PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI

Penampakan Doa Semalam
(Interpretasi puisi Nurel Javissyarqi yang bertitel
“Penampakan Doa Semalam” dalam “Kitab Para Malaikat”)
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Tahun: 2013, Ukuran: A4
Media: Crayon on Paper

Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=213

Darimu gairah meledakkan kulit dan isi, ruh hayat timur barat menggelinjak
ke dada awan merangkul ombak, ketika warna tak lagi persoalkan cahaya (XI:I).

Kepadamu berakhirnya jiwa-jiwa dahaga, dayadinaya persetubuhan harum
merangsek di altar puja, kelepakan kekupu bercinta menggelepar lelah (XI:II).

Inikah telempap sembahyang? Persinggahan paling menyenangkan?
Atau persembahan sungguh menakutkan? (XI:III).

Di balik awan senja, sukma terpenjara berkata; menyambar dedahan
senyawa petir liar persekutuan menjelma lengan sungai mengalirkan cita (XI:IV).

Mula berhitung hulu lalu nasib menuntun ke samudra renungmu (XI:V).

Setiap tapak-tapak langkah mentari mematangkan usia pohon jati, batuan kali
terawat denyutan kasih, melepas lumut berelusan kencang mengarus deras (XI:VI).

Menyendiri di udara, sayapnya tenang tiada ketahui tiraninya pedut (XI:VII).

Datang belaian keikhlasan, pepadian merunduk, reranting ringan dilewati,
sesampai waktu ditunggu, setentram jabang jabang bayi dalam dekapan ibu (XI:VIII).

Ia melanjutkan walau jauh gelisah mengingatnya,
kecepatan petapa bertafakkur dalam kubur leluka (XI:IX).

Siur bayu pada pelepah pohon kelapa menyuarakan masa,
musim-musim menyeret gelegak bintang memberi kecupan (XI:X).

Percayalah Garuda Ngawangga menuntunnya dari abad dulu,
mengajarkan bagaimana menerbangkan sayap-sayap harapan (XI:XI)

; tiada jemu mesranya cahaya jiwa mengepak dikibas ke pantai,
mengenang ombak warna pagi-senja, siang-wengi mematangkan (XI:XII).

Ia berjanji tiada ingkar meminum madu dari rimba kelana
atas perasaan selama ini mendekapkan kehangatan mesra (XI:XIII).

Mengerahkan daya batin menghadirkan keganjilan serupa,
datang kembali arus samudra menghampiri langit paling tepi (XI:XIV).

Mengajarkan banyak hal, tapi kau malah bimbang gelayutan,
merawat alam limunan menghitung waktu bertepat kelahiran,
sebelum tubuh terhampar di atas panggung kesemestaan (XI: XV).

Menuntunnya ke petamanan hati, persinggahan menyetiai diri,
kelak serentak mencipta ombak melingkar oleh lemparan batu ke telaga,
mereka tidak memperhatikan, padahal telah sampai ke kakinya (XI: XVI).

Upayakan kantukmu sanggup memuara ke aliran parit ladang lelah,
sebab suara penantian sangatlah merdu, bagi yang resah tertawan kesendirian
dalam sangkar mengajari kicauan, udara bebas berkuasa menantimu (XI: XVII).

Lembut penamu menyusuri ngarai terbuai gairah sendiri, kendang ditabuh
bertalu bagi unsur nyawamu mencipta bunyi di telinga berkah rindu (XI: XVIII).

Berlenggang di pematang, melamun di bukit senja, pemilik kebun kesepian,
berjalan pada jarak terpencil mengamati dirimu bergetar-gemetar keluar (XI: XIX).

Cepatlah membelai kabut mencoba berlatih keseimbangan, atas sebatang
kayu di muka sungai, soal beban berayun ringan uap timbangan masa (XI: XX).

Kegilaan menyebut tanpa sungkan, demi daya rengkuh tiada berakhir,
tiada hirau puncak atau banyaknya putaran menjerat pujangga (XI: XXI).

Seteguk air sejuk menyegarkan tenggorokan, melupakan lapar
memunculkan duga, mengantarkan hidangan kaum tirakat (XI: XXII).

Laluan menjangkau cahaya, gerimis tertangkap benang laba-laba, seiring bayu
menerobos jendela, mengembalikan langkah di sepanjang kesekaratan (XI: XXIII).

Kau mencari diri dengan memecahkan bentuk batu,
membuyarkan debu penghuni latar sepimu (XI: XXIV).

Gelap-cahaya bersulaman menuju ruang hening,
mencipta derap awan-gemawan ke sarang langitan (XI: XXV).

Seruling bayu berhembus menafaskan wengi puja-pujian,
tangisan embun tiba-tiba gugur dalam pergumulan rumput (XI: XXVI).

Seyogyanya selalu berharap tanpa menanti,
selayaknya pejalan kaki enteng tanpa bekal (XI: XXVII).

Menunggu dini hari memberatkan timbangan, burung terbang jatuh
lelah kepakannya lebih dulu sampai ke batas kemampuan mimpi
serupa sapuan kuas terkabul, melukis kehendak kasih (XI: XXVIII).

Keyakinan semurni tangis bayi di kala sunyi membebas (XI: XXIX).

Setiap bersama kepurnaanmu melulu bercincin pelangi
memandang mendung berbondong ke bilik hati, lintang menari di tanah kelahiran
sewaktu hujan deras menentramkan gelisah, meski pun berselimut galau (XI: XXX).

Hawa tajam wengi menampakkan gapura kapujanggan
sedari dayadinaya membangkitkan kehakikian (XI: XXXI).

Kau merawat diri berbasuh guyuran kalimah suci,
sepucuk surat sampaikan hasrat, kebeningan lelehkan beku (XI: XXXII).

Di kota tua sedikit orang berlalu, hanya segelintir yang lalang,
menuntun keyakinan hilang dari rekaan, demi tapak waktu panjatan (XI: XXXIII).

Ia merawat anak-anak malam, nyala pelita tidak padam menyetiai hening,
tapi kelelawar pucat diguyur cahaya lelampu tercekam, oleh
kidungan purba menghitung usia batu-batu (XI: XXXIV).

Gerak irama bersahut-sahutan menghidupi pagelaran,
ini pendiskusian diri, katak menyantukan irama merawat telaga
setingkat kesadaran ombak mengejar pepintu goa (XI: XXXV).

Layaknya hempasan doa tangisan murni, jujur airmata
pengaduan kekal telaga, menyimak nyanyian kalbu (XI: XXXVI).

Angin menghargai kicauan ganjil di kala tidak dihiraukan
pudarlah awan tersentak dari singgahsana lamunan (XI: XXXVII).

Sedu-sedan kesempatan mengangkasa, tengoklah lewat jendela
oleh gembalaan dituntun pulang menuju kesepian senja (XI: XXXVIII).

Siapa merawat awan mengembalikan bentuk yang tertinggal menerka,
dari sudut ruang bunga, wangi berkabar khusuk tenggelamkan rasa (XI: XXXIX).

Menyulami mimpi-mimpi lampau kesadaran kini, melepas kulitan rasa
bertambah gelisah, manakala detik-detik menemui kebenaran nyata (XI: XL).

Seputih padi ditanak rindu, harap sesuap menikmati arti (XI: XLI).

Nasib doa semalam, siangnya ranum apel puja-puji kelestarian
membuka pepintu awan, dan perasaan rebah pelahan-lahan (XI: XLII).

Derap rombongan angin rimba fajar menyisakan kelembutan, pandanglah
mawar di taman timur, warnanya bergantian, tak kenal surut seraut kenang (XI: XLIII).

Sungguh tiada pernah menghentikan kejaran, tidak menginjak rerumputan
melintasi lintang saling cemburu, memahami cemberut
di setiap mengunjungi paras permaisurimu (XI: XLIV).

Bintang tak berwaktu, doa terjatuh, karam di lautan demam (XI: XLV).

Ditarik senjakala, bebuah terhanyut aliran sungai mengarungi teka-teki,
bertumpukan masa kerongkongan pendayung terbakar anggur rindu (XI: XLVI).

Siang mengajarkan kemuliaan bimbang, tidak diambili rerantai teluk-kutub
seakan hajat tidak mau terkabulkan, merindu enggan badan penasaran (XI: XLVII).

Biarkan membebas sampai tahu kematian tanpa membaca
yang terahasia dalam lebam jiwa (XI: XLVIII).

Ia tidak membuang waktu di sesal batu,
tapi terus menggelinding, membekasi setiap laluan melestarikanmu (XI: XLIX)

; doa ibarat langgam, surut-tergulung tarian sendiri,
puncaknya terjadi, manakala ombak bersemangat (XI: L).

Teguklah ilmu di teluk bisu dalam ceruk cahaya, jangan buta mata,
eratkan peganganmu, juga tampung percik berdenyut kasih sayang (XI: LI).

Asmara menyapa kali itu ialah salam damai bagimu,
berkendara angin waktu menyetubuhi ruang subuh (XI: LII).

Siapa terenyuh di pebukitan gemerlap, tersimpan wengi berimbang
pada laut penyadaran, ruang-ruang kosong berjubel sakit patah hati (XI: LIII).

