Mengenal Sosok John H. McGlynn, Co-Founder Yayasan Lontar


(Co-Founder Yayasan Lontar, John H. McGlynn berpose di perpustakaan miliknya, foto Imam Husein, JP)

Andra Nur Oktaviani
Jawa Pos, 8 Sep 2015

Mengenal John H. McGlynn, Penerjemah Ratusan Karya Sastra Indonesia

Melalui Yayasan Lontar, John H. McGlynn terlibat dalam penerjemahan ratusan karya sastra Indonesia. Dia berjibaku mempersiapkan Indonesia sebagai tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015.

Bagi pria yang rambutnya telah memutih itu, Teeuw Award adalah kegembiraan sekaligus kesedihan. Dia bangga karena terpilih memenangi penghargaan bergengsi tersebut. Tapi juga masygul, karena menjadi orang terakhir yang menerimanya.

“Teeuw Award itu turut berkontribusi untuk sastra Indonesia. Sayangnya, ini yang terakhir” katanya dengan nada sedih. Sastra Indonesia memang menjadi bagian dari keseharian pria bernama John H. McGlynn tersebut. Mungkin bukan cinta pertamanya, tapi hampir pasti akan menjadi cinta terakhirnya.

Puluhan tahun sudah McGlynn turut merawat puisi, novel, atau esai karya para sastrawan negeri yang telah ditinggalinya sejak 1976 itu melalui Yayasan Lontar. Dia mendirikan yayasan tersebut pada 28 Oktober 1987 bersama sejumlah pendekar sastra tanah air, yakni Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, dan Subagio Sastrowardoyo.

Di Lontar, pria kelahiran Cazenovia, Wisconsin, Amerika Serikat, itu menjadi penerjemah, editor, sekaligus penerbit. Pengabdian panjang itulah yang akhirnya membuat dia terpilih memenangi Teeuw Award bersama peneliti Belanda Hedi Hinzler.

“McGlynn menjadi orang non-Indonesia dan Belanda pertama yang dianugerahi award yang didedikasikan untuk mendiang Andries ‘Hans’ Teeuw itu. Dia adalah guru besar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Leiden, Belanda. Goenawan (Mohamad) yang pertama memenanginya (pada 1992). Saya yang memungkasinya,” katanya dalam bahasa Indonesia yang sangat lancar.
***

Sosok John H. McGlynn, Cinta Pertama Tertambat Melalui Wayang

Hingga kini, John H. McGlynn setidaknya sudah 200 buku dengan 500 pengarang yang telah dialihbahasakan dan diterbitkan Lontar. Mulai yang klasik seperti Sitti Nurbaya sampai yang kontemporer macam Supernova.

Buku sastra pertama yang diterjemahkan McGlynn adalah kumpulan puisi karya Sapardi yang diberi judul Watercolor Poems. Sesudahnya, di fase awal berdiri, Lontar berfokus pada karya-karya klasik seperti milik Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane.

“John (McGlynn) memang sangat berkomitmen memperkenalkan sastra Indonesia ke publik internasional,” ucap sastrawan Okky Madasari yang pernah bekerja sama dengan McGlynn di ASEAN Literary Festival 2015.

Padahal, cinta pertama McGlynn dengan Indonesia tertambat bukan lewat puisi, cerpen, atau novel, melainkan melalui wayang. Ketika itu, awal 1970-an, penggemar baju batik tersebut adalah mahasiswa Seni Desain dan Teater Universitas Wisconsin.

Kebetulan, salah seorang dosennya yang habis berkunjung ke Indonesia membawa pulang wayang kulit. Begitu melihatnya, McGlynn langsung jatuh hati. Namun, dia tidak tahu bagaimana cara memainkannya. McGlynn pun lalu mencari guru. Ditemukanlah seorang dalang dari Indonesia yang sedang mengajar di California. Tanpa pikir panjang, McGlynn pun mendatangi sang dalang untuk belajar.

Pada 1976, setelah intensif belajar bahasa Indonesia, akhirnya McGlynn pergi ke Indonesia. Tujuan pertamanya adalah Malang. Tiga bulan belajar mendalang di sana, McGlynn lalu pindah ke Jakarta untuk belajar di Universitas Indonesia.

Tidak hanya belajar di kelas, McGlynn juga terbilang rajin menyaksikan berbagai pertunjukan budaya. Salah satunya yang digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM). Di sana juga dia berkenalan dengan banyak seniman dan penulis. “Semakin lama bahasa Indonesia saya semakin lancar. Saya jadi sering dimintai tolong untuk menerjemahkan,” kenangnya.

Pada awal berdirinya, Lontar hanya mampu menerjemahkan satu hingga dua karya dalam setahun. Maklum, McGlynn hanya bekerja sendiri. Kini karya terjemahan Lontar mencapai 10-15 buku dalam setahun dengan 250-300 penerjemah yang tercatat pernah bekerja sama.

Tapi, bukannya tidak ada kendala. Menurut McGlynn, di antara ratusan penerjemah itu, yang benar-benar berkualitas hanya sekitar sepuluh. Sisanya, dia mengaku lebih banyak mengeluarkan energi untuk mengedit ketimbang menerjemahkan sendiri. Kendala lain adalah masalah klasik penerbit buku: tak gampang menjual buku sastra. Buku yang dipuji kritikus seperti karya Pramoedya Ananta Toer pun belum tentu diminati pasar.

Meski kualitas kerap kalah oleh popularitas untuk urusan penjualan, Lontar tetap menjadikannya yang pertama sebagai indikator utama memilih buku yang digarap. Parameter itu terutama diterapkan dalam sepuluh tahun terakhir.

Sumber: Jawa Pos

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *