(Interpretasi puisi Nurel Javissyarqi yang bertitel
“Keinginan-keinginan Mulia” dalam “Kitab Para Malaikat”)
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Tahun: 2013, Ukuran: A4
Media: Crayon on Paper
Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=221
Deburan tinta hitam dihabiskan demi gairah kobaran,
langit bergemintang di dalam tungku kegelapan (VII: I).
Bebijian api memercik menerangkan malam,
berbara sebelum dijemput abu usia (VII: II).
Seyogyanya kau siap membaca,
walau pikun menguliti peristiwa (VII: III)
Didengarnya bayu pengajaran bimbang,
sedalam perasaanmu menguliti kemanusiaan (VII: IV).
Resapilah kedamaian ganjil di saat kekhusyukanmu,
esok takkan gusar pecahkan beling hening tumpahkan niatan,
dunia kecilmu telah sanggup berbuat adil (VII: V).
Seumpama gandul kalung, ini ketidaktenangan berharga,
beratnya murni sekencang was-was merestui pernikahan cinta,
dan dapat pula berprasangka serupa kawanan kabut purba (VII: VI).
Kau dengar para malaikat pada berbisik setelah mengintip dirimu
tiada risau lagi bekerja, kala nyawamu dalam timbangan kasihnya (VII: VII).
Menjalani kodrat yang terpanggil segera hadir,
pena tenggelam ke dasar kalbumu, mencipta garam di kebekuan waktu
yang berasal dari kesadaran nurani walau tanpa sesosok wajah (VII: VIII).
Hantu-hantu di barisan awal terlewati, muka penuh luka rasa malu,
selalu dikenang lukisan belaian memicu nyala cinta tersembunyi (VII: IX).
Biar lecutan badai menumbangkan pepohon, ranting menghujam
menghalangi mencapai ketinggian, kau takkan mengubah arah terbang,
cahaya kata-kata menembusi lapisan langit kebiruan pujangga (VII: X).
Kau masih membisu sepenantian lumut berkabut, ruh hayat menemanimu
di hamparan masa-masa membatu, di sini telinga menyimak kekhusyukan telaga,
rindu akan perbincangan reranting berfatwa kesegaran daun kalbu (VII: XI).
Tinta terus melaju, ujungnya segoresan tekad bertempur,
perhelatan niatan tumpah saling menindih menikam (VII: XII).
Tancapan pena menandai garis depan, arwah para sahabat berbicara
kehendak tak terikat, keyakinan mengalir dari tingginya kesadaran (VII: XIII).
Para pembawa beban berjalan setebal kertas menderita kehujanan,
kepekaan ini mendukung bulan hadir di ingatan,
jelaslah pandangan merekam percik yang lalu (VII: XIV).
Berhenti takkan puas walau mabuk persembahan,
maka kawinkan ruang-waktu dalam tempaan pelaku
sejauh kepakan sayap menjangkau hasrat dari ujung ke ujung (VII: XV).
Cahaya kata-kata, nafas kebiruan langit pada lembaran usia,
membuka tirai siang-malam diimpi, tiada terbakar kecuali manunggal (VII: XVI).
Buih membutuhkan deras air hujan, kau melayarkan tinta hitam,
lelangkah kaki seirama terbentuk nasib terbentur lapar dalam perjalanan (VII: XVII).
Dirimu menemukan bimbang membosan, menyakiti percaya utuh
menerima keremajaan fajar atas kematangan meninggalkan mainan (VII: XVIII).
Sehabis gerimis mengikuti, awan berarak sesuai aturan
sebentangan gelombang samudra masih terpenjara keraguan angin,
terhukum sulur pepucuk daun-daun pelepah pohon kelapa (VII: XIX).
Menanti mekar harum bunga dijatuhkan kecupan, kesabaran buah
terpelanting di telatah pendapa, kau ditunggu dalam gerbang pengampunan,
disambut senyum penerang jalan (VII: XX).
Tiada cukup hadir sepenggal, pertanyaan gentayangan mencari jawaban,
dan sampailah salam hujan di malam terang selepas bayu menjilat kabut (VII: XXI).
Itu syair membisikkan kelanggengan,
mengisi kekosongan jiwa melewati belahan sunyi (VII: XXII).
Jika tidak selesai diayun terus,
memburu hakekat putus di tangan pelena (VII: XXIII).
Takkan menulis sesuatu bagimu bila tak menyentuh keganjilan,
separuh tersendat, dan mengalir menuruni kesadaran ombak ke muara busa,
sedangkan kau bermata keyakinan pelayar paling pertama (VII: XXIV).
Gagang pena tercerabut dari botol tinta,
warna bencah tanah tumpah darah jiwanya (VII: XXV).
Semenjak awan-hujan berserak beradu tampar,
pecah lampu-lampu kota demi kegenapan gelap pemuda (VII: XXVI).
Barisan kelelawar memburu buah, bak gemintang rontok di telaga,
disebar dari ketinggian malam, datang musim baru melewati tirai-tirai cemara (VII: XXVII).
Angin selatan mengikuti lelangkah gairahmu perdengarkan sabda waktu,
tercurah dari cakrawala ke sumsum kalbumu, dan bumi berserah (VII: XXVIII).
Saat mengaduk relung terdalam, mengeluarkan isi jiwa
mengangkat gema suara kesendirian sukma (VII: XXIX).
Aduhai kalbu merana tak lagi bergolak, panaskan kristal kau simpan,
memberi penanti debaran serupa langkah malu-malu menghadap tersayang (VII: XXX).
Pada semenanjung jauh terdengarlah debar-deburan kalimahmu
memindahkan ruh jaman melarut, menuju keheningan mempesona (VII: XXXI).
Intiplah pesolek tengah malam menjatuhkan embun dedaun,
mengobati gelisa, sesegar jiwamu memulihkan keyakinan terdalam
sedari lorong keremangan, tangguh menuju cahaya ketabahan (VII: XXXII).
Sampailah bahasa angin yang mereka kira membisu,
alunan derai kesadaran menjemput kepastian (VII: XXXIII)
; suaranya berkumandang menyisir rambut penari,
ketika lambaian ritme berubah, meronalah bola matamu,
kaulah saksi kesungguhan tidak terukur (VII: XXXIV).
Nyamankan tempat dudukmu biar menyentuh kedamaian, nyanyian pelangi
senada sapuan kuas terpadu, komposisinya di kanvas langit perasaan (VII: XXXV).
Burung-burung berkicau di selat lepas memperdengarkan lagu merdu,
yang menggenang di kediamanmu (VII: XXXVI).
Serupa kincir angin bersemangat menggaramkan pantai (VII: XXXVII).
Kau mulai menyetujui lintasan lain di hati
dan ada keinginan ke sana (VII: XXXVIII).
Masukilah walau bersusah payah, dan bukalah kepribadianmu paling gaib,
singkirkan ilalang pengganggu, agar tak meragu ke padang bulan (VII: XXXIX).
Dinding langit berawan menghadirkan mentari, anak bayu mengipasi
keringat tiada kecemasan menghentikanmu, kau berpengharapan (VII: XL).
Berdiam diri dan hembusan selalu menyapamu,
tarian jemarinya berdaya lembut, penuh santun mengembalikan cinta (VII: XLI).
Perhatianmu, bibir bergerak tersenyum takkan jauh
lalu angin para sahabat bernafaskan engkau (VII: XLII).
Perhatikan kehendak tinggi, usah berpaling penggalan hati,
utuh menerima ketulusan, mencatat di lempengan tersirat (VII: XLIII).
Mengadulah selagi kangen, lantas baca kulit ke dalamnya,
kau menemui kemuliaan, membuka diri dalam sel pertaubatan (VII: XLIV).
Sebagian berucap, ini tungku durung mematangkan air periuk,
daun-daun belum mendapati manfaat pasti, dan pebukitan meragu
menyaksikan gelisah semalammu bernalar dangkal (VII: XLV).
Berkali menempa jiwa dipanasi bara diisi baja, ini prosesi percikan cahaya
kepemudaan penuh, kesabaran menguak sabda bertameng waspada (VII: XLVI).
Adalah keris gandring merebut wanita dari genggaman,
simbul ditakar menyelamatkan penikam, sebelum-sesudahnya
ternyata alam menghukum nilainya sendiri (VII: XLVII).
Tampak hasrat semesta laksana titah pujangga
terbuhul dalam sabda pandita kecewa (VII: XLVIII).
Api membakar kayu berbara, berteriak jikalau dicelupkan ke bejana,
hutan gosong melegamkan kulit malam, membutakan burung menembus pekat,
sayap hangus tubuhnya matang, atas mendenguskan nyawa percintaan (VII: XLIX).
Ribuan kelelawar memadati mata siang, doa menyelinap dalam tubuh keris (VII: L).
Pamornya mengalirkan daya penciptaan, memasuki lembah darah
tersedak ke jurang pertapaan (VII: LI).
Kuda tanggung menggagalkan kesabaran, kepulkan debu melempar kerikil
melepaskan ikatan nasib, menjalankan gerak takdir besar pemberontakan (VII: LII).
Pada empu mengoyak prahara muda, keduanya berebut keris tanggung
yang belum dilambari mantra pengikat keadilan semesta (VII: LIII).
Inilah jiwa-jiwa kesumat mencederaikan anak-anaknya,
tertikam milik sendiri sebagai awal sejarah tragedi (VII: LIV).
Yang menyesal meninggalkan gelanggang,
dalam dadanya bersimpan nyala juang (VII: LV).
Demi merontakkan kembang mayang atas sentakan bayu kemenjadian,
sekelepakan kelelawar menebarkan hawa malam sebelum berpapasan (VII: LVI).
Berebutan ditarik magnit itu wajah pergerakan, jikalau buah asam muda
rontok berjatuhan ke jalan-jalan diderai hujan deras, angin lembut menderap lekat
dan debu-debu beterbangan menutupi kegundahan (VII: LVII).
Kalau buah jambu menyusuri sungai dari derasnya arus,
mata pencarian terhempas waktu menuju penentu (VII: LVIII).
Kilatan petir menabrak dada mega menyeret luka,
wewarna senjakala menumpahkan darah ke lautan jingga,
lintang berkedip duka, bukan murka lain tapi malam pencerah (VII: LIX).
Dahan patah mengeringkan buah hampir masak, sungguh topan bopeng
menampar tak berbulu-pandang, menjadikan putik ranum runtuh sia-sia (VII: LX).
Telah terjadikah? Dan sudah bertibakan menciptakan buah lebih murni
atas goyangan dedahan, kemontokan pada pepohon musim perindu (VII: LXI).
Malam siapa lengang? Pembunuhan terencana kepada tubuh alam terlelap,
darah mengalir tak terhindari, dibius bayu kerucut setajam belati waktu (VII: LXII).
Setinggi tanjakan membebas, sayap elang kaku tiap paginya direntangkan,
kepakannya yang lembut itu bakal menguasai medan peperangan (VII: LXIII)
; menjelajahi padang gemawan mengarungi kabut padat menggumpal,
memperbaharui selat-selat lepas lelangitan (VII: LXIV).
Sayup-sayup terdengar suara menghampiri telingamu;
rajaku rajawali, daunku daun jati, embunku di pohon trembesi (VII: LXV).
Nafas-nafas memenggal kekuncup, tinggi gelisah lengkingan menjauh
kepada hasrat batas waktu, tempat tinggal melesat (VII: LXVI).
Pusaran berhawa bangun tambah meninggi, bayu berbondong
memberi ketenangan pada kepalanya penuh santun bersahaja (VII: LXVII).
Datang lagi suara; rajekku rajekwesi, jiwaku dibawa turangga sembrani,
suaraku takkan lenyap, walau pohon bakau tidak lagi di pantai (VII: LXVIII).
Ladang gersang retak kemarau, bebijian jatuh ke dalamnya,
ini kematian pendapat tanpa kabut membayu bersalaman (VII: LXIX).
Ia membangkit di waktu tepat, diguyur kesungguhan tirakat
sesenggol daun tegas melebar yang basah menghidupi (VII: LXX).
Hujan lelehan awan, pecah ke selangkang bumi setengah mati,
dihidupkannya rerumputan, bunga nan pepohon yang lalu (VII: LXXI).
Kemarau lama dikembalikan bugar bagi putaran waktu memasa,
menuju panen menunggu perkawinannya burung-burung (VII: LXXII).
Waktu petang hari melipat-lipat mega, matahari bersiap-siap
menyelami samudra, mendatangi puncak usia pagi (VII: LXXIII).
Yang tertelan di lembah padang, redup ke ladang ilalang,
ini memasuki alam temaram ketidaksadaran kalian (VII: LXXIV).
Bumi menggelinding melewati uap dan bulan bercincin awan,
grafitasi membebani tulang punggung para pejuang gerilya (VII: LXXV).
Lapisan langit menggerakkan nasib bumi demi dunia kalbu terbuka,
jantung berdegup, warna melenturkan kuasa rasa bertujuan cinta (VII: LXXVI).
Mata tersedu, tubuh berdetak, sesal bercampur bergetar menggejala,
ia bagai Pronocitro-mu, lekat membayang dalam tatapanmu (VII: LXXVII).
Kilatan mata batinmu ke alam sadar kerahasiaan rimbamu
dan Ni Roro Mendut sangat cukup tergolek (VII: LXXVIII).
Pronocitro berkata; ”orang tuaku terhanyut digulung ombak samudra,
akankah aku bertenggelam di dasar lautan asmara? (VII: LXXIX).
Gelombang di tanah pertiwi mulai menghempas, mengganas,
lalu apakah diriku bernasib sama seperti ayahanda?” (VII: LXXX).
Dengan apa insan menghentikan perasaannya yang kian berat?
Lelangkahnya tertatih gemetaran, merangkak kepada kasih sejatinya,
sungguh dirinya bergumam dalam-dalam bertekad (VII: LXXXI).
Milik siapa pun juga darah bergolak, menggelegak,
walau bagaimana kebertemuan rasa semakin menambah (VII: LXXXII).
Gejolak hati mengisi makna kisah-kisah
melahirkan kata sedari lautan jiwa sesungguhnya (VII: LXXXIII).
Kegemarannya yang lalu menyabung, ayam jantan nasibnya (VII: LXXXIV).
Dan ia mulai mengenali madu pembalut keris itu,
sedang kau terpikat ayam aduannya (VII: LXXXV).
Namun ketetapan tetap ia serahkan bagimu,
demi alam juga waktu, dan teruntuk kabut serta batu (VII: LXXXVI).
Sebab tulusnya lidah tinta merindu Sang Perindu (VII: LXXXVII).
—–
*) Pengelana asal Lamongan, Jawa Timur.