Memandang Masalah ala Elsa

Sasti Gotama *

Beberapa orang mengatakan saya baperan. Tentu saja mereka salah. Perasaan saya hanya sedikit peka, serupa selapis tipis kulit ari yang mudah dikoyak kosmetik bermerkuri. Memang apa-apa saya pikirkan, kadang sampai terbawa dalam mimpi buruk atau membuat saya tak nafsu makan selama satu jam.

Kehalusan hati saya mudah koyak terutama jika ada kritik tajam, apalagi kritik di depan banyak orang, apalagi kritik yang saya pikir bukan karena kesalahan saya. Beberapa tahun lalu, seorang pasien pernah mencegat saya di koridor puskesmas dan mempertanyakan mengapa rujukannya tidak bisa diproses. Saya katakan, sudah saya buatkan rujukan, tinggal distempel saja di loket. Rupanya penyebabnya adalah BPJSnya tidak aktif karena ia sudah berbulan-bulan tidak membayar iuran. Ia marah kepada saya, kepada sistem BPJS yang tidak berbelaskasihan kepadanya (karena begitu ia tak melaksanakan kewajiban, akses kartu langsung diblokir), kepada negara yang menurutnya semena-mena terhadap orang susah, kepada seluruh alam semesta yang tak berpihak kepadanya.

Berjam-jam setelahnya, hati saya tak karuan. Bahkan dua mangkuk bakso pun tidak dapat meredakan. Mengapa orang berprasangka kepada saya, memaki-maki saya, dan menganggap saya bagian dari birokrasi berbelit-belit yang bahkan saya sendiri tidak terlibat dalam pergantian kebijakan yang “pagi dele sore tempe”.

Namun, beberapa waktu lalu, tanpa sengaja saya mendengarkan bincang-bincang santai antara host dengan seorang pramugara. Host menanyakan, bagaimana si pramugara bisa mengatur perasaannya dan tetap tersenyum saat mendapat komplain dari penumpang, misalnya mengenai keterlambatan penerbangan. “Ada trik sederhana,” ucap si pramugara. “Saya menganggap itu bukan masalah saya. Bukan berarti saya tidak peduli, tetapi apa yang penumpang keluhkan bukan ditujukan kepada saya pribadi, melainkan kepada maskapai. Saya menganggap diri saya berjarak dengan masalah, dan saya meminta maaf kepada penumpang atas nama maskapai, bukan atas nama saya, karena kesalahan bukan pada saya.”

Sebetulnya, ribuan tahun lalu, tepatnya pada 135 M, seorang filsuf, yaitu Epictetus, sudah merumuskannya dalam mazhab Stoa. Menurutnya, dalam menghadapi masalah, manusia perlu menafsirkan ulang permasalahan tersebut. Manusia perlu menjadikan dirinya seperti burung nasar yang sedang terbang dan melihat masalah dari ketinggian. Seperti halnya pramugara tersebut, yang mengambil jarak dari masalah, lalu memikirkan ulang: apakah ini adalah masalah yang memang disebabkan oleh kesalahannya secara langsung atau tidak; apakah masalah ini ada dalam kendalinya atau tidak. Jika ternyata masalah tersebut tidak diakibatkan kelalaiannya dan dirinya tak punya kontrol terhadap masalah tersebut, maka sebagaimana burung nasar di ketinggian, ia hanya perlu berterima terhadap masalah tersebut lalu terbang menjauh dari masalah tanpa melibatkan perasaan.

Keberjarakan terhadap masalah juga membuat kita menjadi lebih objektif. Seringkali saat kawan kita menceritakan suatu persoalan, dengan mudahnya kita melihat jalan keluar, lain halnya ketika masalah tersebut menimpa kita. Dengan menjadikan masalah itu berjarak dari kita, kita melihat masalah itu seolah bukan masalah kita sehingga kita dapat menemukan titik terang dari segala keruwetan. Sebagaimana perkataan putri Elsa: “It’s funny how some distance makes everything seem small.” Kelak ada masanya, ketika kita melihat masalah di masa lalu tampak kecil dan sepele.

Segala rumusan di atas mungkin tidak akan secara langsung menurunkan kepekaan perasaan saya yang setipis kulit ari. Walaupun begitu, sebisa mungkin saya menghindari hal-hal yang sama berbahayanya dengan kosmetik bermerkuri dalam mengoyak perasaan saya. Dan seperti halnya Elsa (saya curiga ia pernah berguru pada Epictetus), saya mungkin hanya perlu berkata, “Let it go”, mengibaskan jubah saya, dan berjalan lurus ke depan.
***

*) Sasti Gotama, kelahiran Malang yang tinggal di Cilacap. Beberapa cerpennya dimuat di media Kompas, Tempo, Minggu Pagi, Fajar Makassar, Detik, Ideide, dll. Karya terjemahannya; “Bagaimana Berdebat dengan Kucing”, “Narsisme”, dan “Etika Ambiguitas” (Circa). Buku antologi bersama; “Mimpi-mimpi Erina” (Cerpen dan Puisi Nomine Anugerah Sastra Ideide.id 2020), “Pandemi” (ProsaDiRumahAja, Indonesia Kaya, 2020), “Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya” (2020), “Gagak, Kelelawar, dan Firasat-firasat” (2020). Buku antologi tunggalnya; “Penafsir Mimpi” (2019). “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?” (2020) menjadi salah satu buku Karya Sastra Rekomendasi Tempo 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *