bukan dari dunia kesadaran tapi dari dunia tak sadar dari manusia yang bermenung dengan dirinya sendiri. Penemuan bahasa genial dalam larik ini belum berhenti. letusan jiwa sang penyair belum selesai. ia belum bangkit dari trance dalam bahasa. menahan laju bahasa, membuat bahasa itu sendiri termenung. Untuk menemukan puncak kejeniusannya dalam dunia puisi. menemukan bahasa puisi seperti terbaca di larik larik ini.

ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. tidak bergerak
dan kini tanah dan air kini tidur hilang ombak.

charil yang besar, chairil yang menemukan dunia puisi dalam letusan
sepi dan sendiri dalam kata katanya.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *