Rekonstruksi Sejarah dalam Teks Sastra

Tjahjono Widijanto *
Koran Republika

Sastrawan sebagai kreator senantiasa berada pada dua titik ketegangan. Satu titik ia tidak dapat hidup di luar kenyataan, di titik yang lain ia tidak dapat menerima kenyataan. Teks sastra akibatnya harus hadir sebagai sebuah proses yang pada waktu bersamaan bersifat mengagungkan sekaligus mengingkari.

Karya sastra menjumpai pembaca untuk menyajikan sebuah realitas ideologis dengan merujuk pada realitas kongkret yang dialami oleh pengarang dan masyarakat pembacanya. Bisa jadi realitas ideologis merupakan counter atau tandingan dari realitas kongkret yang sedang terjadi.

Dalam menyajikan realitas ideologis paling tidak ada dua pilihan yang dapat ditempuh sastrawan. Ada sastrawan yang mencoba secara langsung memberikan penggambaran atau menawarkan penyosokan realitas yang belum pernah dialami masyarakat pembaca di zamannya. Sebagai contoh, roman Layar Terkembang. Roman ini jelas-jelas menjumpai pembacanya untuk menghadapi kenyataan baru yang sedang diidealkan dan diperjuangkan oleh pengarangnya, yakni perjuangan untuk merombak sistem nilai yang ditopang oleng adat, perilaku, dan sistem kekeluargaan ke arah manifestasi sistem sosial-budaya yang lebih egaliter dan ideal.

Tokoh Tuti dalam roman tersebut adalah wanita ‘ajaib’ yang belum pernah dijumpai pembacanya dalam realitas kongkret masa itu. Layar Terkembang tidak saja suatu manifestasi bentuk tetapi lebih merupakan manifestasi idealisme tentang manusia Indonesia baru yang digagas oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Penawaran realitas ideologis dengan cara ini dapat pula dijumpai dalam novel Burung-burung Rantau (JB Mangunwijaya), Para Priyayi (Umar Khayam), atau Saman (Ayu Utami). Pilihan atau cara kedua, realitas ideologis disampaikan dengan memanfatkan peristiwa kesejarahan. Pengarang tidak mengambil posisi yang linier dengan sejarah “resmi” yang dianggap syah dan benar oleh penguasa atau masyarakat umum, tetapi justru mengambil posisi berseberangan dengan sejarah “resmi”.

Pada pilihan ini pengarang mengolah bahan-bahan sejarah lebih eksploratif. Sejarah “resmi” yang sudah ada tidak dianggap sebagai realitas tunggal yang mesti benar dan sahih, pengarang cenderung mengolah sejarah itu sebagai salah satu realitas yang harus dipertanyakan kembali. Bahkan dalam mengolah bahan sejarah itu seringkali pengarang menampilkan tokoh yang dalam sejarah “resmi” tidak diperhitungkan sama sekali. Tetapi justru dengan mengankat tokoh dari peristiwa yang tidak dipandang sebelah mata itu pengarang menggugat ketunggalan sejarah dengan merekontruksi sejarah sekaligus menyampaikan sebuah realitas ideologis.

Dalam merekontruksi sejarah melaui teks sastra pengarang tidak mendekati sejarah melalui pendekatan monumental tetapi lebih cenderung pada pendekatan antikurian dan pendekatan kritis. Melalui pendekatan antikurian, pengarang tidak memandang sejarah semata-mata sebagai penyimpan peristiwa-peristiwa besar kemanusiaan dari masa lalu supaya tidak ditelan waktu, namun lebih terfokus memandang sejarah sebagai sebuah kesadaran identitas lampau yang berkesinambungan dan memberikan arah masa depan.

Sedangkan dengan pendekatan kritis, pengarang membuka kemungkinan untuk menguji, mengkaji ulang, dan menafsirkan kembali peristiwa masa lampau untuk kepentingan masa datang. Sejarah diperlakukan sebagai suatu organesme yang berkembang dan lahir kembali sebagai sebuah siklus alamiah peradaban manusia yang dapat menjadi persoalan abadi bagi manusia sebagai pembentuk peradaban.

Rekontruksi sejarah yang dilakukan pengarang pada dasarnya ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa dalam menilai masa lampau selalu ada dua hal yang saling mempengaruhi. Pertama, hubungan kita dengan masa kini. Dan kedua, tanggapan kita terhadap masa lampau. Ketidakpuasan atau kekecewaan terhadap masa kini dapat menyebabkan kita mengidealkan masa lampau, atau dengan kata lain, kita kembali ke masa lampau untuk menyadarkan akan ketaksempurnaan dan kebobrokan masa kini.

