Pertanyaan untuk Maman S. Mahayana, Kritikus Sastra Indonesia

Maman S. Mahayana
Pewawancara: Dony P. Herwanto

Kembali ke Akar Tradisi

Di sini (Korea.red) sudah jam sembilan malam Don. Begitu jawab Maman S. Mahayana, Kritikus Sastra Indonesia ketika wartawan Jurnal Bogor, Dony P. Herwanto menyapanya lewat jaringan pertemanan Facebook (FB). Maman yang tercatat sebagai warga Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor itu, kini tinggal di Korea. Alumnus Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) tahun 1986 itu juga tercatat sebagai Asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Depdiknas sejak 2000-sekarang, Konsultan Penerbit Balai Pustaka, Pembaca Ahli Jurnal Mahawangsa, Universiti Putra Malaysia, Pembaca Ahli Jurnal Asia Tenggara Hankuk University Korea, dan konsultan Jurnal Asia, jurnal dwibahasa Inggris-Korea, memuat khazanah sastra dari negara-negara Asia. Lantas, bagaimana Maman menilai perkembangan sastra dan peran sastrawan dalam pembentukan kebudayaan Indonesia? Berikut petikan wawancaranya.

{ margin-bottom: 0.21cm }
Sejauhmana posisi dan peranan sastrawan (Indonesia) dalam pembentukan kebudayaan Indonesia?

Ini pertanyaan bagus dan saya pikir, pertanyaan itu juga “mewakili” pandangan masyarakat atas posisi dan peranan sastrawan Indonesia dalam kehidupan kebangsaan kita. Untuk menjawab pertanyaan itu, saya coba kembali dulu ke belakang. Siapakah yang merumuskan konsep Tanah Air, Ibu Pertiwi, Tanah Tumpah Darah(ku) sebagai sebuah wilayah politik yang bernama Indonesia yang mencakupi keberadaan pulau-pulau yang membentang dari Sabang sampai Merouke? Coba baca puisi-puisi Mohammad Yamin. Maka, kita akan menemukan, penyair itulah yang melontarkan gagasan tentang Tanah Air Indonesia sebagai kesatuan wilayah politik. Yamin pula salah seorang yang merumuskan pernyataan Sumpah Pemuda itu. Bagaimana seorang penyair dapat berpikir jauh ke depan tentang konsep abstrak yang bernama Indonesia?

Siapa pula yang awalnya coba memikirkan tentang konsep kebudayaan Indonesia?

Coba perhatikan pula pemikiran Ajip Rosidi tahun 1950-an dan usaha sastrawan Angkatan 70-an (Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, dll) yang terkenal dengan gagasannya “Kembali ke Akar kembali ke tradisi”. Jika pemikiran para sastrawan itu ditarik ke wilayah politik, itulah yang sekarang ini berlaku di berbagai daerah: Otonomi Daerah? Jadi, para sastrawan sudah memikirkan, pentingnya sastrawan mengangkat kekayaan wilayahnya sejak tahun 1950-an itu yang lalu semarak tahun 1970-an.

Sudah sejauh mana Anda menilai perkembangan sastra nusantara saat ini?

Sebagai sastra Indonesia yang berkembang di wilayah Nusantara, adanya otonomi daerah memungkinkan mereka bergerak lebih leluasa, menerbitkan buku-buku sastra dan melakukan berbagai kegiatan sastra yang tentu saja akan sangat berpengaruh bagi dinamika kehidupan sastra. Jadi sekarang ini, munculnya sastrawan dari berbagai daerah itu, salah satunya tentu saja dimungkinkan oleh adanya keleluasaan mereka dalam melakukan pergerakannya yang tidak terkungkung sebatas bermain di wilayahnya sendiri. Kondisinya sekarang ini sangat baik dan akan lebih baik di masa yang akan datang.

Apa pendapat Anda terhadap kritik sastra yang kerap dituding mengalami krisis?

Jika masih ada yang beranggapan bahwa kritik sastra (Indonesia) mengalami krisis, jawabannya ada tiga kemungkinan (1) dia tidak memahami hakikat dan kategori kritik sastra, (2) dia tidak membaca sejarah, dan (3) tidak memahami kritik sastra sekaligus tidak tahu sejarah dan sekadar cari sensasi yang sebenarnya sudah sangat basi. Isu tentang kritik sastra mengalami krisis, itu isu yang -seperti tadi saya katakan-sangat basi, usang, dan kedaluwarsa. Lihatlah sejak awal tahun 1930-an, berapa banyak esai sastra, resensi buku sastra, biografi sastrawan, ulasan atas karya sastra. Itu semua adalah bagian dari kritik sastra. Cuma, esai-esai itu termasuk kategori kritik sastra umum.

Apa hubungan sastra dengan konteks perkembangan masyarakat?

Ada hal yang menarik dari pertanyaan ini, yaitu bahwa dalam perkembangan sastra Indonesia rupanya sering sangat dipengaruhi oleh perkembangan masyarakatnya. Maka, lihat saja, bagaimana sastra Indonesia awal (tahun 1920-an) tumbuh dan berbeda dengan sastra Indonesia (lama) lantaran ada perubahan yang terjadi di masyakarat. Begitu juga melihat karya-karya zaman Pujangga Baru, zaman Jepang, Angkatan 45, tahun 1950-an, Angkatan 66, Angkatan 70-an, sampai ke sastra kontemporer sekarang ini. Perubahan yang terjadi di masyarakat selalu diikuti dengan perubahan tema dan gaya pengucapan sastrawan Indonesia.

Cukupkah fungsi Koran dalam menjaga dinamika kehidupan sastra bagi, oleh dan untuk masyarakat kita?

Jika mengingat bahwa koran sekarang ini tidak terlepas dari tarik-menarik antara kepentingan komersial dan kepentingan ideal, maka menurut saya, fungsi koran dewasa ini sudah cukup memberi kontribusi. Sayangnya, banyak juga suratkabar yang lebih memilih iklan atau berita kriminal daripada memuat karya sastra. Padahal, pemuatan karya sastra atau esai sastra di suratkabar, apalagi ditulis oleh para pemula, itu sesungguhnya investasi kultural untuk masa depan. Mereka nanti akan menjadi penulis atau sastrawan andal yang karya-karya mereka itu dimuat.

Apakah Anda menilai ada usaha “meluruskan” sejarah sastra yang konon banyak diselewengkan?

Buku-buku sejarah sastra Indonesia memang perlu direvisi. Banyak hal yang harus diperbaiki, beberapa di antaranya menyangkut: (1) periodesasi yang tidak membuat dikotomi sastra Indonesia lama dan sastra Indonesia baru; (2) nama-sama sastrawan yang luput dari catatan sejarah; misalnya, peranan sastrawan peranakan Tionghoa, peranan suratkabar dalam ikut menyemarakkan kehidupan sastra, (3) pentingnya memasukkan persoalan di belakang lahirnya sebuah teks sastra, misalnya, bagaimana puisi “Tanah Air” Muhammad Yamin lahir dan apa yang melatarbelakangi gagasannya itu, (4) pentingnya memasukkan sastrawan yang berada di berbagai daerah sebagai bagian dari sastra Indonesia; bukankah Indonesia tidak akan lengkap tanpa daerah-daerah itu. Jadi, sastra Indonesia harus meliputi juga perkembangan dan dinamika sastra di berbagai daerah itu, (5) pentingnya melakukan inventarisasi komunitas-komunitas sastra di berbagai daerah di seluruh Indonesia untuk melengkapi peta sastra Indonesia.

Adakah tindakan nyata untuk melakukan perubahan itu?

Dinamika kehidupan sastra di berbagai daerah merupakan bentuk dari usaha melakukan perubahan itu. Termasuk terbitnya sejumlah buku baru (tentang kesusastraan Indonesia) yang mencoba pula melihat kawan-kawan sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia.

Apa yang Anda kerjakan di saat senggang?

Membaca dan menulis adalah bagian dar kehidupan saya sehari-hari. Membaca dan menulis dalam pengertian yang luas. Bukankah ketika kita sedang menunggu kereta, melihat lalu lalang pedagang asongan, itu juga bagian dari membaca (kehidupan). Bukankah ketika kita berada di atas pesawat dan asyik memandangi awan, itu juga bagian dari membaca (kebesaran Tuhan). Itu semua kemudian ditulis (pada kertas, atau dalam hati). Ketika kita melihat seorang pengemis, misalnya, di sana kita membaca, ada sesuuatu yan tak beres dari kehidupan bangsa ini. Kita membaca kehidupan di sekita kita. Lalu kita tulislah keprihatinan kita itu dalam hati dan pikiran kita, bagaimana kita berbuat sesuatu, betapapun kecilnya.
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *