(Interpretasi puisi Nurel Javissyarqi yang bertitel
“Duka Tangis Busa” dalam “Kitab Para Malaikat”)
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Tahun: 2013, Ukuran: A4
Media: Crayon on Paper
Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=211
Saat bayu menggeraikan anak-anakan rambutmu,
awan-gemawan berarak menutupi kulit cakrawala (XII: I).
Sayap-sayapnya membentangi bukit tiada gemintang,
lantas terdengarlah gending-gending berasal lereng pedusunan,
tempat muasal persinggahannya langgam tiada berbilang (XII: II).
Pada lembah selatan, tetembangan kadang sayu pula memburu,
tertiup musim dari belakang, atas tempaan jaman silam-semilam (XII: III).
Hari-hari tercurah air turjun tiada penghalang,
bagai melupakan siang pada bongkahan batu (XII: IV).
Tidurlah lelap, malam mendatangimu yang tak enak beranjak,
begitu pulas dihibur sebatang nyala lilin (XII: V).
Tidakkah bepergian? Jikalau menanti belum terbentuk keinginan,
memandang petani di lukisan, amat konyol terkagum tak ke sana (XII: VI).
Di saat menjemukan, percayalah terbebas, nyala obor kemerdekaan
mengepulkan asap menjilat pedut, atas pembakaran kayu semalam (XII: VII).
Bukankah sambillalu terkuasai gerak-gerik dari kesemayaman lunglai,
pohon jati musim kemarau daunnya terpendam menemui segaran (XII: VIII).
Hawa panas merontokkan daun-daun dilepas reranting tidak tersisa,
tinggal batang kering seakan mati, musim hujan mengembalikan lebat sayapnya,
bagai tak pernah terjadi gersang meranggas berpeluk nasib kerontang (XII: IX).
Bau-bau jerami tersulut nyala api, dinyanyian anak-anak tanah bencah,
bayu bersiulan pada kembang turi, sedang tubuh bambu menjulang suling,
daunnya berdendang, menggeraikan kemurnian hati pendatang (XII: X).
Syair menggiliat dari pucuk pena di panggung kertas putih,
menyambut awal kekosongan, melagukan perjuangan (XII: XI).
Merdunya senyum langit merekah di perkampungan,
segenggam debu disebar mengisi ruang panjang (XII: XII).
Menkremasi keris dipercikkan air suci upacara kembang,
mantra seunting sajak kenangan, di wajah saling pandang (XII: XIII).
Tubuh meliar di kamar terbatas, sejengkal-jengkal kesebalan,
waktu mengunyah bunga diam, batu beruap terbakar geram (XII: XIV).
Menelusuri kesunyian pekat sejauh hujan lebat gentayangan,
lenyap di antara was-was kepada batas perburuan gerimis (XII: XV).
Tidak lebih gemuruh samudra dalam dada penat, daun terseret arus
ke dasar rahasia, melarut waktumu, hanyut ditelan abad dilahirkan jaman (XII: XVI).
Bebatuan berserak di rahim semesta, tunduk runtuhnya masa ke tahta hati,
laksana petir menampar pohon, lahar tumpah mengubur badan candi (XII: XVII).
Penggalian sabda pujangga, mengangkat prasasti ular naga (XII: XVIII).
Di dalam percampuran, getaran ruh memasuki gairah abadi,
nyala cahaya meninggi kepada tingkat penglihatan hakiki (XII: XIX).
Berselendang pelangi, menghamburkan cahaya ke ubun-ubun
laksana kunang-kunang terbang malam diharumkan ingatan (XII: XX).
Pekabutan menyelimuti gelap berpendar tiada terjamah datangnya,
ia bawakan sekuntum janji menyetiai waktu demi pepucuk daun (XII: XXI).
Percayalah hidupnya seteguk mengkembalikan kenangan,
seawan ditiup kerendahan langit ketinggian bumi lebih berarti (XII: XXII).
Takdir terlahir sebelum embun tercipta, penantian penuh rindu
tinta bergolak mendidih, menggelegak parfum kental masa meruang abadi (XII: XXIII).
Selembar-lembar kertas putih bersuara, jadikan gelak tawa duka tangis busa,
tubuh semakin hangat di pantai senja, itu dahaga kangen pelaut terobati (XII: XXIV).
Ini butiran jangung terlempar ke pulau biru bernafas daun hijau (XII: XXV).
Ilalang kering melantunkan sabda angin bertarian asap perapian semalam,
kidungan lama terngiang menghentak di jalanan kenangan,
kaki-kaki kuda mengusik batu-batu dan debu tanah merah (XII: XXVI).
Seketika banjir berluap nalar diculik perasaan dirampok, bertahun
kehilangan dirimu, kereta lampau harmoninya pada rel sejarah (XII: XXVII).
Pada cermin pesolek, kabut lekang naas di kedalaman sensual jurang,
tercurah kejujuran denyutan mimpi prosesi basah,
tiada melarut di beranda kecuali percikan ruh sedari bara asmara (XII: XXVIII).
Ke kota lama, akrab bulan putih di ladang wengi, pejalan kaki berdebu
mendung mengapung, keringat beradu lembab, tidurnya temukan pipi sebelah
setipis kulit anggur atau kurma (XII: XXIX).
Masa mengajarkan memilih, sekejap berubah di tiap serpihan berdetak,
nasib bersulaman kehendak dan ketetapan masih kepada yang gaib (XII: XXX).
Setidaknya berkekuatan menentukan perubahan lewat pandangan dalam,
ini pengisian menghirup nyawa, denyutan aksara dentuman cahaya (XII: XXXI).
Bola-bola matamu mengartikan bentuk-warna pahit-manis kembang gula,
ada pada lidah anggun mencecap rasa (XII: XXXII).
Kau dendangkan kisah, sampurmu mengembalikan segala,
siapakah yang tertawa selagi kitab kewanitaannya di ujung putus asa?
Meringiskah, manakala algojo membabat leher lembutnya? (XII: XXXIII).
Ambillah kalbu persembahan, milikmu anggur perasan kesadaran,
akan darah kesunyian, serupa burung meninggalkan bayangan (XII: XXXIV)
; kepakannya melupakan silam, kini juga mendatang
tersebab bathinnya kesemsem pelita kekekalan (XII: XXXV).
Tangis tinta hitam mengharumkan kamar khusyukmu, langit mendung
irama ombak ke pulau serengkuh, sedetak nadi samudra membiru (XII: XXXVI).
Tinta habis tergantikan, sengaja tidak kan bertandang, berbulan terguncang,
menenangkan perahu jaman, demi pentas mengembalikan keyakinan (XII: XXXVII).
Tumpangan penjelajah menjadi perlambang, usah berbenci begitu dalam, ia
mengutuki diri, sumpah serapa takkan nekat di halus perawakanmu (XII: XXXVIII).
Ia tahu kau sungguh marah diterima, andai muak membaca,
cobalah simpan terlebih dulu, bukalah di kala senggang sangat lapang,
nantinya bakal mendapatkan persoalan sewajar tatapan (XII: XXXIX).
Masih tampak getarmu dari jauh, bukankah ia tengah lakukan?
Jiwa-jiwa lembut pertemuan ganjil, melihat diri berpandangan (XII: XL)
; pertama mengajak mengikuti mimpi, lainnya menyulam benang,
sedangkan kasih dan sayangnya, di antara kebimbangan mutlak (XII: XLI).
Dapatkan kebaikan diam di sekuntum senyum percakapan memikat
seolah dirantai kesadaran lain, ia tiang-tiang penyangga layar kapal (XII: XLII).
Adalah harapan berkepanjang, menemukan harum kembang di pesisir,
hadirmu mereronceng kembang, tujuh hari kemungkinan berabadi (XII: XLIII).
Lunglai lamunan tiada sanggup menggapai tinggal kenangan (XII: XLIV)
; merambat jiwa-jiwa pendaki pada puncak padat awan bersimpan kidungan,
itu kumpulan semut terapung, bagaikan kapal di permukaan air tenang (XII: XLV).
Sayap kaku bersalju, merunduk kerendahan awan seputih dingin memar,
serupa pesujud di kaki-kaki langit mengucurkan tangisan (XII: XLVI).
Terusik perapian berpijak, kabut melenturkan jemari daun
dan embun merawat denyutan sungai tiada terhingga (XII: XLVII).
Di mana tempat tidak memindahkan samudra,
walau pantai-pantainya tidaklah sama (XII: XLVIII).
Ruh setia takkan sontak, pelayaran mendarat pada ujung telatah,
memasuki hakekat, terdesak memberi atau dipaksa kondisi (XII: XLIX).
Pegunungan mendengkur dan beranjak siang kabut menjulang
mengharumkan kembang di lembah atas aliran sungai abadi (XII: L).
Butiran-butiran pasir dihempas ke pesisir,
suara-suara riuh terekam jaman kepada pantai dunia mendatang (XII: LI).
Fajar pun senja dedaunan kelapa, menyanyikan gubahan gemawan,
ketika kabut ketinggian purna, mengusap punggung kembara (XII: LII).
Sekali hentakan badai kepadamu, tapak kuda mengukir jalannya,
jauh jarak batin tertempuh, dayadinaya rindu menggerakkan kesadaran
menyusuri ladang ilalang terkira sebelum perjamuan (XII: LIII).
Bersua kepulan debu asap dupa,
burung-burung terbang menyisir kulit cakrawala (XII: LIV).
Siapa menarik-narik grafitasi sedari muka langit,
jiwanya kapas ditiup menurunkan benang (XII: LV).
Sesuci ladang retak tumbuh bersemi,
pandanganmu segera tahu keindahan (XII: LVI).
Oh gemawan laksana kuda terbang, dari pucuk-pucuk hijau,
kemungkinan daun-daun memahami datangnya matahari (XII: LVII).
Jika redup tertutup mendung, ayunan hari-hari di sepasang mata elang
serupa petikan anggur di kebun paling teduh, akrab bayu ribuan masa silammu
yang merindu kabar berita kekekalan (XII: LVIII).
Memetik renungan embun, cahaya mematangkan goyangan bimbang,
semua pun gugur, sedang mereka tak tahu, kita telah mencapainya (XII: LIX).
Tarian janur ditarik kebajikan, kau terima hembusan bayu jendela,
membuka langkah sepatu kalender panjang dunia penciptaan (XII: LX).
Marilah pulang kekasih,
sebelum senja di belakang, sedurung gelap di luar kemari (XII: LXI).
Hidangkan secangkir kehormatan, secawan roti di meja tua,
ajakan keikhlasan, harum diteguk penuh kesungguhan (XII: LXII).
Tiada tumpah habis tandas lupa pertemuan (XII: LXIII).
Sakit lupa berkesembuhan dengan menghafalkan tetembangan,
terngiang memahami diri, telah sampai laksana uap usah ditangkap,
rasakan terkumpulnya bulir-bulir embun di bajumu (XII: LXIV).
Atau resapi datangnya jiwa terbalut kulit daging hatimu,
kemarilah wajah lugu nan ayu, kepada musim bunga taman langit (XII: LXV).
Mengantarkan bau keagungan seribu kecupan, pada kelopakan merekah
atas lidah mentari menjilat tetangkai melengkung memahat jiwa (XII: LXVI).
Kalian penuh tanya dijawabnya berkecupan mesra
dengan kedipan mata kekupu baru bersinggah (XII: LXVII).
Di sebrang angan senyummu mengembang di pelataran, halus
ditumbui rerumputan di antara bebatuan setapak taman (XII: LXVIII)
; hisaplah nafas sesegar canda pemuda-pemudi menyirami jiwa
bunga bagimu untuk mereka sebagai kekisah istimewa (XII: LXIX).
Hatimu menggerayangi, kau menerima getar jiwa ruh cinta,
ikuti tarian sukma di panggung alunan nasib digubah (XII: LXX).
Ketika jauh teringat pituduh masa sebelum bersinggah,
tulisan inilah diterangi cahaya menangkap isinya (XII: LXXI).
Berkelana menuturkan tembang belum terdengar
atas kelahiran pinutur menggurat mega di angkasa senja,
bukankah lembar kalbu bertirai-tirai rasa malu? (XII: LXXII).
Kejujuran mengantarkan kejadian kata sebenarnya (XII: LXXIII).
Yang bebas bertemu di meja renungan terikat sebuku,
masa-masa mengikuti alur cerita bakal berangkat dari nafasmu (XII: LXXIV).
Senja semakin tenggelam dalam kebisuan malam,
adakah kau di belakang, berlalu kabut menutup pepintu rumah? (XII: LXXV).
Tangan-tangan keresahan di dada pemuda mencari pagi,
ingin kau kembali memetik sekuntum kembang mayang di hati (XII: LXXVI).
Merekah kecup sedalam nafas akhirmu
hingga seluruh tubuh mati rasa (XII: LXXVII).
Memasuki ruh jaman dirimu tersentak, mimpi terlempar ke jurang,
itu bayangmu melukis kelelawar digerakkan gelap malam (XII: LXXVIII).
Segelas kehormatan kau suguhkan di kota penuh warna,
cahaya lampu membenamkan rindu fajar terbit (XII: LXXIX).
Detak hati menyusuri sungai ke dataran panggung,
memiliki lekuk gelombang kesadaran hukum (XII: LXXX);
itu rintihan rantai kaki oleh senyummu
sanggup bertahan sampai kini (XII: LXXXI).
Penantian itu menebalkan lembar-lembar rindu, membebaskan penari
menghanyutkan jiwa-tubuh, mabuk meneguk menuang hasrat (XII: LXXXII).
Dada-dada penyaksi berdegup di setiap anak pantai menatap harap,
sukma mengeja terkubur padangan di perburuan mentari (XII: LXXXIII).
Ialah meresapi nafas-nafas letih yang tertanam di dasar bumi
dan ribuan pegunungan mengantarkan mata air hayati (XII: LXXXIV).
Semua mengangkasa bersama angin pegunungan menuruni lembah,
kala petir menampar burung menelusuri di rerimbun pohon (XII: LXXXV).
Jeritan dahan terlempar, namun para petani tetap membajak
bencah sawah dirinya, hujan tanam di musim bahagia (XII: LXXXVI).
Gerimis membangunkan wajah tersentak disiram muka siang, ia beranjak
sambil memunguti puntung, kala imaji habis ditelan kebisingan (XII: LXXXVII).
Di luar nalar-kalbu, mondar-mandir mencari jarum penentu, menyapu
ruang mengamati debu batas waktu, serupa penggali kubur (XII: LXXXVIII).
Beban lapar meringankan malam, gelombang dikejar bala tentara
berjubah fajar, hadir terik mentari berpendar di lautan (XII: LXXXIX).
Pantai kenangan merekam bayangan kaki-kaki bertelanjang
menyusuri pesisir ribuan mil dalam keyakinan menempa mencari (XII: XC)
; menelan masa tiada sadar merogok kantong bajunya yang sobek,
berjatuhan biji-biji jagung terlahir pada pedalaman penyadaran (XII: XCI).
Seteguk air tak hirau sakit menyerang-bersarang mendaki pebukitan,
khotbah laksana tetumbuhan mendukung jagad kelestarian alam (XII: XCII).
Datang bersuara serak setebal pintu tertampar,
menggedor dinding pertama, senyumnya seharum kembang padma (XII: XCIII).
Warna langit berubah tapi langkah kembara senantiasa terbimbing, apa
ini keheningan? Ia meninggalkan tempat, lenyap dari hadapan (XII: XCIV).
Menarik ujung pena, menari-nari merangkum rindu dari kumpulan
mata takdir bertemu, serupa cerutu tersulut hisapan menyandu (XII: XCV).
Ini gubahan tembang kenangan, daun-daun berdentang,
darah pemuda mengalirkan bara asmara di busur panah (XII: XCVI).
Yang melempengkan perut dekat tulang, nafasnya senyawa hilang
tarikan nasibnya menimba ilham kasih sayang setenang perawan (XII: XCVII).
Adalah menggantungkan hasrat pada lehermu paling jenjang,
seutas temali melingkar berharap lengan gelayutan mesra (XII: XCVIII).
Masih kau petik dawai jiwa mengeja pendakian tebing kalbumu, inilah
jurang terjal mempersilahkan batuan jatuh rompal ke dasar karang (XII: XCIX).
Ia masih berharap kau bersayap gemawan
melewati lembah menyeret suka duka (XII: C)
; awal gemetaran digoyang kesungguhan
adalah di hadapanmu kesaksian mereka (XII: CI).
Kesegaran hilir membawa ikan bermain deras di arus sungai batuan
cadas, lepaskan pengajaran menyisir rambut dikibas bayu pelepah (XII: CII).
Kau menjelma kabut menyelimuti malam-malam
kali mengikuti hawa sedap bersayap temaram (XII: CIII).
Yang santun melembutkan jiwamu menghadirkan dirinya,
menemukan tak terdengar ke dalam selubung kelembutan (XII: CIV)
; memperbesar buaian kandungan semesta dikerami bebijian hikmah,
kau meninggikan menembusi lipatan maya di dalam perut ibunda (XII: CV).
Kau tinggal mengikuti alur, naskah langit telah dipaparkan
serupa jejaring laba-laba ditarik memutari ketentuan (XII: CVI).
Manusia berjalan sederu debu hayat pengertian, atau inikah
nyala pada remang bimbang keteguhan, hadir demi akhir (XII: CVII).
Mereka menemukan rupa tidak menentu, relief tertimbun lumut waktu
dan terus setelah medapati kedalaman, memiliki lebih dari yang disandang,
seumpama kulit getah, pohon sanggup tegak bertahan olehnya (XII: CVIII).
Ia tak banyak bicara, yakin gerak tercepat senyummu di tempuh,
jalan bersambung-sinambung melompati daya reinkarnasi (XII: CIX).
Mengabaikan kesenangan demi ada meruh di dalam dadamu
berbenam rindu langit menebarkan awan di kota kaweruh (XII: CX)
; anak jaman gelisah, mendung berarak siang mengintai malam (XII: CXI).
Jemari tangan kaku, bendera diguyur kabut perasaan, anak negeri muntah
harta pencurian, dan kau hampir sejajar laut, sayang bertenggelaman (XII: CXII).
Menggedor debu tinggalkan tapak bayang penghabisan, rimbunan daun
menidurkan anak-anak berpeluk angin dedahan menerobos reranting pohonan,
warna-warna kalbumu atas pencarian sungguh mempesonakan (XII: CXIII).
Duduklah, ia kan mengisahkan yang kau alami nanti,
makhluk merayap pembawa kendali fikiran, dan kuda pacuan disebut nurani,
simaklah lapar-dahaga, agar merasa tiada keanehan serupa (XII: CXIV).
Keletihanmu sebelum ganjil mengkuasai diri, kau tahu
kesadaran sakit menuju puncak kerahasiaan sembuh (XII: CXV).
Datang mewabah perasaan berdebar,
duduklah dengan lemah-lembut, agar tutur katamu tidak blingsatan (XII: CXVI).
Tidakkah rantai pengikat tangan terputus dengan sekecup renungan?
Ini kemauannya, biar kau tahu pelajaran (XII: CXVII)
; hidup melempar pijar sinarmu sejauh getar gelisah
sebagai penyempurna pusaran nilai-nilai utama (XII: CXVIII).
—-
*) Pengelana dari Lamongan, Jawa Timur.