KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII

Keinginan-keinginan Mulia
(Interpretasi puisi Nurel Javissyarqi yang bertitel
“Keinginan-keinginan Mulia” dalam “Kitab Para Malaikat”)
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Tahun: 2013,  Ukuran: A4
Media: Crayon on Paper

Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=221

Deburan tinta hitam dihabiskan demi gairah kobaran,
langit bergemintang di dalam tungku kegelapan (VII: I).

Bebijian api memercik menerangkan malam,
berbara sebelum dijemput abu usia (VII: II).

Seyogyanya kau siap membaca,
walau pikun menguliti peristiwa (VII: III)

Didengarnya bayu pengajaran bimbang,
sedalam perasaanmu menguliti kemanusiaan (VII: IV).

Resapilah kedamaian ganjil di saat kekhusyukanmu,
esok takkan gusar pecahkan beling hening tumpahkan niatan,
dunia kecilmu telah sanggup berbuat adil (VII: V).

Seumpama gandul kalung, ini ketidaktenangan berharga,
beratnya murni sekencang was-was merestui pernikahan cinta,
dan dapat pula berprasangka serupa kawanan kabut purba (VII: VI).

Kau dengar para malaikat pada berbisik setelah mengintip dirimu
tiada risau lagi bekerja, kala nyawamu dalam timbangan kasihnya (VII: VII).

Menjalani kodrat yang terpanggil segera hadir,
pena tenggelam ke dasar kalbumu, mencipta garam di kebekuan waktu
yang berasal dari kesadaran nurani walau tanpa sesosok wajah (VII: VIII).

Hantu-hantu di barisan awal terlewati, muka penuh luka rasa malu,
selalu dikenang lukisan belaian memicu nyala cinta tersembunyi (VII: IX).

Biar lecutan badai menumbangkan pepohon, ranting menghujam
menghalangi mencapai ketinggian, kau takkan mengubah arah terbang,
cahaya kata-kata menembusi lapisan langit kebiruan pujangga (VII: X).

Kau masih membisu sepenantian lumut berkabut, ruh hayat menemanimu
di hamparan masa-masa membatu, di sini telinga menyimak kekhusyukan telaga,
rindu akan perbincangan reranting berfatwa kesegaran daun kalbu (VII: XI).

Tinta terus melaju, ujungnya segoresan tekad bertempur,
perhelatan niatan tumpah saling menindih menikam (VII: XII).

Tancapan pena menandai garis depan, arwah para sahabat berbicara
kehendak tak terikat, keyakinan mengalir dari tingginya kesadaran (VII: XIII).

Para pembawa beban berjalan setebal kertas menderita kehujanan,
kepekaan ini mendukung bulan hadir di ingatan,
jelaslah pandangan merekam percik yang lalu (VII: XIV).

Berhenti takkan puas walau mabuk persembahan,
maka kawinkan ruang-waktu dalam tempaan pelaku
sejauh kepakan sayap menjangkau hasrat dari ujung ke ujung (VII: XV).

Cahaya kata-kata, nafas kebiruan langit pada lembaran usia,
membuka tirai siang-malam diimpi, tiada terbakar kecuali manunggal (VII: XVI).

Buih membutuhkan deras air hujan, kau melayarkan tinta hitam,
lelangkah kaki seirama terbentuk nasib terbentur lapar dalam perjalanan (VII: XVII).

Dirimu menemukan bimbang membosan, menyakiti percaya utuh
menerima keremajaan fajar atas kematangan meninggalkan mainan (VII: XVIII).

Sehabis gerimis mengikuti, awan berarak sesuai aturan
sebentangan gelombang samudra masih terpenjara keraguan angin,
terhukum sulur pepucuk daun-daun pelepah pohon kelapa (VII: XIX).

Menanti mekar harum bunga dijatuhkan kecupan, kesabaran buah
terpelanting di telatah pendapa, kau ditunggu dalam gerbang pengampunan,
disambut senyum penerang jalan (VII: XX).

Tiada cukup hadir sepenggal, pertanyaan gentayangan mencari jawaban,
dan sampailah salam hujan di malam terang selepas bayu menjilat kabut (VII: XXI).

Itu syair membisikkan kelanggengan,
mengisi kekosongan jiwa melewati belahan sunyi (VII: XXII).

Jika tidak selesai diayun terus,
memburu hakekat putus di tangan pelena (VII: XXIII).

Takkan menulis sesuatu bagimu bila tak menyentuh keganjilan,
separuh tersendat, dan mengalir menuruni kesadaran ombak ke muara busa,
sedangkan kau bermata keyakinan pelayar paling pertama (VII: XXIV).

Gagang pena tercerabut dari botol tinta,
warna bencah tanah tumpah darah jiwanya (VII: XXV).

Semenjak awan-hujan berserak beradu tampar,
pecah lampu-lampu kota demi kegenapan gelap pemuda (VII: XXVI).

Barisan kelelawar memburu buah, bak gemintang rontok di telaga,
disebar dari ketinggian malam, datang musim baru melewati tirai-tirai cemara (VII: XXVII).

Angin selatan mengikuti lelangkah gairahmu perdengarkan sabda waktu,
tercurah dari cakrawala ke sumsum kalbumu, dan bumi berserah (VII: XXVIII).

Saat mengaduk relung terdalam, mengeluarkan isi jiwa
mengangkat gema suara kesendirian sukma (VII: XXIX).

Aduhai kalbu merana tak lagi bergolak, panaskan kristal kau simpan,
memberi penanti debaran serupa langkah malu-malu menghadap tersayang (VII: XXX).

Pada semenanjung jauh terdengarlah debar-deburan kalimahmu
memindahkan ruh jaman melarut, menuju keheningan mempesona (VII: XXXI).

Intiplah pesolek tengah malam menjatuhkan embun dedaun,
mengobati gelisa, sesegar jiwamu memulihkan keyakinan terdalam
sedari lorong keremangan, tangguh menuju cahaya ketabahan (VII: XXXII).

Sampailah bahasa angin yang mereka kira membisu,
alunan derai kesadaran menjemput kepastian (VII: XXXIII)

; suaranya berkumandang menyisir rambut penari,
ketika lambaian ritme berubah, meronalah bola matamu,
kaulah saksi kesungguhan tidak terukur (VII: XXXIV).

Nyamankan tempat dudukmu biar menyentuh kedamaian, nyanyian pelangi
senada sapuan kuas terpadu, komposisinya di kanvas langit perasaan (VII: XXXV).

Burung-burung berkicau di selat lepas memperdengarkan lagu merdu,
yang menggenang di kediamanmu (VII: XXXVI).

Serupa kincir angin bersemangat menggaramkan pantai (VII: XXXVII).

Kau mulai menyetujui lintasan lain di hati
dan ada keinginan ke sana (VII: XXXVIII).

Masukilah walau bersusah payah, dan bukalah kepribadianmu paling gaib,
singkirkan ilalang pengganggu, agar tak meragu ke padang bulan (VII: XXXIX).

Dinding langit berawan menghadirkan mentari, anak bayu mengipasi
keringat tiada kecemasan menghentikanmu, kau berpengharapan (VII: XL).

Berdiam diri dan hembusan selalu menyapamu,
tarian jemarinya berdaya lembut, penuh santun mengembalikan cinta (VII: XLI).

Perhatianmu, bibir bergerak tersenyum takkan jauh
lalu angin para sahabat bernafaskan engkau (VII: XLII).

Perhatikan kehendak tinggi, usah berpaling penggalan hati,
utuh menerima ketulusan, mencatat di lempengan tersirat (VII: XLIII).

Mengadulah selagi kangen, lantas baca kulit ke dalamnya,
kau menemui kemuliaan, membuka diri dalam sel pertaubatan (VII: XLIV).

Sebagian berucap, ini tungku durung mematangkan air periuk,
daun-daun belum mendapati manfaat pasti, dan pebukitan meragu
menyaksikan gelisah semalammu bernalar dangkal (VII: XLV).

Berkali menempa jiwa dipanasi bara diisi baja, ini prosesi percikan cahaya
kepemudaan penuh, kesabaran menguak sabda bertameng waspada (VII: XLVI).

Adalah keris gandring merebut wanita dari genggaman,
simbul ditakar menyelamatkan penikam, sebelum-sesudahnya
ternyata alam menghukum nilainya sendiri (VII: XLVII).

Tampak hasrat semesta laksana titah pujangga
terbuhul dalam sabda pandita kecewa (VII: XLVIII).

Api membakar kayu berbara, berteriak jikalau dicelupkan ke bejana,
hutan gosong melegamkan kulit malam, membutakan burung menembus pekat,
sayap hangus tubuhnya matang, atas mendenguskan nyawa percintaan (VII: XLIX).

Ribuan kelelawar memadati mata siang, doa menyelinap dalam tubuh keris (VII: L).

Pamornya mengalirkan daya penciptaan, memasuki lembah darah
tersedak ke jurang pertapaan (VII: LI).

Kuda tanggung menggagalkan kesabaran, kepulkan debu melempar kerikil
melepaskan ikatan nasib, menjalankan gerak takdir besar pemberontakan (VII: LII).

Pada empu mengoyak prahara muda, keduanya berebut keris tanggung
yang belum dilambari mantra pengikat keadilan semesta (VII: LIII).

Inilah jiwa-jiwa kesumat mencederaikan anak-anaknya,
tertikam milik sendiri sebagai awal sejarah tragedi (VII: LIV).

Yang menyesal meninggalkan gelanggang,
dalam dadanya bersimpan nyala juang (VII: LV).

Demi merontakkan kembang mayang atas sentakan bayu kemenjadian,
sekelepakan kelelawar menebarkan hawa malam sebelum berpapasan (VII: LVI).

Berebutan ditarik magnit itu wajah pergerakan, jikalau buah asam muda
rontok berjatuhan ke jalan-jalan diderai hujan deras, angin lembut menderap lekat
dan debu-debu beterbangan menutupi kegundahan (VII: LVII).

Kalau buah jambu menyusuri sungai dari derasnya arus,
mata pencarian terhempas waktu menuju penentu (VII: LVIII).

Kilatan petir menabrak dada mega menyeret luka,
wewarna senjakala menumpahkan darah ke lautan jingga,
lintang berkedip duka, bukan murka lain tapi malam pencerah (VII: LIX).

Dahan patah mengeringkan buah hampir masak, sungguh topan bopeng
menampar tak berbulu-pandang, menjadikan putik ranum runtuh sia-sia (VII: LX).

Telah terjadikah? Dan sudah bertibakan menciptakan buah lebih murni
atas goyangan dedahan, kemontokan pada pepohon musim perindu (VII: LXI).

Malam siapa lengang? Pembunuhan terencana kepada tubuh alam terlelap,
darah mengalir tak terhindari, dibius bayu kerucut setajam belati waktu (VII: LXII).

Setinggi tanjakan membebas, sayap elang kaku tiap paginya direntangkan,
kepakannya yang lembut itu bakal menguasai medan peperangan (VII: LXIII)

; menjelajahi padang gemawan mengarungi kabut padat menggumpal,
memperbaharui selat-selat lepas lelangitan (VII: LXIV).

Sayup-sayup terdengar suara menghampiri telingamu;
rajaku rajawali, daunku daun jati, embunku di pohon trembesi (VII: LXV).

Nafas-nafas memenggal kekuncup, tinggi gelisah lengkingan menjauh
kepada hasrat batas waktu, tempat tinggal melesat (VII: LXVI).

Pusaran berhawa bangun tambah meninggi, bayu berbondong
memberi ketenangan pada kepalanya penuh santun bersahaja (VII: LXVII).

Datang lagi suara; rajekku rajekwesi, jiwaku dibawa turangga sembrani,
suaraku takkan lenyap, walau pohon bakau tidak lagi di pantai (VII: LXVIII).

Ladang gersang retak kemarau, bebijian jatuh ke dalamnya,
ini kematian pendapat tanpa kabut membayu bersalaman (VII: LXIX).

Ia membangkit di waktu tepat, diguyur kesungguhan tirakat
sesenggol daun tegas melebar yang basah menghidupi (VII: LXX).

Hujan lelehan awan, pecah ke selangkang bumi setengah mati,
dihidupkannya rerumputan, bunga nan pepohon yang lalu (VII: LXXI).

Kemarau lama dikembalikan bugar bagi putaran waktu memasa,
menuju panen menunggu perkawinannya burung-burung (VII: LXXII).

Waktu petang hari melipat-lipat mega, matahari bersiap-siap
menyelami samudra, mendatangi puncak usia pagi (VII: LXXIII).

Yang tertelan di lembah padang, redup ke ladang ilalang,
ini memasuki alam temaram ketidaksadaran kalian (VII: LXXIV).

Bumi menggelinding melewati uap dan bulan bercincin awan,
grafitasi membebani tulang punggung para pejuang gerilya (VII: LXXV).

Lapisan langit menggerakkan nasib bumi demi dunia kalbu terbuka,
jantung berdegup, warna melenturkan kuasa rasa bertujuan cinta (VII: LXXVI).

Mata tersedu, tubuh berdetak, sesal bercampur bergetar menggejala,
ia bagai Pronocitro-mu, lekat membayang dalam tatapanmu (VII: LXXVII).

Kilatan mata batinmu ke alam sadar kerahasiaan rimbamu
dan Ni Roro Mendut sangat cukup tergolek (VII: LXXVIII).

Pronocitro berkata; ”orang tuaku terhanyut digulung ombak samudra,
akankah aku bertenggelam di dasar lautan asmara? (VII: LXXIX).

Gelombang di tanah pertiwi mulai menghempas, mengganas,
lalu apakah diriku bernasib sama seperti ayahanda?” (VII: LXXX).

Dengan apa insan menghentikan perasaannya yang kian berat?
Lelangkahnya tertatih gemetaran, merangkak kepada kasih sejatinya,
sungguh dirinya bergumam dalam-dalam bertekad (VII: LXXXI).

Milik siapa pun juga darah bergolak, menggelegak,
walau bagaimana kebertemuan rasa semakin menambah (VII: LXXXII).

Gejolak hati mengisi makna kisah-kisah
melahirkan kata sedari lautan jiwa sesungguhnya (VII: LXXXIII).

Kegemarannya yang lalu menyabung, ayam jantan nasibnya (VII: LXXXIV).

Dan ia mulai mengenali madu pembalut keris itu,
sedang kau terpikat ayam aduannya (VII: LXXXV).

Namun ketetapan tetap ia serahkan bagimu,
demi alam juga waktu, dan teruntuk kabut serta batu (VII: LXXXVI).

Sebab tulusnya lidah tinta merindu Sang Perindu (VII: LXXXVII).

—–
*) Pengelana asal Lamongan, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *