SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI

Secerca Cahaya Kurnia
Judul: Secerca Cahaya Kurnia
(Interpretasi puisi Nurel Javissyarqi yang bertitel
“Secerca Cahaya Kurnia” dalam “Kitab Para Malaikat”)
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Tahun: 2013, Ukuran: A4
Media: Crayon on Paper

Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=201

Pertanyaan-pertanyaan tumpah bagai seribu kehendak terlaksana,
memburu tak terjangkau, terpontang-panting mencari gagasan sayang (XVII: I).

Jiwa pencari terus bergelora, menyembul dari akar-akaran keyakinan,
kau pantul wajah bercermin, guna percepat tancapkan pendirian (XVII: II).

Jangan kembalikkan keraguan, jawablah penuh tenang,
ia tahu pribadimu lebih mantap, membuka tatapan berhiasi wengi (XVII: III).

Tiada cukup kalimah mewakili tampungan gemintang,
murni dari ketinggian, sekiranya mabuk dirimu memukau (XVII: IV).

Lapangkan jiwamu serupa tanah dibasuh hujan,
sepadan anggur tertuang di cangkir kehormatan (XVII: V).

Kau dahaga akan suara busa asmara meluap ke tenggorokan hangat,
diteguknya sungguh hingga tandas kasih setia (XVII: VI).

Jika kau melambung sekapas randu ditiup bayu, namun siapa
menyaksikan prahara itu? Lalu siapa mengikuti tariannya? (XVII: VII).

Aku bersambut lagu suka cita, kenapa tak menderap maju,
padahal lugu serta keraguanmu teramat dekat pribadiku (XVII: VIII).

Seorang kembara di ladang tropisnya saat langit melekkan mata,
melihat sekawanan domba bercermin telaga (XVII: IX).

Menimang dayadinaya memperkirakan tujuan
ialah kematanganmu memiliki keraguan prasangka (XVII: X).

Suatu jembatan layang setiamu nan ganjil itu pengelanaan,
dan mereka persilahkan tersebab kau hakim sesama (XVII: XI).

Sisi lain belum kau dapati, maka duduk dan pastikan tetesan air ke batu,
cekungan tersebab dirinya mencurigai keliaran badan selagi membaca (XVII: XII).

Santunlah bibir menceritakan madu atau racun, ia tak menolak selagi kau
melucuti kerahasiaan, jikalau nyata berguna bagi pencarian kemurnian (XVII: XIII).

Pastikan lolos dari bentangan jala-jala perangkap, sebab siapa saja
bisa cemburu, saat tarianmu mengikuti nyala matahari mewaktu (XVII: XIV).

Kau purnama kala dirinya tak tampak, dan nafasmu laksana telaga
bersimpan persiapan, menenggelamkan bathin di kedalaman (XVII: XV).

Sekuntum padma di telaga, duduklah dalam mekar kelopaknya
mengabadikan keyakinanmu, serta jadikan jarak waktu pengalaman,
selagi menetapkan waktu walau cuaca menghalau bertemu (XVII: XVI).

Yang tidak terkira menjadi perhatianmu paling sungguh
kala kau timba air lagi mengangkat dari kedalaman sumur (XVII: XVII).

Kekupu terbang tersapu angin berlalu,
tidakkah esok berjumpa dalam percakapan mata? (XVII: XVIII).

Usah risau ke mana, ia memiliki lautan yang pelan tembangannya,
kau tertampar berkali-kali, kenapa masih membaringkan diri? (XVII: XIX).

Kau sebangsa kekupu kelelahan, sayap pancaran cahayamu memudar,
tapi kelepakan pujangga seterang warnanya, tersebab cahaya kurnia yang logis (XVII: XX).

Ketika terlelap kemabukan awal, kalian terhuyung jiwa memberat,
tenggelam dalam dengkur impian panjang dunia perbendaan (XVII: XXI).

Di saat semua ditinggal bayangan berkata, waktu menetap serupa
adanya, sedangkan perubahan di bebankan kepada masa (XVII: XXII).

Tiada pantas berseru waktu, lebih bijak berpulang kepada diri,
menerobos bayu, jangan salah menyelami lautan hayat (XVII: XXIII).

Sambut hawa dingin menggigit tubuh,
bergeraklah sepenuh jiwa, sedalam sunyi tak berwarna (XVII: XXIV)

; pecahnya di sela-sela batu awan rindu, sebelum terdampar
di pantai kesunyian nyata, letak tumpahnya kepastian (XVII: XXV).

Terasa dekat kebenaran memanggil, tapi tak ingin mengganggumu
tersebab kau seranum bayangan yang mampu merubah waktu (XVII: XXVI)

; manusia menapaki pribadinya laksana bintang terjatuh
kepada malam mengagumi kucing menggeliat (XVII: XXVII).

Syukurlah selagi bertempat-waktu,
dan tetaplah hening, beratnya semurni embun pagimu (XVII: XXVIII).

Sebagaimana kerahasiaan,
ia merawat senyum paling ganjil kemanusiaan (XVII: XXIX).

Bukan kepadanya nujum, ia pendukung paling kuat
dan termasuk golongan merugi, jika tak mampu beranjak (XVII: XXX).

Kau lamur di pandang waktu, ketenanganmu atas kesiapan peperangan
lebih dia alami, keyakinan tunggal penolongmu saat semua meragu (XVII: XXXI).

Jadikan waktu pendampingmu lalu tempat menyesuaikan,
ia berseru dalam bisik, aku tak mengulangi kalimah bila kau tiada lupa,
teguran selempang kayu penghalang laju perahu (XVII: XXXII).

Melewati itu setelah tahu arus melampaui,
dan aku mencintai para pemberani (XVII: XXXIII).

Seluruh alam menyaksikan pilihanmu, berhati-hatilah memandang,
kucing betina terlelap pulas, jadilah kupu-kupu penunggu,
menempelkan kaki-kakinya di dinding kayu (XVII: XXXIV).

Di kala terbangun, sapalah agar tiada kecewa mendera,
kekupu berkejaran tiada kesal, dan manusia menamainya kasmaran,
kesakitan mengabadikan kasih, tetapi mereka menyebut tragedi (XVII: XXXV).

Alangkah indah pupusnya lembar dedaun meresapi cahaya
ketika berpentas di panggung (XVII: XXXVI).

Ayam betina melindungi anak-anaknya penuh sayang
saat diintai elang, dan melabrak demi kedamaian (XVII: XXXVII).

Kalian tahu arti tanggung jawab mewarnai pribadi, dengan cat kau kenal,
akrab palet di kanvas, teramat senang sekaligus menyebalkan (XVII: XXXVIII).

Jika kau Ratu Sima, ambillah ketenaran Jalukencanamu, kau utusan
Kalinggapura, di mana keadilan sebagai tongkat kuasa (XVII: XXXIX).

Di sendang Jimbung, mata air rahmat purbawi,
beburung kembara menambatkan diri, meraup kejernihan sekitar,
bersuka cita teduh, dalam pergumulan jiwa-jiwa mandiri (XVII: XL).

Duduklah di batu hitam, kekasihmu sedang berenang; ikan emas di antara yang lain,
kau tentu memahami, bintang mana yang paling akrab di jantung (XVII: XLI).

Candi Abang kesaksian yang sama lewat mengukur kepekaan, burung Srigunting
mengurai sayapnya di ketinggian, ketika gerimis takdir menyapa (XVII: XLII).

Kau sekuntum harum khantil di daun telinga persuntingan jiwa,
kasihmu merentangi pulau Jawa sampai Swarnadwipa (XVII: XLIII).

Saat hari jadi keraton, kau lempar uang logam beserta beras kuning
bunga setaman, lalu rakyat jelata melapangkan jalan bagimu,
bersenyum menunggu kedatangan waktu (XVII: XLIV).

Suatu ketika sepasang pengantin melangsungkan pernikahan,
sangking melaratnya tiada sanggup memberi maskawin,
kau sungguh berbudi memberi pepundi Yatrakencana,
pemberianmu bernilai tinggi bagi rakyat jelata,
bagi penyaksi, berharu biru melihatnya (XVII: XLV).

Dengan uang Kepeng, perdagangan meningkat di pasar-pasar,
kau pengaruhi tentara dengan senyum ganjilmu yang memukau (XVII: XLVI).

Kehendak berkuasa ialah kekuasaan itu sendiri,
kehendak itu ruh kekuasaan, kekuasaan diraih melewati kehendak (XVII: XLVII).

Lewat senyuman, kau adili Pangeran Kumudasari yang mencuri emas di kuil
Tirta Sarira, yang mengunjungi bumi perdikan Karang Tumaritis, seperti
hembusan nafas keluar-masuk, dalam otakmu mencairkan suasana (XVII: XLVIII).

Mereka hanyut kebijakanmu yang merelakan tanah leluhur ditempati
gema pujian, sampai jiwa-jiwa insan mewaktu lelah mengartikan (XVII: XLIX).

Kau pepintu harum mengikhlaskan kebun sayurmu dipetik para papa,
rakyat jelatamu berharu-biru mata jelita di candi Bima (XVII: L).

Kemurahan hatimu sumber keabadian, pakaian kebesaranmu hijau
balutan bulu Cendrawasih, tidak ubahnya peri penunggu Candi Ijo (XVII: LI).

Keagungan terkadang konyol memalukan,
bukankah rasa malu serta bangga berdekatan seakan nurani dan nafsu? (XVII: LII).

Rerumputan merinding menebak sangka bumi manusia,
ibunda tercinta dari anak-anakan sungai hayat tanpa kekangan (XVII: LIII).

Kabut mengendap, kelemah-lembutan tiupan bayu bersentuh rumput,
di sini kehendak abadi, tiada menyesalkan keputusan (XVII: LIV).

Ia tak menyuruh kau duduk di hadapan Venus, serupa bangsa
Babilonia, siapa melempar koin menjadikan kau persembahan (XVII: LV).

Ia sendirian dalam teaterikal pandangan besar dunia, dan
semua persoalan tampak dalam gaung musikal agung (XVII: LVI).

Berapa pun harga kecantikanmu, ia tukar reinkarnasi keabadaian,
dititahkan lentik jemarimu menunjukkan jalan padang njinglang (XVII: LVII).

Langkah kasihmu tak terhitung sampai kaki-kaki sempoyongan,
berharap bayangannya mengikuti usia mudamu, terpesona syair pemikatan (XVII: LVIII).

Kau tidak keberatan menimba ke kota tua yang menimbun sejarah,
kenangan menampilkan keyakinan (XVII: LIX).

Ia membawa pebekalan kau beri, sebaliknya jaga yang ditinggalkan!
Usah menanti deru terlalu, biar langkah tak tersandung batu (XVII: LX).

Santunlah mendengar panjatan doa, jangan segan di dekatnya hanya
diam, laksana sampanmu terlalu mahal, atau benarkah sedingin itu? (XVII: LXI).

Tidakkah lebih tentram keikhlasan, dan kau wanita keras penampik impian,
mengartikan senyum harapan tidak terkira (XVII: LXII).

Ia tahu kau wanita terbaik dilahirkan bumi dari anak-anakan hujan deras,
tangisanmu merontokkan dosa-dosa sejarah di tengah perjuangan (XVII: LXIII).

Ia menunggu sampai waktu sepi cukup mewakili (XVII: LXIV).

Hasrat penjaga keganjilan mendaki mencapai puncak,
mendapati sendang beserta ikan-ikannya, membawa nafasnya mendekat (XVII: LXV).

Bisikan langit memulangkan sunyi dari hadapan terkira,
pertanyaan-pertanyaan sangat membebani jiwa (XVII: LXVI).

Padang sahara jiwanya dilanda langut kemungkinan rahasia,
tidakkah membeli sepotong baju berukuran suwong (XVII: LXVII).

Kau berkata, berkelahilah terlebih dulu serupa kawanan serigala
berebut tulang, sebab perdamaian tiada harganya, dan tiada mau membelinya
selain para pengecut, wahai insan-insan luhur (XVII: LXVIII).

Ia di tanjung karang paling tinggi, sedang gelombang samudra sangat jauh
di bawah, kau kepiting terdampar tiada hasrat mengarungi kembali (XVII: LXIX).

Yang tersekap dagingnya kering terjebak sengatan mentari,
nantinya sebagai santapan semut (XVII: LXX).

Menghitung ombak berdesah, berkali-kali gelombang kecil,
sekali waktu gulungan membesar, inilah putaran masa-masa,
hari-hari memiliki nama, ombak terbesar disebut hari disucikan (XVII: LXXI).

Selepas dari pantai kau ke sana kembali,
di saat membosan, bergegaslah menemui pedalaman (XVII: LXXII).

Bukankah keinginan seperti tuan memperbudak hambanya,
cobalah menyetiai lalu katakan; aku meyakinkanmu (XVII: LXXIII).

Ia memaklumi pelajar menanti panggilan terdalam,
namun gelora rindu tak pernah berkesudahan (XVII: LXXIV).

Sayapnya menyentuh bibir cakrawala, anak-anak merindu ibunda, tetapi ia ibunda
segala kemarahan, cinta buta menggemparkan. Apakah ini kedewasaan ? (XVII: LXXV).

Berlarian di pesisir pantai, akrab ombak serta butiran pasir di hati,
diajaknya riak putih, busa paling suci meniti-niti kepastian (XVII: LXXVI).

Maukah kau menjadi bahan pelajaran paling spesifik,
ketika kau dirinya, tidak kenal selain dirimu (XVII: LXXVII).

Terpenggal bayang keremangan, namun siapa meremehkan kerahasiaan?
Wujud keluguanmu bagi kebebalan mereka (XVII: LXXVIII).

Kau terlihat begitu nyaman
bila tak memberi letak duduk mereka (XVII: LXXIX).

Sang penggagas datang kepadamu, setenang keyakinan tak mengurangi
pebekalanmu, malah menambah, dikala waktunya telah tertibakan (XVII: LXXX).

Yang tersesat ke kota asing, pembengkakan luka sehabis terjatuh,
setelah melalui jalan terjal menantang dari biasanya (XVII: LXXXI).

Ia memberi letih, maka terimalah hidangan disuguhkan,
ia membagi haus berlebih, maka teguklah perasan buah asam muda (XVII: LXXXII).

Ia merawat tubuh keraguan, menimbun rayu dalam renungan kembara,
tersadarkan bathin mencekam oleh keheningan (XVII: LXXXIII).

Yang perbaiki jalan belum tahu ke mana menjulurnya tujuan, bagi yang pernah
saja, mengerti berapa kilo jauhnya merasakan cucuran keringat (XVII: LXXXIV).

Inikah penantianmu? Terlambat tetapi tak disebut kesiaan,
memaklumi pemancing menunggu mendapati ikan-ikan (XVII: LXXXV).

Tabuhan gendang menderang cahaya menghimpun peperangan, menusuk
ruang gelap busa, mabuk gugurkan dedaunan awan (XVII: LXXXVI).

Inikah cara menepati janji dunia penyair? Kan trauma besar,
merontokkan gigi-gigi palsu, rahang tambalan (XVII: LXXXVII).

Apalagi dipertahankan? Mengembangkan maksud memekarkan kembang
tersentuh, patuh menyirami hasratmu berbudi pekerti (XVII: LXXXVIII).

Ia laksana air mengalir dari ketinggian,
kata-kata mengenai jalan satu-satunya (XVII: LXXXIX).

Kebimbangan penuh, keraguan mutlak,
mengasyiki derita menggelinjak jiwa merdeka (XVII: XC).

Setelah lembah pesawahan nurani dahaga, subur keganjilan dari benang
-benang terpencil, degup jantungmu terbawa kehendak tak terkira (XVII: XCI).

Ini sajak terlangsir ketika ada, menjadikanmu berdaya kepakkan sayap,
paruhmu diasah batu karang, mentitili bebijian makna kembara (XVII: XCII).

Mengajarkan anak-anak terbang dari dahan ke penglihatan jiwa,
teguk, saat danau menyuguhkan salam kedamaian mata (XVII: XCIII).

Di atas ketinggian batu karang, dedahan menjulur ke awan,
daunnya sahaja meninggalkan embun bagi pengajaran insan (XVII: XCIV).

Berkumpulnya waktu menggairahkan hasrat menggebu,
deru memukul ruang bisu, berteriaknya hati kelabu (XVII: XCV).

Kau mendapati firasat ganjil kesadaran, membisikkan masa pernah ada,
sebelumnya berupa nyala, lalu disebut pemberani, ruh-ruh terlahir (XVII: XCVI).

Dalam pribadinya tiada perlu adanya saran, sebab telah bersemayam wejangan,
sedang yang masih menghitung ragu, tersandung langkahnya (XVII: XCVII).

Ruh para pemberani berkecukupan, tiada kekurangan dalam kesunyian,
nalurinya bermahkota raja, jiwanya selaksa angin membuncang (XVII: XCVIII).

Bukankah kembara itu penerima serupa karang, pemberi laksana gelombang,
dan faham gempa taupan jiwanya, mematangkan kasih sayang (XVII: XCIX).

Duri-duri ilalang masih menyisakan darah masa silam
dan belumlah kering beku, embun di pagi-pagi itu (XVII: C).

Saat bibirmu tersapu angin lautan, keningmu tanjung karang ke ufuk mungil
kerinduan, sejauh ombak membawa kapalmu ke pulau matahari (XVII: CI).
—————–

*) Pengelana dari Lamongan, Jawa Timur.

Leave a Reply

Bahasa ยป