KIDUNG CINTA AMOY

Kirana Kejora

Ku berhenti di depan toko Orion. Suasana Kembang Jepun masih seperti dulu. Malam makin marak dengan aroma masakan China dan Suroboyoan. Kidung Kya-Kya, begitu ramai dengan polah arek-arek Suroboyo di kampung pecinan itu. Larutnya malam, tak membuat mereka beranjak dari tempatnya. Tetap santai menyenangkan perut, melegakan tenggorokan, dan menyamankan hati dengan berbagai hiburan di jalan itu. Kya-kya Kembang Jepun memang tiada duanya ketika kawasan itu semarak dengan malam budaya. The spirit of place, sajian arsitektur Tiongkok adalah sebuah kemutlakan. Kaya dengan apresiasi budaya. Dari musik keroncong, tarian dan musik klasik Tiongkok, hingga Barongsai anak-anak dan tari Ngremo Bocah. Belum lagi pagelaran acara bertema special, macam Shanghai Night, Dancing on the Street, dan Festival Bulan Purnama. Ah, aku jadi begitu rindu dengan kemeriahan kota lamaku. Tempat yang sarat dengan cerita suka sekaligus bersayat luka.

”Kamu china? Tinggal di Kembang Jepun?!”

”Iya Bunda. Ada masalah?” sahut Elang, sambil memegang tangan kanan bundanya senja itu di teras rumah mereka. Saat itu aku benar-benar bingung, sedih, kecewa, dan mati saja rasanya hati ini. Sudah kuduga, pasti bundanya tak bisa menerimaku. Perbedaan kami begitu banyak, etnis, agama, dan materi.

Bunda Elang hanya melirikku, lalu melengos meninggalkan kami berdua. Segera kubangkit dari kursi, dan aku secepatnya melangkah keluar teras. Meninggalkan rumah besar itu. Ku terjang derasnya hujan. Tak kugubris teriakan Elang.

Batinku menjerit, ”Kamu tak pernah punya daya arung sebagai lelaki Elang, namun kupaham. Karena trah, penerus dan pewaris tunggal Raden Priyo Kusumo membelenggumu akan sebuah pilihan. I know hon, ic. Never mind…”

Aku terus berjalan menyusuri jalan, memunguti puing-puing kehancuran hati dan cintaku senja itu. Aku harus kembali kuat seperti saat sebelum bertemu Elang. Seperti saat aku hidup sendiri, sebatang kara, karena mama meninggal tertabrak mobil angkut, ketika mau menggelar barang dagangannya di trotoar depan toko koko Hendra. Sedang papaku, sampai sekarang tak tahu rimbanya. Kata mama, sejak aku berusia 3 tahun, papa pergi sementara waktu sampai tak ada yang mencurigainya sebagai orang PKI. Dendamku pada sebuah Orde yang begitu bengis dan begitu mudah memvonis. Tak pernah berpikir begitu banyak memakan korban anak-anak yang psikologisnya menjadi tragis.

Terus kutelusuri riak-riak kecil air yang terkadang membanjiri jalan, dari jl. Sumatra hingga tak terasa aku telah sampai jl. Rajawali. Aku lelah sekali, tubuh semampaiku mulai kedinginan, menggigil. Dan tak terasa aku telah sampai di kamar kostku, di kawasan Kembang Jepun.

Semenjak itu, aku menghilang dari kehidupan Elang. Padahal di dalam rahimku telah ada benih cinta kami. Hanya untuk membuktikan bahwa aku tak sehina tuduhan bundanya, bahwa anak Kembang Jepun identik dengan keturunan geshia. Sebuah hal yang mustahil, ketika anak gadisnya masih perawan. Dan kami lakukan persetubuhan itu atas nama cinta. Kubuktikan kegadisanku pada Elang, sekaligus dia berharap dengan kehamilanku, bundanya mau merestui hubungan kami. Namun sebelum semuanya ini kami sampaikan kepada bundanya, aku memilih pergi setelah peristiwa senja itu, daripada sakitku makin tak bisa membuatku menikmati pernikahanku dengan Elang.

”Kamu perempuan bodoh me! Ndak cengli.”

Tak kuhiraukan kalimat seru cece Lani. Aku terus mengemasi semua pakaianku dari lemari kamar kostku.

”Kamu baru saja berkarir di dunia model karena Elang. Lalu kamu membiarkan dirimu hamil dan pergi darinya.”

Kulirik sejenak cece Lani, sahabat, teman satu kamarku, seorang waitress café di Kembang Jepun. Lalu kuhela nafas panjang, kuusap perutku yang mulai membuncit.

”Ada beberapa pilihan yang bisa kamu ambil. Minta pertanggungjawaban Elang, kawin lari, atau kamu gugurkan kandunganmu. Biar karirmu tak terganggu. Jangan bodohlah me.”

