Melestarikan yang Keramat

Sapardi Djoko Damono *
Majalah Tempo, 24 Nov 2014

Negeri ini memiliki banyak bahasa, adat-istiadat, kesenian—semuanya menjadi bagian dari kebudayaan yang bineka. “Semuanya perlu dilestarikan,” kata orang. Di samping itu, kita memiliki banyak hari besar—beberapa di antaranya mencapai taraf sebagai hari libur nasional—dan semuanya perlu dikeramatkan. Bahasa Jawa harus dilestarikan, 10 November dianggap keramat. Dalam perjalanan bangsa ini, setiap kali ada saja usul dari kelompok, suku bangsa, dan etnis untuk melestarikan dan mengeramatkan yang ini dan yang itu. Pernahkah kita khawatir, kalau semua dituruti, sepanjang tahun kita libur untuk merayakan barang keramat yang kita setujui untuk dilestarikan itu?

Kekhawatiran itu mengada-ada karena setiap ada usul untuk melestarikan dan mengeramatkan tokoh, benda budaya, dan peristiwa, selalu timbul silang pendapat yang menolak, menunda, atau “mempertimbangkan” usul apa pun. Dalam kenyataannya toh masih ada bisik-bisik atau teriakan untuk menetapkan si Badu atau si Waru sebagai pahlawan nasional—yang diharapkan bisa menjadi landasan atau tonggak bagi konsep pelestarian dan pengeramatan bangsa, suku, atau golongan tertentu. Itu semua, saya pikir, baik-baik saja dan tidak perlu menimbulkan rasa khawatir bahwa kelak di kemudian hari semua tanggal di semua bulan kalender dinding kita berwarna merah.

Namun kata “lestari” dan “keramat” bisa saja membuat kita bertanya-tanya apa sebenarnya yang sesungguhnya kita inginkan dan maksudkan dengan niat baik untuk melestarikan dan mengeramatkan itu.

Saya orang Jawa, jadi perkenankan mengambil wayang sebagai pokok perbincangan pertama. Wayang adalah kesenian adiluhung yang memiliki sumbangan nyata dalam pembentukan cara berpikir, norma, dan nilai-nilai dalam kebudayaan Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang memiliki struktur yang mencakup sejumlah unsur yang tidak hanya berkaitan dengan bahasa, tapi juga yang sangkut-menyangkut dengan penerimaan kita lewat pancaindra. Yang adiluhung harus dilestarikan, begitu yang terdengar dalam kongres bahasa dan budaya, atau lewat pernyataan tokoh atau pejabat. Semua itu biasanya disuarakan dengan keras hingga sember dan dengan taraf keyakinan yang sangat tinggi sehingga malah tidak meyakinkan.

Tentu salah saya sendiri kalau selama ini merasa terganggu dengan penggunaan kata “pelestarian” dalam konteks yang demikian itu. Pasalnya sederhana, yang biangnya adalah proses akuisisi kebahasaan saya. Dalam lingkungan kebudayaan Jawa saya, lestari adalah bahasa ngoko yang krama-nya adalah lestantun. Dan kalau ada orang yang menyatakan bahwa seseorang sampun lestantun berarti yang disebut itu sudah meninggal dunia—sudah tidak bisa berubah lagi, sudah masuk alam kekal. Saya mencoba mencari “lestari” dalam Baoesastra Mlajoe-Djawa (Balé-Poestaka,1922) karya R. Sasra­soeganda; kata itu tidak ada. Dalam Baoe­sastra Indonesia-Djawi (Tjap-tjapan kaping tiga, 2605) karya W.J.S. Poerwadarminta, yang dicetak Balé Pustaka pada zaman Jepang, kata itu pun tidak ada. Baoesastra artinya kamus.

Dan ketika mencarinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), saya menemukannya. Definisinya: “tetap seperti keadaan semula; tidak berubah; bertahan; kekal”. Agaknya kata “lestari” belum tercatat sampai dengan zaman Jepang dan mungkin baru masuk kamus sejak Kemerdekaan.

Penelusuran saya mendapatkan kata “keramat” dalam kedua kamus yang saya sebut terdahulu. Definisi kamus 1922, “kramat, soetji toemr. wong, koeboeran, omah”; kamus zaman Jepang mendefinisikannya sebagai “1 kramat, soetji tmr. koeboeran lsp.” Rupanya, dalam tafsiran orang Jawa waktu itu, kata “keramat” berkaitan dengan “suci, untuk orang, kuburan, dan rumah”.

Dalam konteks demikianlah saya suka bertanya: apakah orang Jawa menginginkan wayang kulit, upacara perkawinan, dan dongeng seperti keadaan semula dan tidak berubah? Apakah kita juga ingin Hari Kemerdekaan menjadi kuburan? Agar kebudayaan berjalan wajar, segala sesuatunya harus senantiasa berubah. Wayang hanya bisa bertahan kalau selalu berubah. Hari Kemerdekaan akan meriah kalau tidak dianggap kuburan.

*) Sastrawan
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2014/11/24/melestarikan-yang-keramat/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *