Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=195
Memahat lembaran kertas dengan pena yang tumpul, sengaja
dibiarkan batu-batu waktu berguguran di kaki-kaki pilu (XX: I).
Sebentar terseka keringat, lantas bayu mengobarkan rasa, menjilati langit
memanggang sang surya, dan putri bulan mengamati penuh gusar (XX: II).
Adakah kau masih ragu babak kedua? Sedangkan masa-masa ini
semakin terkepal padat, bak cairan darah kental mengeras (XX: III).
Lahar menukik di celah-celah batu, lainnya mengendap menjelma
telaga senjamu, itulah dada kemerah, dan revolusi terasa biasa (XX: IV).
Gunung, awan-gemawan memelototiku bagaikan anak haram ditinggal
nasib kemanusiaan, namun masih adakah cadarmu berkebimbangan? (XX: V).
Padahal masa menjemput bersegala kemegahan, berruapan harum
mayang nenek moyang, dan bayu mengantarkan berita kemenjadian
; diri ini terpanggang, dalam semangat tak berkesudahan (XX: VI).
Ya tuhan, jalankan jemari melangkah di jalur manis nantinya,
seruan darinya; sekuat perjuanganmu sebaik ketentuan-Nya (XX: VII).
Ialah berat berkata demi kebaikan telah tampak di depan mata,
sedang kata-kata itu, jelmaan deburan ombak paling rahasia (XX: VIII).
Darimu gairah kasih buih centang-perenang terlunta ke pantai,
lelangkah tersapu meninggalkan teluk kenangan percumbuan putih (XX: IX).
Ya Rabby, jemari kaku, lidah keluh akan mengatakan apa,
melukis warna bagaimana, atas suasana malam dicipta apa (XX: X).
Sedingin kalbu tenggelam di kebimbangan, menyapa langit tiada lintang,
menegur laut telah jauh telapak tangan menggaram berkepal keyakinan (XX: XI).
Membaca kembali telapak tangan nasib, jikalau tergurat takdir di ingatan,
teramat payah menyusuri, sebab perjalanan tak seculas menghentikan kisah (XX: XII).
Kalau saja kiranya sulit merangkai makna dari kalimah menghilir
sedari awal hingga akhir, rasakan degup kejujuran dalam dada (XX: XIII).
Terus, agar dari kedalaman tersembul cahaya kesungguhan,
sebelum terungkap kehendak semesta alam (XX: XIV).
Jika masih meragu, angkat penamu demi sobekan bibir sulit terkatup
bicarakan kelembutan, sebab waktu menanti berkeheningan murni (XX: XV).
Kesungguhan nafasmu menyatukan deburan ombak laut bergulungan
mencapai batas pasir nadimu, gemuruh bebatu karang dioyak rindu (XX: XVI).
Menelisik ceruk jauh, terbuka lelembaran masa berpandangan takdirmu
tak ragu menapaki janji mencipta rindu, selaguan abadi kaki kembara (XX: XVII).
Onak duri krikil menghalangi ingatan, masih mekarkan bunga ketulusan,
menanjaki kesungguhan batu, dibopong mimpi ke pelaminan kabut (XX: XVIII).
Ada sedikit ragu mengumpulkan masa, sedangkan hari-hari kian memberi jawab,
tidakkah harus percepat, sebab pantai memanggil pertemuan kembali (XX: XIX).
Telah dikoyak batas takut sungguh, cemburu rindu bertalu, mari menaiki
tangga awan menghujati kotabumi berkesungguhan kasih, biar terfahami (XX: XX).
Yakinlah dilamun itu, alunan terasa tumpah, di segenap masa bersapa mentari
yang singgah di hadapan, kau mengambili taburan cahaya rasa sayang (XX: XXI).
Duhai waktu, kecuplah selembar kasih terlayang di hati sebrang, tuntunlah
di jalan tempuh, agar jiwa menyatu hangat mataair pegunungan kapur, bersimpan
segala kerinduan, basah segerai rambut semalam yang tak berujung itu (XX: XXII).
Percayalah terlaksana di setingkap bengi paling letih, jemari mendoa restu,
lalu terdengar suara tak jelas datangnya asal mana, sejenis himpunan keraguan batu,
kesungguhan peluh, atas kebisingan gemuruh guruh dalam kalbumu (XX: XXIII).
Ketabahan bukan dendam, tapi merawat kangen ilalang, bunga liar, rumput
menjalar, ini bangkitnya kesadaran yang membelenggu kaum pribumi (XX: XXIV).
Terbangun penghancuran pandang, dimulainya putaran angan pada angin
kencang, kekerasan kuasa, hutang moyang, kuda korupsi dan revolusi (XX: XXV).
Kekuatan terjang menyerang, cahaya matahari membebani gedung megah
lewat janji tiada selesai, riang-senang meski berbalik lemas pada mimpi (XX: XXVI).
Ku sambangi anak-anak hilang dengan membawa bunga musim semi
dari tanah kelahiran mereka yang terbengkelai, tergantikan kuda besi (XX: XXVII).
Namun dianggapnya tukang mimpi, lalu diri berbicara pada benda peristiwa,
kepada ibunda pertiwi; siapa pemimpi di antara kami? (XX: XXVIII).
Bunda telah sakit hati atau sekarat,
lantas kaki ini dituntun menuju perkampungan nurani (XX: XXIX).
Maafkan, ia tak bisa menyapamu berkeindahan di terminal itu,
sebab tidak tahu lewat cara apa jika sepertimu, pun sebaliknya (XX: XXX).
Lantas teringat sewaktu menjadi petani berpindah belajar seni,
mencuri ruang pun bisa mewujudkan cita-cita paling tinggi (XX: XXXI).
Kalau kata-katamu tidak sanggup merobohkan gedung-gedung,
menumbangkan kesenjangan, buat apa menunggu keajaiban? (XX: XXXII).
Ketika orang-orang pedalaman menerjang pelabuhan, duri tajam kelembutan
jantung karang, rimba angin-pohon-ombak berpadu pada getaran (XX: XXXIII).
Ingin mengangkat misteri hayat sepanjang peta dibentangkan,
sejiwa kembara menghantarkan cukul keringat berfaedah (XX: XXXIV).
Penyair tidak mendapati, kecuali memunguti tetesan keringat pekerja,
sebab telah berbicara, kemampuan bukan pada nalar perasaan semata,
namun kesungguhan mencipta, dari himpitan realita (XX: XXXV).
Bukan bayang semu dibesarkan lalu dianggap kemampuan,
ini pagutan nasib anak-anak keluar gelanggang (XX: XXXVI).
Yang tak sabar menemui kembang kotabumi, adakah sisa kecurigaan,
sedang jiwa-jiwa kian menghampar, layaknya awan menutupi langitan (XX: XXXVII).
Digenangi kasih sayang selaksa hujan deras ternikmati,
awan terbawa jauh sedari timur kelahiran (XX: XXXVIII).
Kapal melaju kalem digoyang ombak tiada bosan,
hawa kepurbaan menyetiai pelayar menciumi perubahan,
lelaguan alam berdecak kagumi kehidupan (XX: XXXIX).
Kuasa tuhan, nyanyian lama terawat dalam telinga
menuju kesantausaan tak terfikir di tengah kota (XX: XL).
Ia renungkan sejenak lantas terbersitlah kata-kata;
kecintaan alam laksana ibunda pada anak-anaknya (XX: XLI).
Ialah saudara tiri, jikalau tiada kasih pertajam singgung di hati,
sedangkan ombak terus memanggil-manggil kidungan permai (XX: XLII).
Pun bagaimana, mesranya memiliki rindu sebrang,
entah di Jawa, Cina atau India (XX: XLIII).
Kudunya terjalin bersama, jikalau ingin merasakan mesranya ombak samudra,
lebur menyatu tiada pertajam asal bengawan dari kepulauan mana (XX: XLIV).
Saat kasih bersemi, deburan ombak menggergaji karang menjadi relief-relief saksi,
penambahan gerak sungguhlah mendung memayungi lautan,
tersebut lempengan baja ditempa, demi keris di mata empu mencipta (XX: XLV).
Hari penuh teka-teki sejenis langkah kehati-hatian,
tegur menyisakan awal langkah deru dimulai (XX: XLVI).
Segera yang tertinggal menemukan cara bergerak mengejar,
menggesek di mana pun debur mencapai artian terlaksana (XX: XLVII).
Bukit lama krikil manusia, warna canda birunya ombak langitan putih,
awan merindu gunung menghempaskan kayungyung ke kampung (XX: XLVIII).
Semakin lama, wajah langit samudra terang berbinar, berdecak corak naluri
mengejawantah, segaris tengah terlihat kapal, sentuhan halus memanjakan
pelaut; inilah ruang kosong berisi ikan-ikan menoreh lubuk (XX: XLIX).
Ternyata kebercahayaan itu irama sejati rasa pernah terduga,
yang harmoninya menuju kehakikian kerja (XX: L)
; ombak bercanda kini menggeliat kebersamaan hebat,
selaksa awan menawan gema satuan nyata di lembah (XX: LI).
Laguan harap berkumambang bagi anak-anak kehidupan,
ombak berkendara bayu langitan mengapung ke sebrang (XX: LII).
Negeri mimpi di bawah bulan, fajar kemerah di beranda,
lantas sebuah kemampuan terpastikan (XX: LIII).
Jalur terlacak menguras segala ingatan sebelum bertemu aroma kembang,
tulang sumsum merasakan keyakinan tertahan, menelusup ceruk terdalam (XX: LIV).
Telah dijilati debu-debu demi mengampuh, agar jiwa jenak tidak sejenak,
ditaruhnya debu pada kening, bagi permintaan restu (XX: LV).
Pulau baru, keluasan angan menjelajahi aroma ingatan pertemuan
pada kelopakan kembang bermunculan, semerbak kabar kemenjadian (XX: LVI).
Gubuk mungil senyum rapi, atas rintihan sawah ladang petani di pinggir kota (XX: LVII).
Ia memalingkan muka dengan segenap mata kembali berirama,
mengikuti melodi jiwa yang teremban nilai hikmah (XX: LVIII).
Inilah kereta bebas merokok, tiada konstruksi alam (XX: LIX).
Saat menyebrangi lautan, alamat-alamat betebaran di muka,
wajah-wajah terpampang, lamunannya menunggu (XX: LX).
Buah-buah pisang berjajar memadati pinggiran jalan berliku,
bertujuan menyatukan keinginan mendayu restu bertemu (XX: LXI).
Ini sempat terfikir, mengidam perasaan mendalam,
mencuri kemungkinan takdir pagi nan elok tak bisa dikatakan,
selaksa semburat cahaya dinanti pengharapan baik (XX: LXII).
Adakah saat itu pertanyaan, nikmat tengah kau teguk, maka
usahakan sebagai jawaban awal kesakitan semalam (XX: LXIII).
Cepat-lambat yang setia tentu berjumpa, membangkitkan nalar tanah air,
kaki-kaki melangkah seayunan palu menghujami makna (XX: LXIV).
Itu lengan tembaga tubuh berdiri, tiang-tiang besi, anak-anak berlari,
membekasi malammu menunggu datangku berlama tatap bersemi (XX: LXV).
Serupa dulu bayangan hari-hari terlewati pohon bakau, gunung berkabut
lautan lepas, kapal berlayar, bayu berkabar, negeri suwong dalam masa perubahan (XX: LXVI).
Ialah perjalanan tidak tersangka, meski jauh telah mengidam rasa,
pergi ke pulau sebrang, manakala kelana menginjakkan kaki pertama
demi langkah agung selanjutnya (XX: LXVII).
Belum terasa jauh, kembara kehausan diantar angin kemenjadian,
membuai tidak tertahan, dipetik kapan pun ke ujung juntrung (XX: LXVIII).
Apalah hebat kata-kata, jikalau tidak terlaksana, dan apalah pelaksanaan kata
tanpa penerimaan dalam, menghakiki di jantung nyawa perjodohan (XX: LXIX).
Keharusan menggelinjak senyummu membahana ke segenap relung sejati rasa,
letak pedusunan terpencil, menimbang suara di antariksa keyakinan (XX: LXX).
Kuperkarakan pada sidang pembaca, kiranya kau guyup menterjemah,
lantaran jauhnya pertanyaan, selepas bangun dari tidur panjang (XX: LXXI).
Bergelayutan misteri hayat mengundang perhatiaan,
kau menyetujui sebagai saksi datangnya suara (XX: LXXII).
Dan kesungguhan menterjemahkan alam,
manakala para penyair di meja penciptaan (XX: LXXIII).
Dirinya takkan koreksi lama, kalau alunannya masih utuh
dalam pemahaman (XX: LXXIV).
Kesetiaan demi merajut impian,
telah jauh mengamini bukti kebenaran, menyelami alam beredar (XX: LXXV).
Kehadiran mayang menambah hangat segenap kidungan merayu
menyungguhi keadaan, esok bakal menjemput kepastian (XX: LXXVI).
Bertumpuk ragumu membayang, di getaran air kali digoyang jatuh dahan,
seberapa terpelanting? Sejauh hasrat kabarkan pada kehidupan (XX: LXXVII).
Kau menyetujui pemahaman terpaparkan, ini mengajakmu menjauh
melampaui ras kelahiran mayang nenek moyang (XX: LXXVIII).
Menjadi masalah, menjawab atau tidaknya; bukankah kau
terbebani jawaban, kiranya menanggung meski keraguan (XX: LXXIX).
Kesungguhan debur ombak memecah pantai di teluk malam itu
kabarkan kidungan permai, kau di pulau sebrang penerimaan (XX: LXXX).
Merogok jantung persiapkan lantunan kata, tinta tersebar selumatan
ruang paling ranum, bagai semesta kasih berpelukan sayang (XX: LXXXI).
Kau jauh ke jantung permasalahan, sampai memahami perkara diri
yang tengah dipergemulan nasib, seyogyanya sama ke pulau sebrang,
letak kejayaan mentari, kampungmu mengenal kasih (XX: LXXXII).
Hendaknya tarian lincah dapat dimengerti atas endapan panjang,
kesaksikanmu menyendiri pada irisan tangis nurani (XX: LXXXIII).
Hati bersaksi sepenuh haru berdecak kagum maksudmu,
saat tergambar mataair menuju pipi kemerah jambu (XX: LXXXIV).
Sampailah menyingkirkan duri ragu mempelajari kebeningan keyakinan,
membumbung jaman meninggalkan prasangka buruk sejarah (XX: LXXXV).
Di sini tak menawarkan manisan, semua berasal kelembutan penalaran,
setujulah meski tak berbekal, selain secarik kertas sebilah pena (XX: LXXXVI).
Hendaknya mempercepat, menyuarakan yang tertulis dalam hati pertimbangan,
atas laku kebajikan,
kesabaran ibunda menyapih anak-anaknya melenturkan perbuatan (XX: LXXXVII).
Kau tidak meminta, selain mengajak menciptakan temali tambang kesetiaan
demi mematoki kapal, disandarkan pada pelabuhan (XX: LXXXVIII).
Cerecah burung camar, menyapa kabar berita kemenjadian fajar,
kepakan sayapnya lincak, mencapai ujung pengharapan (XX: LXXXIX).
Desauan ombak nafasku-nafasmu sekumpulan rindu tak tertahan
menyisiri rambut bidadari bermandikan cahaya mentari, warna senja dan fajar
kebertemuan jiwa, dari penantian hangat malam-siang berdekatan (XX: XC).
Mendung ditarik hujan berwaktu tepat kelahiran, dan kenangan
semakin terngiang, meski tiada kesaksian lainnya (XX: XCI).
Sapaanmu dalam segenap puisi dedaun terjatuh di pucuk bibirmu,
gemetaran meragu di kedalaman sungguh bermata bening tegap sebatu,
menunggui masa meleburkan diri, dalam keinginan wengi (XX: XCII).
Terkumpul decak kagum dilipat akrab membahana,
menanjaki perjuangan terpatri, di setingkap ondakan nasibmu (XX: XCIII).
Berkumandang deburan laut menghampiri sentuhan permai masa lalu,
dari seberang bersinggah, lantas menetap di jantung hidupmu (XX: XCIV).
Kembang kepasrahan menimang persembahan petikan abadi,
tari-tarian jemari menggelinjak sayang memusari keheningan malam,
terjemahkan tubuh di matamu, berharap hangat unggun masa itu (XX: XCV).
Tiada pudar belaian halus tersentuh melewati perasaan lelaki yang
ditinggal gemerlap kota, masa menumpuk batuan kenangan menyungguhi
perubahan, menetapkan pualam kalbumu merasai perempuan (XX: XCVI).
Bacalah lewat sentuhan perawan, dan tataplah kebaharuan pikiran,
walau bukan bengi pertama, demi panggilan kemenjadian cermin jiwa (XX: XCVII).
Hendaknya dipentaskan ini, tarian panjang masa silam,
di panggungmu tiada tahu muasal waktu, berkendara keyakinan (XX: XCVIII).
Kuatkan rindu tiada kesudahan,
ia menunggui segenap waktumu, hingga selarik cela mengintip seluruh (XX: XCIX)
; melewati mata bathin, mengapungnya elang tebarkan kabar kepulauan,
ia tarik, agar kau mengerti betapa rindu lama membatu,
sedingin salju beku di tangan wengi kutukan ibu (XX: C).
Masa mengajak bercanda sampai lupa di kedinginan pilu pesona,
halusnya benang rajutan waktu, serapi pekerja di hadapan majikan (XX: CI).
Tetapi kenapa hendak melayu?
Siramannya mengenai daun dipancarkan mentari kerja masa depan,
atau sagking bersemangatnya, menimba sumur sampai keruh meragu (XX: CII).
Padahal ketika masa-masa ditarik, menjelma kosong hampa,
maka turutilah laguan ini sedurung semua melerai (XX: CIII)
; di kedalaman rindu-cemburu bertalu-talu, dinanti-nanti semua bangsa
di setingkap puisi dijanjikan, bagi jiwa-jiwa penunggu pertemuan (XX: CIV).
Mengenang kidungan rambutmu, sulur rimba raya nusantara, buah jantungmu
kotabumi, menanti lelaki dari pulau sebrang, di antara ombak-bayu lautan (XX: CV).
Selalu ingin menemuimu pebukitan rindu, tidakkah dada lelaki itu
kian naik menghampiri matahari dari pendakian jauh, bebatuan
berlumut, pada rumah-rumah mungil menyimpan harapan (XX: CVI).
Daun-daunmu rimba raya kenangan, bunga di kepulauan, hendak dipersunting
di tengah wengi, sewaktu kapal mengantarkan nasib kemanusiaan (XX: CVII).
Harus berapa kali didendangkan, agar kau tancapkan keyakinan dalam-dalam,
menyaksikan kapal melaju, di atas ombak di bawah biru langitan (XX: CVIII).
Ketentuan laku dijalankan, bersegala rasa menderu rupa, bukankah
sayap jauh merentang, mendapati butiran hikmah mencapai pebukitan,
langkah mendaki pegunungan citamu, merasakan hamparan kabut kasih (XX: CIX).
Sulur bayu mengikuti guguran mayang, yang tersentuh lapisan waktu menyatu,
dalam pergumulan bathin rimbamu, yang ditempa daya rindu merengkuh (XX: CX)
; kejayaan mentari, kejujuran jantung terdalam, berderu-decak di tengah malam,
lajuan kapal ke pantai, menghadap gulungan ombak senyuman badai (XX: CXI).
Kalbu kuat pesisir, memekarkan guyu rindu di setingkap waktu, putaran musim
ditarik bayu pengembaraan jiwamu-jiwaku bergandengan erat menyatu (XX: CXII).
Daun apa kau pendam, deru ombak apa ke kapal?
Ketulusan, setingkat pebukitan karang di tepi lautan, menyapa diri paling dalam,
hingga segala rasa terangkat di awang-uwung pencerah (XX: CXIII).
Helaian nafas menguatkan pesawahan rindu terjaga dakian sukma,
lekukan ombak jemari laut bertangan maut, menebar di bibir pantai selatan,
segenap kangen, tiada ingin lepas pelukan karang timbunan awan (XX: CXIV).
Ia tarik kesemangatan jauh, mengangkat pena mencapai kesegaran jiwa,
sedang ketulusan rasa, menterjemah asa menjadi melodi asmara (XX: CXV).
Memberi jawab guratan, mengiris berselimutkan kebijakan,
kelupaan sakit terlepas diri di tengah lautan menguap (XX: CXVI).
Serentak awan kehendak menyentuh tanah, menggulingkan nasib berdetak,
menggelombang menghampiri pantai kuasa manusia (XX: CXVII)
; menyepuh perjuangan ke tingkatan cahaya, jeritan mengombak membuka
cakrawala kerja, berpijakkan keringat gemintang di ubun-ubun malam (XX: CXVIII).
Ada saatnya perjalanan musti dihentikan, kala menemui pantai doa ibunda,
dan terus melayarkan pertanyaan, menuju kampung pedalaman jiwa (XX: CXIX).
Dan ia jatuhkan kalimah ketinggian, lengking suara rindu dari kedalaman kalbu,
terendam pasir waktu, terkubur dalam hamparan debur nadi lehermu (XX: CXX).
Ombak menghantam mata bathin mengeraskan tulang,
berasa getir cadas di setingkap masa semedi (XX: CXXI).
Ini dikatakan, agar kau tak segan mengambil haknya,
jikalau ada diperuntukkan bagi tercinta (XX: CXXII).
Peribadatan ini demi hilangkah merasa bagi merenggut
sejati rasa, rasanya sejati di kedalaman jiwa (XX: CXXIII).
Jika ada kesombongan, tinggal tiup lilin padam api,
tentu kau tahu hasratnya berpeluk rindu segemuruh guruh,
sehantam kepiluan di kesendirian membatu (XX: CXXIV).
Kelahiran kali ini bersama kalimah kau mengerti,
bagi jembatan layang tersebrangi, yang lama penciptaannya menuju langitan;
batu-batu di sana terbulatkan tekat, dihempaskan ribuan ular besi (XX: CXXV).
Ini babak peleburan, mengulum bibir rindumu, serupa kematian berulang,
nikmatnya terus terberi, sedang energinya tak pernah habis selesai (XX: CXXVI).
—–
*) Pengelana asal Lamongan, Jawa Timur.
14 Syawal 1940 (Jawa) 1428 Hijriyah, hari Jumat Legi, 26 Oktober 2007 Masehi.