RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC


Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=197

Pribadimu lenyap dalam pergumulan perasaan, sewaktu angin merangsek
mengumpulkan awan bimbang, diulur daya tarik layang bumi menjelajah (XIX: I).

Menjelang senja, berbondong merangkul cium jubah kemerah,
ada memberi cawan berisi madu, persembahkan cangkir penuh airmata,
ialah rupawan di atas ketinggian kepatuhanmu berkasih sayang (XIX: II).

Magrib menutup senjakala, hujan turun rintian mesrah, senyum berpadu
menyatukan dada bergetar, sebesar kerinduan terpelihara (XIX: III).

Merestui perjalananmu di kala gerimis bersemangat ribuan keringat,
kalimah berhamburan selaksa taburan mayang musim semi (XIX: IV).

Nikmatilah kedekatan basah kuyup menelusup,
melewati parit-parit nuranimu menyuburkan tanaman (XIX: V).

Pertimbanganmu memberi atau menunda keadaannya,
menentukan harapanmu seiring laguan tropis menghijau (XIX: VI).

Tapakan kaki di tanah basah lereng kalbu, terdengarlah
pengaduan masa lalumu menggedor punggung langit kelabu (XIX: VII).

Kidunganmu menghuni lembah dari ketinggian kota cemara,
cahaya purnama melipat-lipat gerimis membentangkan gemintang (XIX: VIII).

Keraguanmu mendekat lenyap, pandanganmu mengerti hakekat (XIX: IX).

Kerahasiaan bayang kasih sayang, sejauh penglihatan kelembutan,
sedalam kefahaman, dalam merasakan kuluman bibir kesunyian (XIX: X).

Yang mengunjungi kekasih dengan tertatih,
mendaki dan lunglai mencari wajah baku (XIX: XI).

Ketika mentari terbit, ia berpegangan pohon sembari tersenyum
merasakan dekapan hangat kesadaranmu selagi tak utuh (XIX: XII).

Yang senantiasa merasai ketidakadaan, teruskanlah walau hujan
memenjara indra, dan bebaskan jiwamu mengejawantah (XIX: XIII).

Air hujan menyemai bumi sebagai rahim paling sunyi,
nyanyian serangga menghampiri tebing seusia pebukitan selatan
yang menyenandungkan ombak ke pantai setiap malam (XIX: XIV).

Mustinya sampai ujung-ujung malam penantian kembang,
melihat kelopakan merekah, atas serpihan kabut fajar kemerah jingga (XIX: XV).

Mentari terbit kemewah, menawan hamparan timur raya,
ada citraan di tiap gerak manusia menghadirkan ada (XIX: XVI).

Seiring masa menyeret langkah kaki ke hadapan samudra,
deburan ombak mengabadikan busa menggaram,
secepat limpahan doa di dada bergairah (XIX: XVII).

Bulir-bulir pasir di pantai, permenungan sebening kaca menguap,
dan jari-jemari bayu mengusap kening kalbumu beruapan rindu (XIX: XVIII).

Berimbang lautan penyadaran, seluruh pelajaran datangnya awan
membawa seruan senyawa tubuh cinta, menggelegakkan hayat (XIX: XIX).

Di saat menyadari pandangan, masuk dalam bilik hati,
yang tunggal terhempas berbulir-bulir kehidupan lain (XIX: XX).

Seperti kelepakan laron, jantung berdegup nadi berderit,
menimang sayap-sayap mungil, lebur dalam cahaya lentera (XIX: XXI).

Begitu ranum bola matamu di saat menatap,
gigi-gigi terlihat bersih, kala senyuman berharap (XIX: XXII).

Tangisan segar dibuai serbuk sari alam,
terciptanya kasih beredar di poros sayang (XIX: XXIII).

Tampak benar wajah serupa, bayangan mata kekasih dalam sangkar mata,
menanti waktu tempat kelahiran, atau gugur mencium aroma kamboja (XIX: XXIV).

Bisikan cahaya di dadanya, para malaikat menghiasi matanya bercelak,
sekuntum bunga mengajak ke taman kabut membayangkan masa ( XIX: XXV).

Ia mendekati sifat kebimbangan ganjil,
sewaktu ketakutannya merengkuh (XIX: XXVI).

Yang mendatangkan dirinya tersebab kekuasaan menyamudra,
kesadarannya terpanasi, sejauh bentangan pasir pantai (XIX: XXVII).

Ternyata menjadikan diri begitu payah,
mengikuti cara berhitung di depan cermin manusia (XIX: XXVIII).

Yang berperangai melati, kelopakan mewangi setiai tangkai,
kembang tak habis harum dalam percumbuan putih (XIX: XXIX).

Sebuah apel di meja, segenggam kurma berbukah,
ada kesegaran zam-zam dalam lambung sehabis puasa (XIX: XXX).

Kidungan awan selaksa lukisan tiada menjemukan,
selalu bergerak menawan setiap dipandang (XIX: XXXI).

Bocah-bocah menebarkan senyuman, para gadis berkerumun
perbincangkan ketampananmu, dipuja di bumi diagungkan di kerajaan
langit, serta dijunjung seribu cahaya terang matahari (XIX: XXXII).

Kalian berbondongan-bondong melewati penjaga gerbang,
meramaikan alun-alun kepastian di hari kesaksian (XIX: XXXIII).

Meninggalkan legenda bergegas renungan melampaui wengi gerilya
menghaluskan tempat waktu, sejauh kepasrahan mengekalkan kesejatian rasa (XIX: XXXIV).

Abad-abad harum menawan kepakan ruh tercipta, jangan taruh penalaran,
kepercayaan ditebar di muka bumi, demi belajar temukan hakekat (XIX: XXXV).

Ketinggiannya di atas bangsa-bangsa, dan diagungkan sebagai utusan,
memberi jalan kembara, oleh cintainya sepenuh jiwa dahaga (XIX: XXXVI).

Ia membagi-bagikan upah, kedamaian hati ketenangan jiwa,
sebab pelepasan cinta, demi jalan kepada tercinta (XIX: XXXVII).

Isyarat membungkuk menata buku-buku saksi sejarah,
terambili kemudahan pelajar mencium sekar kedaton (XIX: XXXVIII).

Demi keinginan lebih istirahnya jasad-jiwa menguatkan batas usia,
rasa sakit berdemaman, berserta kantuk meringankan ruh menjelajah (XIX: XXXIX).

Bercerita kekekalan, menerbangkan sukma di kedalaman malam (XIX: XL).

Ujaran-ujaran atas ketinggian kesadaran (XIX: XLI).

Kekal dalam perbincangan agung,
mengajarkan bagaimana menerbangkan sayap nurani mencintai,
dan siapa yang abai panggilan, lalai jiwa mandiri (XIX: XLII).

Ia bersemangat melihat para pemuda gandrung kepadanya,
yang setiap hari persembahkan harum puja dari petamanan mimpi,
jati dirinya bermanfaat, bagi tak setia sedikit pun awalnya (XIX: XLIII).

Kepenuhan dilengkapi ganjil, mengerti kurang-lebihnya,
keangkuhan binasa, terakhir terlahir bersumber daya ketulusan (XIX: XLIV).

Rumah laba-laba serupa jala-jala perangkap menebarkan magnit,
mendatangi keluguan serta kesenangan hasrat jiwa (XIX: XLV).

Inilah permainan berayun, bagaikan penari tambang berlenggangan,
percik jiwanya bergerak sendiri, ke batas kuasa inti bumi (XIX: XLVI).

Inti ruh ilmu, inti ruh revolusi,
begitu tentram di antara tembang-tembang pewarnaan (XIX: XLVII).

Ke mana pun bersembunyi, masih batas tangkapannya,
ketaktenangan depan cahaya, mendapati bayang bergetaran (XIX: XLVIII).

Mengapung di lautan uap, kekupu menari menghirup jambangan hati,
berkecup syair dikokohkan niat atas nafas-nafas (XIX: XLIX).

Bacalah penuh sungguh menyadari jembatan diri, tersebab tiada ilmu
langsung ditetapkan, berbijak masa keteguhan menerima kedamaian (XIX: L).

Bukannya bimbang tercipta setelah memahami,
namun tatapan hikmah dari mempelajari kesalahan (XIX: LI).

Telah terketahui dulu pada langit rahasia mewaktu,
hadir merayu awan, bersenggol pucuk-pucuk cemara sewu (XIX: LII).

Kehormatanmu membaca bulir embun, butiran pasir keemasan,
ketika kemanusiaanmu, menuruni pantai kabut semesta bathin (XIX: LIII).

Yang tepati janji diberikan pulau cantik,
berhias pohon kebijakan, batu mulia bertata nilai (XIX: LIV).

Sebelum memukul bongkahan batu, sabar memanasi masa, malu-malu
matangkan tersembunyi, rasa abadi dalam jiwa merindu kedamaian (XIX: LV).

Belum dijumpai manisnya perasaan, kesibukan atau nganggur,
merentangkan sayap berlapis doa, meniupkan kehendak pembebasan (XIX: LVI).

Setidaknya bisa jual pebekalan jika kehabisan di tengah jalan,
namun bagaimana peristiwa serupa, dalam satu kota berbeda masa? (XIX: LVII).

Yang mendekat diam-diam makin akrab, ini kejujuran sungguh tanpa
pamrih sangat anggun, bukan berbedak angan terjemahkan diri (XIX: LVIII).

Memanggil bersegala kebesaran rindu, laron menumbuhkan sayap baru,
yang gelimpangan berkali-kali hidupnya atas kehendak (XIX: LIX).

Ia memberi kedalaman sunguh, bersayap mendekati pijar lampu,
berkasih dalam ketinggian, laksana awan dipanasi unggun (XIX: LX).

Sebagian buta sebab tak sabar juga tiada sadar,
tentang kabut yang sanggup membutakan mata (XIX: LXI).

Ia kekang gairah dipertaubatan, naluri mendewasa
adalah satu dari beberapa tangga tingkatan (XIX: LXII).

Memberi lebih bagi penilik sudut ruang peribadatan, planet-planet
serupa batu digantungkan, sebagian kalian memuja deretan bintang (XIX: LXIII).

Ia membenci kepicikan, tiada tertarik kebanggaan, sebab nantinya
memberi ruang-waktu siksa jiwa, penyayat daging bathin (XIX: LXIV).

Ialah raja di balik hati manusia, menyiarkan daun-daun muda terjatuh,
maka duduklah di segumpal batu, segenggam sepi ia warisi (XIX: LXV).

Siapa mengukur kepakan pantas dibenci,
merasa lebih tinggi dari bayu angan di masa kini (XIX: LXVI).

Wujud kehadirannya kau fahami untuk dipercayakan,
dicipta berpasangan, sebagaimana lelaki berarus pada perempuan (XIX: LXVII).

Ombak berkejaran tambah gemerincing di kakimu menjelma garam,
kasihnya diberkati bau harum kuntum-kuntum melati (XIX: LXVIII).

Kadang cepat waktu berlari, amat lamban suatu masa atas renungan diri,
syukur diberi lupa serta lelah, hingga mengetahui baik selepasnya (XIX: LXIX).

Ia lebih di hadapanmu tak lenyap atas spesiesmu,
kecuali kelemahan mengutuki diri, membunuh berputus-asa (XIX: LXX).

Suatu ketika, penjaga kabut bertanya, siapa tuan cintai di antaranya?
Hanya yang selalu mempelajari sesuatu, dari asal ketentuan waktu (XIX: LXXI).

Kalian mulai mengerti batas lemparan jala, maka naik dan duduklah,
senyum tentramkan jiwa, sedang kebengisan membuyarkan tanya (XIX: LXXII).

Berjalan kelelahan tidak memandang yang lain, jika marah terjebloskan
dalam kebimbangan, ujung pena meluruskan gugusan gugatan (XIX: LXXIII).

Bagi mengira bergundik, buyarlah pemahaman, kau tidak melihat dirinya
mengerami watas, amat kasihan yang mengikuti kebebasan arus (XIX: LXXIV).

Yang menyinggung aturan, akan dituntun denyutan air di kedalaman
gua tanjung karang, manusia unggul mencari pemahaman (XIX: LXXV).

Hadir bukan mencipta belas kasih angan, meski bersekutu
takkan mampu, ini wujud pengertian tak terkira sedurungnya (XIX: LXXVI).

Hembusan angin menyemai, ikan-ikan dalam sungai, sedang serangga
bersenandung, pada pergumulan bencah tanah liat (XIX: LXXVII).

Kuasannya bukan berasal penelitian semata, dan ia tak ambil alih
meminta, sebab jumlah akhir lebih dulu terfahami (XIX: LXXVIII).

Sang penjelajah diberi tongkat menyebrangi titian arus deras (XIX: LXXIX).

Masa mendatang bertepat-waktu, menetapkan larikan lembut hatimu
berkaca, tak sekadar penghias jemari manismu, cincin itu terbaca (XIX: LXXX).

Ialah bukan melunturkan kefanatikan, tapi guratan terindah di taman
sepi igauan, ia gemburkan tanah, serupa cacing di kedalaman (XIX: LXXXI).

Bagi menyusuri sungai kerelaan sanggup kemari, ia ombak perwakilan
demi suara tercinta, lautan kodrat jangkauannya bertepi (XIX: LXXXII)

; lahirnya pemikiranmu bersayap harum melati, atas celupan
pena bulu merak, yang menunggu malam merindu (XIX: LXXXIII).

Teramat anggun kedekatan, tunduk nafas-nafas membimbing sampai,
memberi jalan kabut di padang rumputan (XIX: LXXXIV).

Ia melewati dengan jubah berhias butiran embun kesegaran,
pengembala itu meneguk air sumur ketentraman (XIX: LXXXV).

Dengan memakai sabit kembang turi menuju bukit pencarian,
tentramkan jiwamu menghampiri dingin cahaya (XIX: LXXXVI).

Mari duduk di bangku, nanti ia bisikkan telingamu tentang kedalaman,
ketajaman pena menggurat pahatan ombak lautan (XIX: LXXXVII).

Ia suguhkan anggur bagi penyair, para filsuf dengan kesuntukan,
seyogyangan semua meminum bertampungan kalbu (XIX: LXXXVIII).

Gubahan syair memikat,
perdengarkan malam bagi anak-anak kelaparan (XIX: LXXXIX).

Ia usap rambutmu dengan perasan santan, kebaikan menyelimuti terpilih,
yang mendekat penuh kasih sayang, berpeluk keabadian hayat (XIX: XC).
—-

*) Pengelana asal Lamongan, Jawa Timur.

Leave a Reply

Bahasa ยป