Nafas bukan terkira berapa sebab di kedalaman hikmah siapa menduga,
cecapi asinnya butiran garam, bak kejora mencengkeram kalbu
seumpama celak pada lentik mata waktu penemu (XI: LIV).

Harum bijian jarak memanggil cahaya, jalan tempuh di pantai ketabahan,
jangan meminta sedurung habis dipunggah,
rawatlah lentik jemarimu, sebelum melenggang menari (XI: LV).

Alunan tangismu menggerakkan sukma, bila beriring nada lama, tariklah
kembali serupa ruh diruapi, agar sayap ilmu menyentuh abadi (XI: LVI).

Lepaslah pakaianmu saat bermandi dalam telaga kasih,
molek bibirmu merona, setarikan senyum mawar bertubuh duri,
seumpama mencari kayu, pengganjal hidup dan mati (XI: LVII).

Mulanya kelana hati mengunjungi ketinggian,
siapa menjembatani berjumpa dasarnya? Runtut pelana keledaimu longgar
berguna sebagai cambuk, berasal lilitan kulit pohon rahasia rasa (XI: LVIII).

Sepucuk surat terselip di bulu sayapmu, pundak ringan menjangkau
keagungan pebukitan rindu, menghampiri cinta kudunya berbekal (XI: LIX).

Meminum seteguk air bening di meja tuan rumah, jangan curiga hantu,
kumpulkan sunyi di renungan, segenap jiwa suci senantiasa membuka (XI:LX).

Jamahlah rambut terbias lentera sesirat senjakala, walau masa tidak utuh
ia beri tetesan lembayung jingga, sesingkat bayu lenyap memasuki dada (XI: LXI).

Menghela nafas kebugaran,
menghirup embun sedaun di saat bulan menguncup (XI: LXII).

Sengaja membuka jendela, hawa di luar memikat sayang
dan kasihnya sampai terkumpul dalam daya kekuatan (XI: LXIII).

Tidakkah mencium bau tidak sedap saat berpaling? Maka
setiai, rukuknya bunga-bunga rumput di lembah subuh (XI: LXIV).

Rangkai kembang mantra, cahaya kasih melejit sewaku kau
bertafakkur, ditempa purnama didatangi para kekasih (XI: LXV).

Tidak selalu bayu menyapa, maka tegurlah terlebih dulu
agar segera menemukan tebaran serbuk sarimu (XI: LXVI).

Pepohon itu saling berkawin, mendendangkan lagu di udara,
sedekat tubuh dengan getaran cinta akan bayangan suara (XI: LXVII).

Belum cukup tegak teguklah, perutmu hening keroncongan,
habis malam jujur melompati detak nadi ke kuburan (XI: LXVIII).

Ke sana teramat lelah letaknya, jiwa setia badan membatu
dan duka cita bilamana kau tak sabar kelahiran kembali (XI: LXIX).

Hari-hari penuh kebugaran meminum keringat buah syair
menggelantung ranum dalam pebukitan ditenggelamkan kabut basah,
mentari tubuhmu bersimpan bara pencapaian, penciptaan (XI: LXX).

Kedipan gemintang menerangi malam,
menari-nari pepucuk cemara dirundung gebalau bahagia (XI: LXXI).

Sayup-sayup renggang di petang pertama, menjelang hadir dentuman niat
kepada taman semerbak harum warna bunga-bunga ke udara (XI: LXXII).

Ialah seputih melati yang terselip di telinga gadis desa,
sesuci kembang kemboja pada pangkuan ibunda (XI: LXXIII).

Berkepompong membuta arah kiblat, ulat membujur mengucapkan doa,
masa-masa berlapisan kulit bertambah serat mantra-mantra puja (XI: LXXIV).

Sekecup kecapi di kening sunyi mengisyarat langit pudarkan benang,
sayap-sayap meresapi bulir-bulir cahaya embun pada lelembaran daun-daun,
danau tenang menanti kuncupnya teratai berpandangan pagi (XI: LXXV).

Hari-hari musim kawin memunguti serbuk sari kejatuhan hening,
putik-putik terkagum menatap rumput mekar menggigil (XI: LXXVI).

Angin terpendam menerpa tubuhmu menapaki tangga kekasih,
tapi kau mengukur perjalanan sekadar bertanya-tanya (XI: LXXVII).

Ia bagi-bagikan cahaya, terimalah kerling lembut matanya
merambah hasrat mendekapkan diri paling erat (XI: LXXVIII).

Pegang kuat-kuat mendaki niat beranjak menghampiri (XI: LXXIX).

Tidak mengurangi kangen jiwamu cepat kelelahan, berhati-hatilah
pertaruhkan damai bergairah dan lagi menggairahkan sukma (XI: LXXX).

Kebun bunga letak berjenis semut, kekupu, lebah madu bertemu,
laksana kicauan camar ditarik kidungan bayu semesta pantai (XI: LXXXI).

Gula-gula buah bibir dihafalnya, senyum menghiasi pintu kantuk,
kan segera tercuri lelap keikhlasan sedari kelelahan bercinta (XI: LXXXII).

Hilang was-was tumpah seluruh kangen menjamah rengkuhan setia,
nafas-nafas keluar-masuk sewaktu menghisap kasih sayang (XI: LXXXIII).

Tembang kesejatian hadir dari rasa syukur tampakkan muara madu
pada lesung pipitmu yang kemerah jambu, terbelai rasa malu (XI: LXXXIV).

Hendak menyentuh ganjil nan lembut, tidak amblas keutamaan,
berduyun di jalan bebatuan terjal, kilatan petir merawat tetangkai kembang
ialah kesaksianmu menyelami mimpi menyusuri tengah wengi (XI: LXXXV).

Siapa terpaku? Sedang ia sekejap meninggalkan perkara jasad, melesat
ke penghias temanten jiwa, jejanur-bebuah dijadikan mahkota (XI: LXXXVI).

Kepada tempat waktu, bala tentara semut mengusung pebekalan,
merayapi kelalaian, demi hari esok kemarau berpeluk (XI: LXXXVII).

Kau dilepas bebas melanda mengarungi gelombang demi badai,
lihatlah itu bintang membimbing pelaut ke pusaran ombak keyakinan,
pastikan saat di hadapanmu angin pasang berserah! (XI: LXXXVIII).

Yakinlah layarmu sanggup menampung bayu segara, dan tenangkan
lampu-lampu kapal berkerlipan di kaki gunung malam penjaga (XI: LXXXIX).

Ikan-ikan mendampingimu penentu, selamatkan yang bernilai ke pantai,
itu jalan ke halamanmu seterang hati ingin bertemu (XI: XC).

Menembusi selaput hangat mengunjungi sayap keemasan,
menerbangkan bayu, tempat waktu tiada terkira sebelum jauh (XI: XCI).

Yang kangen membesar tenaga kepakan, sedari lembah pesawahan
kepada ketinggian siur nurani, pelepah-pelepah kering berjatuhan (XI: XCII).

Kalian boleh mengelak ajakannya tapi jilati keringatnya terlebih dulu
yang mengucur di sepanjang langkah kaki-kaki tidak terhitung itu (XI: XCIII).

Bulan malu ditempuh berat kaki-kaki kecil sarat membatu,
ketika pegal berkurang, para pendaki bergairah kembali (XI: XCIV).

Segenggam rindu kau bawa ke mana-mana,
laksana batuan bermutu dari jarak pantul (XI: XCV)

; setelah diterima hawa dingin selubung malam,
jika tersambar badai, dikokohkan selimut perasaan (XI: XCVI).

Maksud lebih agung dari menara, mengikuti alunan terkumpul
dalam degupan jantung nyawa, terpenggal tidaklah sia-sia (XI: XCVII).

Dia datang kepadamu saat kalian hendak melupa,
jika menuju ketersesatan, masihlah dipantau (XI: XCVIII).

Walau bagaimana terpaksa harus belajar menjinjit
demi satu-satunya pilihan keyakinan terbang (XI: XCIX).

Angin berdesing pada dedahan menerjang batuan terjal,
menghempas sayap burung menyabet ikan menyayat ombak,
percikan air secercah pelangi di mata sungai pagi (XI: C).

Hendak muntah lautan, mabuk meringankan beban, pena jiwa terhanyut
ke dalam pusaran awan, sedang tukikan busur panah sejauh penciptaan (XI: CI).

Padamu garam setelah mengambili bagian dilalaikan,
lantas harapan disentak terkabul berdendang sayang (XI: CII).

Kuas menoreh warna pada kanvas, dan tajam palet ditentukan,
mengemban perasaan bermain layang saat awan mendukung (XI: CIII).

Lumrah rindunya melesat jauh mengembalikan ada di mata maya,
daging ikan nan gurih tersebab hidupnya melawan arus deras
yang mengelupas lumut-lumut di batuan cadas (XI: CIV).

Makin jarak tidak berbilang lebih dekat bersatunya jiwa,
seerat kasih damai, bagi kurungan pemilik hasrat semesta (XI: CV).

Kesadaran ke dasar hatinya, kerahasiaan lembut membayang memberi arah,
ia lebih dulu sampai kepadamu, manakala kau bermaksud menemuinya (XI: CVI).
—-

*) Pengelana dari Lamongan, Jawa Timur.

Leave a Reply

Bahasa ยป