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Setelah selesai berkemas, kucium pipi cece Lani. ”Ndak tahulah ce. Kamsiya. Aku harus pergi.”

Cece Lani menghalangi langkahku, ditatapnya aku, mata sipit kami beradu, kubuang pandangku ke lantai ubin kamar. Lalu jemari tangan kanannya memegang daguku, dan diarahkan padanya.

”Me, terus ndik mana kamu ntik tinggal? Mau pergi kemana? Ntik yok apa dengan…”

Segera kupegang tangan kanannya, kupeluk tubuh mungilnya. Dia menangisi kepergianku. Tujuh tahun kami selalu bersama dalam keceriaan dan kesedihan, sebuah persahabatan yang terjalin karena sakit yang kami rasakan sama. Di jalan kami bertemu dan di jalan kami hidup bersama.

”Sudahlah ce, biarkan meme pilih jalan hidup yang sebenarnya.”

Semenjak itu kami hanya berhubungan lewat surat. Dan satu tahun kemudian dia menikah dengan koko Johan, sales marketing salah satu produk minuman di café tempatnya bekerja.

Keterpurukan masa laluku tak menjadikan aku mati jiwa. Dengan tabungan yang ku miliki, kuberanikan diri pijaki bumi Jakarta. Beruntung kontrakku dengan beberapa iklan masih menghasilkan royalti. Hingga aku bisa merawat kandunganku dengan baik, selain bisa mengontrak rumah mungil di pinggiran Jakarta, dan sanggup menggaji ning Ginah, pembantu yang kubawa dari Surabaya. Dia yang selama ini membantuku berjualan baju di kaki lima Kembang Jepun, sebelum Elang, seorang fotografer ternama di Surabaya menemukanku, mengajakku menjadi modelnya, lalu memacariku dan mengajakku menikah.

”Sungguh, kusisakan cinta itu buatmu, bukan berarti kau tersia dan terbuang hon. Namun ku memang tak bisa mengikisnya habis. Aku terluka karenamu, bukan karena kau telah menyakitiku, namun karena kau pernah datang dengan keseluruhan cintamu…buat Kemilau….buah cinta kita, aku panggil dia Key…kunci cinta kita hon…”

Kukirim email kepada Elang, terus mengalir saja tak henti satu tahun ini, namun tak pernah ada jawaban darinya. Akupun tak mau mencari dimana dia. Bagiku kehadiran Key sudah sangat berarti. Aku hanya ingin, dia tahu aku punya bukti cinta itu tetap untuknya.

Meski karirku sebagai model cemerlang, namun ku tetap tak bisa memberi keluarga yang sempurna bagi seorang Key. Hingga ku terima pinangan Erick, seorang manajer hotel tempatku menginap, ketika aku ada show di Paris. Dia lelaki romantis yang bisa membuatku melupakan Elang meski hanya sejenak.

Aku memang wanita pemuja suasana, yang begitu merindukan sebuah kelembutan hati dan belaian kasih yang bisa menjadikanku wanita seutuhnya.

”I wanna married with you.”

Aku begitu larut dengan Erick yang meminangku di kala sunrise di bawah ”Gadis Besi” menara karya Alexandre Gustave Eiffel itu.

Tiga bulan kemudian, kami mengikat janji suci, menikah di Champ de Mars, di bawah la tour Eiffel, semua mengalir begitu saja, bak aliran sungai Seine yang terus setia menyejukkan besi menara itu, ketika panas menyengatnya. Sebuah surga dunia yang tak pernah ada dalam impianku. Bulan madu yang indah dengan mengunjungi istana Versailles, aku merasa menjadi permaisuri Louis XVIII. Mungkin ini sebuah kemenanganku atas pertapaan batinku selama ini. Meskipun sejujurnya aku belum sepenuhnya punya cinta buat Erick, namun aku ingat pesan ning Ginah, menikahkah dengan orang yang mencintaimu, kelak kamu akan bahagia. Dan Erick bisa menerimaku apa adanya. Bagiku saat itu, aku ingin membina sebuah mahligai indah berumah tangga.

Setelah menikah dan tinggal di Paris, Tuhan belum juga menitipkan buah hati kami di dalam rahimku. Mungkin karena di sudut hatiku, masih begitu lekat bayang seorang Elang. Hingga tak ada keikhlasan rahim ini buat mengandung benih Erick, entahlah. Padahal, Erick begitu tulus mencintaiku dan Key.

Ternyata Tuhan hanya sembilan bulan menjodohkan kami, Erick meninggal dalam sebuah kecelakaan. Hatiku hancur karena aku harus menghadapi kenyataan pahit, aku kembali hidup hanya bertiga dengan Key dan ning Ginah. Lalu kuputuskan untuk kembali ke Indonesia. Aku memilih Surabaya karena bagiku, kota ini adalah ibuku. Aku selalu home sick dimanapun aku tinggal. Aku mulai membuka sebuah usaha, yang tak jauh dari keahlianku. Membuka butik di Pasar Atum.

Butikku makin maju. Hingga aku bertemu dengan Prima Laksana, seorang designer kondang Surabaya. Meskipun pekerjaannya akrab dengan dunia perempuan, namun Prima adalah lelaki macho dan begitu sempurna di mataku. Kami sering mengerjakan pekerjaan bersama-sama. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk menikah, setelah tujuh bulan berpacaran. Meski usianya lima tahun di bawahku. Aku sudah merasa mantap menyandarkan kelelahan hatiku padanya. Bagiku ini pernikahanku yang terakhir. Dia begitu bertanggung jawab pada keluarga dan sangat menyayangi Key.

”Benar kan kataku. Kamu bisa temukan lelaki yang lebih baik dari semua lelaki yang pernah ada dalam hatimu…”

Aku hanya manggut-manggut mendengar kalimat cece Lani, sambil memegang cincin berlian yang telah melingkari jari manis kananku lima bulan ini. Lalu kami masuk ke dalam Rembulan café di Tunjungan Plaza III. Kami rehat sebentar, capek banget setelah shoping seharian sekalian nostalgia, karena kami lama ndak jalan bareng.

”Belum ada tanda-tanda junior Prima di perutmu me?”

Aku mengelus perutku yang masih ramping, sambil menggeleng-gelengkan kepala, dan mengikuti cece Lani duduk di sudut kanan belakang cafe. Namun setelah duduk, pandanganku serasa tak nyaman dengan yang kulihat di samping kiri meja kami.

Aku kenal sekali dengan performance lelaki, dengan hem lengan panjang biru laut, yang hanya terlihat punggungnya itu. Aku terdiam, tak menggubris kalimat-kalimat cece Lani. Lalu cece Lani ikut terdiam, melihat ke meja samping kami.

Kedua tangan itu saling erat menggenggam, meremas, dan pasangan lelaki berhem biru itu menangis sesenggukan. Lamat-lamat kudengar kalimat-kalimat yang meluncur dari lelaki berhem biru itu, ketika nada musik cafe berhenti.

”Yakinlah, aku masih sayang kamu. Aku menikah karena buat status saja. Berapa kali harus kubilang? Toh kita masih bisa ketemu tiap hari…sudahlah…ragaku miliknya, tapi hatiku tetap milikmu…”

Rasanya saat itu aku ingin segera membubarkan pemandangan menjijikkan itu. Namun ragaku tak kuat, karena gemuruh detak sang jantung yang benar-benar tak bersahabat lagi dengan tubuhku. Prima Laksana ternyata seorang gay! Aku pingsan!

”Saudari Lilian dan saudara Prima Laksana …silakan masuk ke ruang sidang tiga…”

Tiba-tiba aku dikejutkan suara petugas Pengadilan Agama yang memanggilku ke ruang sidang. Aku memasuki ruang sidang ditemani cece Lani. Nampak di ruang sidang hanya ada pengacara suamiku.

”Sabar me..semoga gugatanmu menang…”

Kalimat cece Lani datar, dia turut merasa sangat bersalah, karena selama ini dialah yang mendorongku untuk menerima lamaran Prima. Maka dia terus setia menemaniku hingga putusan sidang berakhir.

Ketukan palu hakim, memenangkan gugatanku. Namun terasa hampa hatiku dan kosong pikiranku. Kalut tak bermakna rasanya hidup ini, sebuah kelelahan yang tak berkesudahan. Cece Lani lalu membimbingku keluar dari ruang sidang.

”Ijinkan aku datang dengan keseluruhan cintaku…”

Sebuah suara yang datar dan berat, yang pernah kukenal. Aku dan cece Lani menghentikan langkah di pelataran mobil. Kami mencari arah suara itu, di belakang kami. Kami menoleh. Lelaki dengan tampilan macho, celana dan jaket blue jeans, rambut terkuncir rapi ke belakang. Aku merasa, tiba-tiba menjadi arca tua yang siap roboh.

”Elang…!” Sempat kudengar kalimat cece Lani sebelum mataku berkunang-kunang dan dibopong Elang, dibawa masuk ke dalam mobil…batinku menjerit…honey!

”Cik, tolong mobile minggir…”

Suara tukang parkir dan ketukan tangannya di kaca mobilku, membuyarkan lamunanku malam itu. Segera aku menjalankan mobilku. Kulajukan pelan-pelan menyusuri sepanjang jalan Kembang Jepun, sambil kuhapus air mataku yang tiba-tiba begitu saja mengaliri tirus pipiku.

Batinku malam itu. ”Dimana kamu Elang? Rumahmupun telah sunyi tak berpenghuni..maafkan aku hon…”

Rumah Hijau, 230907, energi kepak elang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *