Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=233
Ketika dunia berupa kabut pekat, siapa berkata?
Manakala embun belum terlahir, siapa menggapai?
Di saat sejarah belum tercatat, siapa berbicara kata?
Wewaktu masih berupa potongan-potongan cahaya,
siapa yang dahulu menempati lautan es cahaya? (I: I).
Wanita ditakdirkan melahirkan anak-anaknya,
menyusui anak laki-laki dan perempuan (I: II).
Ia pembuka gerbang langit, ketika kitab waktu belum dipelajari (I: III).
Dia insan tertinggi di muka bumi,
karenanya kabut singkup, mega lenyap, wajah langit biru (I: IV).
Doa ibu mencipta senyum menafaskan angkasa
bagaikan gelombang ke pantai berulang-ulang (I: V).
Perawan cantik sejagat keturunan Hawa, kepadanya cahaya memancar
dan setiap lelaki yang dicintai, niscaya bermahkotakan raja (I: VI).
Menjadikan awan kerudung baginya,
lalu kegundahan menderas bagi menertawai (I: VII).
Begitu singkat keperjakaan memaknai sang gadis, maka melangkahlah
mengikuti harum kanthil menuju taman-taman jauh di sana (I: VIII).
Jangan paksa memegang sayap kekupu,
nanti meronta tinggalkan bekas luka, tangkaplah lewat pandangan saja,
lantaran dirinya telah memahami semerbak angin di udara (: IX).
Perempuan itu kembang di petamanan mimpi,
siapa tandas menghirup kedalamannya, misteri kelembutan bakal sampai
sehalus tirai kabut berwarna-warni di kutub Maha Kasih (I: X).
Bagi bangsa-bangsa menghormati moyangnya, wanita
menjadi panutan, selendang panjangnya menyeret lelangkah
dan dunia setuju, walau berkali-kali terhempas prahara (I: XI).
Ia menciptakan badai-badai maut membuncang,
memusar pisau-sakauw menjemput usia, batu-batu lebur tertiup olehnya (I: XII).
Sosoknya setegar angin ranum melintasi cakrawala,
dalam kelembutan dirinya menyimpan ketegasan (I: XIII).
Ia keindahan mengubur leluka di setiap lipatan rapi,
ia gula-gula yang menguasai pasar kebudayaan (I: XIV).
Keagungannya meneladani batin seniman,
para pemahat, para pelukis, pujangga juga penari
terlahir atas kobaran api semangat keabadiannya (I: XV).
Cinta setia, tulus membasuh lingga hingga tiada berdaya
dalam rengkuhan kasih, renggutan tangan sayang mesra (I: XVI).
Wanita membawa ruhmu ke puncak padang padat pasir lamunan
bagaikan rerumputan hijau bergoyangan atas bisik ketinggian (I: XVII).
Mereka tak sadar sudah melangkah jauh ke onak duri senyuman
yang mengekalkan kelanggengan perasaan (I: XVIII).
Begitu lama tuan meresapi yang tercinta,
namun siapa berkeputusan begitu mulia, bijak lagi mencengangkan dunia?
Dikaulah perempuan dari kerajaan-kerajaan misteri (I: XIX).
Saat mata memahami, tertangkap gambaran mendatang
pula sejarah sebelumnya, ia matahari, mata rajawali di Maospati,
segala yang terlihat didapatkannya sebagai mangsa (I: XX).
Ia sang pemburu lihai, setiap kelepakan sayapnya mencabut nyawa pelena
sedangkan tarian jemarinya mengangkasa, menghapus papan hari-hari pembalasan
kepada bumi yang tak selamanya beredar (I: XXI).
Lentik jemarinya mengalirkan air dari hulu,
butiran embun gugur mengenangkan masa silam (I: XXII).
Gerimis selalu membuka tirai lembut dedaun jendela,
taman raya kembali menuai warna memberi harum mewangi
bagi kesejukan setiap perawan yang dipandang (I: XXIII).
Ratu perkasa jagad ini ialah kecantikan berhilir
sepenuh gemerincing kata-kata penyair (I: XXIV).
Tataplah kekasihmu segelombang samudra, sebab decak canda pantai
ada di depan mata, biru langit biru lautan bersatu mesra,
kerling tak pernah usai nan terus cari penentu (I: XXV).
Kalau ruang langit pada benda-benda,
bentuk ganjil memberi makna yang belum terlahir (I: XXVI).
Keakuan mata berkekuatan, percikkan api menyepuh batu delima,
jati diri utuh bola matanya, dan takdir terdukung ketajaman mata jiwa (I: XXVII).
Sebagian pendapat mata adalah bahasa kalbu,
mata jelita ketika kantuk terlihat sendu (I: XXVIII).
Siapa memasang penglihatannya tiap malam,
siangnya sayu penangkapan, dan bagi penyaksi
menghirau lelangkah magnit purnama (I: XXIX).
Perempuan diberi kejelian lebih, ia sanggup meramal lelaki
walau tanpa terlebih dulu berkenalan (I: XXX).
Bila ada sosok jelita boleh dibeli bola matanya seharga diriku,
maka aku sangatlah beruntung setuju (I: XXXI).
Alis bahasa kedua dari mata,
jikalau seorang lelaki melihatnya selarik fajar merah
janganlah marah dirimu dikejar selamanya (I: XXXII).
Alis lengkungan pantai bagi tertambatnya perahu nelayan,
alis pebukitan karang memanjang bersimpan sumber ketegaran,
sedang lelaki mengharap damai di rimbun ketentraman (I: XXXIII).
Rawatlah alismu, maka pandanganmu akan jitu (I: XXXIV).
Alis lengkungan busur melesatkan anak panah sewaktu awan dalam jiwamu
dan sang cantik selalu menanti kedalaman lelaki pujaan jaman (I: XXXV).
Alis kerejutan tanda sedang diperhatikan
dari jarak tak terlihat dan terjangkau, alis perlambang gerak-gerikmu (I: XXXVI).
Alis kerudung kedua bagimu, bilamana alis dicukur habis
hilanglah bulan sabit menggantung anggun di tengah malam,
sementara lampu-lampu kota hanyalah hiasan (I: XXXVII).
Alis naungan merawat kepurnaan waktu, maka perhatikan
tidak kurang serupa memanjakan tubuh pesonamu (I: XXXVIII).
Tiada salah kaum lelaki memanjangkan rambut,
tetapi sejarah kodrat, kaum wanita lebih lembut dari lentera (I: XXXIX).
Itu rambut panjang tersisir seribukali dalam sehari,
beserta pemandang temukan kilau tiada terkirakan, dan kini
cukup dengan elusan lembut, menemukan kedamaian (I: XL).
Juga rapikan kukumu sebab itu lukisan jiwa pemiliknya,
potonglah sekali seminggu, dan di setiap harinya
eluslah sebagaimana menyucikan tubuh (I: XLI).
Bersih lentik perlambang perawatan badanmu,
mereka segera faham setelah membelai tetangkai jemarimu
yang terasa gemulai lewat jabat tangan perkenalan (I: XLII).
Pada perempuan pekerja, dirinya ada kelembutan lain
dan setiap insan memahami rabahan penuh kasih (I: XLIII).
Bibir selalu dibasahi puja sepohon jati kering berpuasa,
bunga mekar dicumbui embun telah lama dirinya putik
seperti ombak kuluman bibir samudera (I: XLIV).
Ia mengalirkan daya pesona, terimalah waktu di dasar renungan,
hasrat tumpah di jalanan membentang, gerak sadar pun ketaklumrahan (I: XLV).
Putaran ini, bumi merestui lelaki mendaki gunung gamping,
sementara kabut memberi kabar terbaik fajar menyingsing (I: XLVI).
Hadir ingatan lembut serupa bayu bersegala yang tersimpan,
ruang tanpa penyekat, setiap saat ada pengisi (I: XLVII).
Akan berkunjung bagi yang terpanggil, tergerak benang-benang halus,
setiap kehendak lelangkah dipersaksikan, tercatat di lembaran hayat (I: XLVIII).
Kalam menyeret mata pena dari titian cinta meninggalkan curiga,
mengekalkan janji setia secantik sepasang merpati berkejaran di udara
ialah insan diberi kasih dekapan mesra semesta (I: XLIX).
Laksana kisah uap membumbung ke angkasa jiwa
berkecupan di pucuk-pucuk daun disepuh cahaya rasa purnama
pada siratan kluwung, padang rumput memekarkan mahabbah (I: L).
Seumpama sayap lautan bertemu pantai, hati nan tergerai
gugusan bintang permata, pengikat bengi menggugah kelahiran berita (I: LI).
Sakit penuh terobati, ganjil terkelupas hening bercampur lebur,
kelopak-kelopak teratai merawat kerahasiaan malam,
menanti-nanti kehadiran seorang panutan (I: LII).
Walau malam tak seputih batu biduri atau susu murni,
ia tetap datang kepadamu, sebab rindu telah disampaikan awan (I: LIII).
Lintang hadir di pantai pedusunan, rumah membuka dedaun jendela, hasrat
bumi tersentak berdetak, luput dari pandangan memasuki alam temaram (I: LIV).
Ia di sisimu sampai lupa datangnya pertemuan,
melepaskan kejaran ke mana perginya (I: LV).
Tidak patut menyangkal kesungguhan, seharusnya kau dengar, selebihnya
jarak tak terjangkau dari dekat ingin tenang, menuju selimut pengasingan (I: LVI).
Ia melengkapi bila tersingsal, menyuguhkan batin di meja perkenalan,
anggur dinanti-nanti saat sungai mengering, sumber hujan datang kepadamu,
sawah-ladang dahaga memohon (I: LVII).
Dari puncak jauh air mengalir kemari, ke ladang-ladang kerontang
kecuali di kebun tebu, sebab kemarau menghadirkan gairah menantang manisan,
ini hasil perasan penuh kasih, berkeringat kerja sungguh memabukkan (I: LVIII).
Dalam perayaan, ia menarikan gemulainya bulu-bulu sayap burung merak
kala sang raja sedang berburu, itulah terbesar bagimu perihal jejiwa keagungan,
melenggak elok bersahabat, sahaja difahami, hikmahnya mudah didapat (I: LIX).
Marilah hadir bersama keindahan, membimbing kesadaran alam terdalam,
sia-sia dipenuhi hikmah, malapetaka jikalau ajaran berharga dibuat bangga (I: LX).
Bersama kilauan kabut marilah hadir melambai nan mengembang,
murnikan mutiara pagi hijau di jalanan membentang, sesulur awal perjumpaan
mentari walau gerimis, awan rindu sepenggala di tanah basah kelahiran (I: LXI).
Di punggung pebukitan, pesawahan padi tersapu bayu pengharapan,
mengibaskan rambut pepohonan cemara, isyaratkan pergantian musim,
merekam kenangan di setiap degupan, berlalu-lalangnya waktu (I: LXII).
Semulur bayu membawamu ke sana, wahai penanti kesegaran,
setiap petikan kata tertangkap ruhnya kepada jasad pergolakan
darah-daging tercabik mengikuti tarian jerami (I: LXIII).
Bongkahan kayu usia dari tungku masa silam,
menyisakan asap berabu hingga muksa menuju danau pelayaran (I: LXIV).
Hisaplah daun-daun malam melayang, tertangkap di terangnya bulan,
rerumputan terlelap, serangga berkidung di samping kau bercakap,
mengenai titah pujangga dari sepinya impian (I: LXV).
Mengguyur lemah membangkitkan kelahiran, kau bangun wajah berseri,
menyambut kekupu dari kepompong sutra hati (I: LXVI).
Mencipta senyum membayang sewaktu debarannya menguat,
matahari setinggi dahan akasia, heningnya memuncak,
mengisi jiwa tenggelam, debu berhamburan di sorot cahaya (I: LXVII).
Hadir tiada akhir bagi awal jawaban,
bentangan kesunyian berduyun saling memanggil, menanti bagian (I: LXVIII).
Batin isyaratkan anak telanjang dada, menikmati hembusan putri angin
di bawah pohon pada tanah kelahiran pertama (I: LXIX).
Kisahkan hikayat pertemuan sebelum perahu meluncur melaju
menelan gelombang demi badai, semakin menemukan kerahasiaan,
pertanda tujuh hari terlewati bagi gairah kabar di ujung abad (I: LXX).
Yang berdegup luruh, batu terkubur lapisan waktu kesungguhan lebur
di tanah moyang, ialah titah di setiap menyunggi kerinduan (I: LXXI).
Yang lelah tiada terasa, ketika memandang jalan di belakang terlihat awan
mengkumpulkan satu-persatu pegangan (I: LXXII).
Senyum terakhir, bekal pulang tidak terlupakan,
kekal dalam hati, tiada musnah ataupun muksa (I: LXXIII).
Secukup mimpi menyempurnakan bunga tidur di garis wajah,
tetapi tidak sanggup melupakan seluruhnya, itu bekas jejak ia tempuh (I: LXXIV).
Embun di daun jati menghabiskan siang kata bosan, digoyang dedahan
tak terusik sebab waktu belum bertibaan, sesal terucap tiada sampai (I: LXXV).
Apakah sedang bergelagat? Biarkan masa menajamkan lapar,
menerima pandangan kini disangsikan bagi cikal bakalnya langgam (I: LXXVI).
Berkacalah terlebih dulu sebelum ada yang datang ke kediamanmu,
ia di antara mereka, yang lenyap dalam cerminmu (I: LXXVII).
Ia tidak melebih-lebihkan yang ada, di hari nanti penuh diresapi
puting ibu oleh kesungguhan anak-anaknya (I: LXXVIII).
Beranjaklah dari ketersipuan menerima layang darinya,
keprasahajaan laku tiada jemu kegilaan menggapai masa
ialah syair gubahan alam berkembang di musim semi (I: LXXIX).
Menawarkan butiran garam di setiap pantai, buah korma di meja perjamuan,
kesegaran bau melati putih, serta mawar merah berduri (I: LXXX).
Kapas randu ditiup hawa kemarau pegunungan selatan,
masihkah terhempas di dada berdecak kagum kehidupan
akan rindunya malam berdegupan jaman (I: LXXXI).
Barangsiapa sakit menjelma kesaksian ke ujung jawaban
sebagai hakekat terciptanya ada sebelum kelahiran (I: LXXXII).
Bila yang hadir ketiadaan, sambut kekurangan darinya,
tidakkah murka langit melipat-lipat mega menjelma nyata di cakrawala (I: LXXXIII).
Tuhan memberi lebih kepada pupusnya dambaan, namun waktu senantiasa
datang dan pergi tiba-tiba, ini terawat bumi sehingga ada mengikisnya (I: LXXXIV).
Dibawa pergi mengendarai turangga sembrani meninggalkan masa menuju
pucuk-pucuk semesta, sedang para utusan mendekati beruapan kasih (I: LXXXV).
Kabut ganjil, sederap langkah paling lembut,
tetesan embun dilewatinya dalam kedamaian telaga,
menembusi abad nanti yang belum menjelma (I: LXXXVI).
Yang tersenyum menanggapi dengan kagum bergumam,
kalian tanpa bertanya dihantui kala mengikuti nurani (I: LXXXVII).
Semerbak kembang dengan tetangkai menjalar, mengantung di antara ruang
perjumpaan, itulah jelmaan asap dupa dari bumi berkisah keagungan (I: LXXXVIII).
Mereka terkesima geraian rambut jiwamu, jujur menerima persuaan
menghadirkan ketakterhinggaan perasaan, mimpi setengah dibangunkan
teringat nafasmu takkan luput, walau menjauh tinggalkan pantai (I: LXXXIX).
Memetik kembang paling anggun di jalan ia tempuh,
demi persembahan bagimu (I: XC).
Kini berdua setelah para malaikat meninggalkan suasana,
suka cita dibangunkan sayap-sayap seputih kapas randu kemarau,
kaki-kaki mengapit erat punggung turangga sembrani (I: XCI).
Lalu naik ke tingkatan langit paling tinggi,
tiada debu beterbangan, angin lembut melepaskan selendang (I: XCII).
Dan tidaklah perlu memertik sekar kembali di taman duniawi, sebab
di sisinya telah ada, kembang paling manusiawi di antara bunga surgawi (I: XCIII).
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.