Masa lalu dapat menjadi cermin untuk mematut diri di masa kini sekaligus menjadi kitab referensi menghadapi masa yang akan datang, meskipun tentu saja referensi ini tidak bersifat formal, kaku dan absolut tetapi lebih menghadirkan subtansial-subtansial masalah yang mungkin terulang dalam wujud material yang berbeda.

Dengan demikian oleh sastrawan sejarah tidak dibeberkan sebagai fakta telanjang seperti halnya kelompok annals dari Perancis yang memandang sejarah terbatas pada hubungan waktu dan kronologis semata-mata. Tidak hanya memandang sejarah sebagai past significane (hanya penting untuk peristiwa masa lampau), tetapi secara kreatif mencoba memandang sejarah dengan hubungannya dengan masa kini (present meaning) bahkan pada masa yang kelak akan datang.Hal ini tampak pada novel-novel karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan generasi yang lebih muda, Gus TF Sakai dengan novel Tambo.

Pada novel Arus Balik, Pramoedya mengambil setting masa transisisi pemerintahan Demak ke Pajang. Penguasa Demak saat itu Sultan Trenggana, memindahkan ibukota dari daerah pesisi ke pedalaman. Hal inilah yang menurut pemikiran Pram merupakan turning point kemunduran kebudayaan Jawa dan kebesaran Majapahit.

Kebudayaan Jawa yang di masa Majapahit dan dilanjutkan Demak sampai pemerintahan Patiunus sebenarnya merupakan produk kebudayaan laut atau maritim yang dinamis dan terbuka berubah menjadi kebudayaan agraris yang cenderung statis dan tertutup Dalam Arus Balik tokoh Sultan Trenggana yang dalm sejarah “resmi” dianggap sebagai hero justru oleh Pram dianggap sebagai biang keladi kemunduran generasi berikutnya yang mengakibatkan kebudayaan Jawa mengalami stagnasi.

Sedangkan dalam novel Tambo, Gus Tf Sakai mencoba menunjukkan bahwa sejarah yang meskipun merupakan masa lampau terpisah dari masa kini bukanlah sesuatu yang tidak berhubungan. Sesuatu yang terjadi pada masa lampau secara subtansial dapat saja terjadi dan dialami masa kini atau masa datang.

Dengan begitu, masa lampau sebenarnya tidak terpisah secara mutlak dari masa kini, ada benang halus yang menjembataninya yang mungkin saja benang halus itu berubah menjadi tali besar sehingga masa lampau itu berubah kembali kongkrit pada masa kini.

Kesinambungan masa lalu dan masa kini diperlihatkan pada diri tokoh Sutan yang memiliki dua masa, masa lalu dan masa kini. Sutan masa lalu bernama Sutan Balun adik Sutan Marajo Basa atau Adityawarman raja Minangkabau bertemu dalam alam mimpi dengan Sutan masa kini — Sutan Rido mahasiswa ‘abadi’ yang gelisah mencari akar sejarah dan identitas budayanya. Sutan Rido yang hidup pada masa kini mencoba menelusuri dan membangun sejarah masa lampaunya kembali melalui tokoh Sutan Balun. Terjadilah refleksi atau kilas balik sejarah kebudayaan dan peradabanyang digambarkan melalui perjuangan Sutan Balun membentuk peradaban baru Minangkaubau masa lampau.

Dalam novel Tambo diperlihatkan bagaimana sebuah sistem budaya lahir melalui proses pertukaran dan pengaruh-mempengaruhi antara budaya-budaya yang berlainan. Melalui dialog tokoh Sutan Balun dengan kakaknya Sutan Marajo Basa dipertemukan dua paham kebudayaan yang bertolak belakang. Sutan Marajo yang sejak kecil dibesarkan di Jawa (Majapahit) menganut paham sentralistik, sentripetal, dan otoriter dengan tumpuan pada pemujaan kekuatan perang berhadapan dengan konsep Sutan Balun yang lebih berpola desentralistik, sentrifugal dan egaliter.

Melalui diaolog tokoh-tokohnya, novel Tambo mengingatkan pada kita bahwa bipolarisme budaya dan warna lokal merupakan sebuah kewajaran, karena itu mestinya tidak perlu ditanggapi secara subyektif, emosional, politis dan dianggap “sara”, tetapi justru harus ditanggapi secara rasional, kritis dan intelektual.

Dengan begitu, secara kritis dan rasional dapat dikaji sisi-sisi kelemahan dan keunggulan kutub-kutub budaya serta signifikansinya bagi sebuah pertemuan dan dialektika antar-budaya yang fair dan balance.

*) Penyair dan pengamat sastra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *