Sajak kepada Soeharto

Aguslia Hidayah
http://www.korantempo.com/

Sementara sekeliling penuh pesta tenjor jingga/ Tapi darah tumpah dijalan raya kampus Trisakti/ Tapi peluru berdesingan di ruas Semanggi…

Sajak berjudul Perjalanan Nusantara Sejuta Nuansa itu dibacakan penyair Diah Hadaning di di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Ahad lalu. Sejumlah penyair berkumpul dan membaca sajak dalam acara bertajuk “Soeharto dalam Sajak”.

Ada sejumlah penyair yang membacakan puisi dalam acara itu, antara lain Sihar Ramses Simatupang, Saut Situmorang, Endang Supryadi, Mahdiduri, dan Fikar W. Eda. Sajak-sajak yang mereka bacakan mengungkapkan sosok Soeharto dari sisi lain. Para penyair menyikapi Soeharto dengan cara yang kritis.

Berbagai persoalan selama kepemimpinan mantan presiden itu digugat, mulai pelanggaran hak asasi manusia sampai pembungkaman karya. “Dan itu (pembungkaman karya sastra) tak terbayarkan,” ujar Ketua Forum Sastrawan Indonesia Fikar W. Eda. Ada pula yang menggugat kebijakan Soeharto dengan nyanyian.

Acara ini tampak kontras dengan tayangan televisi yang lebih mengedepankan jasa-jasa jenderal besar yang pernah berkuasa selama 32 tahun itu. Dalam tayangan tersebut, sisi lain dari mantan penguasa itu tidak terkuak. “Acara ini membuka ruang dan refleksi terhadap Soeharto,” ujar Wowok Hesti Prabowo, ketua panitia acara itu.

Selain pembacaan puisi, ada refleksi sejarah tentang kepemimpinan Soeharto, yang diulas oleh mantan aktivis yang belum lama ini meluncurkan kumpulan puisinya, Fadjroel Rachman dan seniwati Ratna Sarumpaet.

Ratna, yang berselendang cokelat tua, tampak marah. “Karena kini aktivis banyak yang terinfeksi. Inilah akibatnya kalau semua orang ingin tampil sebagai orang baik,” ujarnya berapi-api.

Sementara itu, Fadjroel tampak kalem. Ia lebih memilih mengenang Soeharto dalam kacamata sensor dan indoktrinisasi orde baru. “Contohnya adalah penataran P4. Tafsir tentang Pancasila tercetak seperti beton,” ujarnya.

Pembunuhan karakter terhadap sastrawan Pramoedya Ananta Toer hingga kini masih menjadi amarah tersendiri di hati Fadjroel. “Karya-karyanya dianggap sebagai buku terlarang, karena takut yang membaca nanti jadi komunis,” ujarnya.

Tapi, ia melanjutkan, berkali-kali membaca karyanya, hingga kini tak terbesit keinginannya menjadi seorang komunis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *