(Interpretasi puisi Nurel Javissyarqi yang bertitel
“Sekuntum Bunga Revolusi” dalam “Kitab Para Malaikat”)
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Tahun: 2013, Ukuran: A4
Media: Crayon on Paper
Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=215
Sebelum jauh tulisan ini melangkah, ingin menyapamu terlebih dulu;
apakah mimpi perlahan mulai sirna, oleh sorot matahari menempa jiwa,
entah masih ada, malam-malam lembut terjaga alunan sejati rasa (X: I).
Yang datang terlambat tak seharusnya menghakimi sebelumnya
dengan ketentuan membuta, ingatlah bunga-bunga rontok sebelum mekar,
nalar mentah keluar terlalu dini, reranting menunggu lebat sayapnya (X: II).
Angin tanggung mempermainkan awan mengusir kabut pegunungan
sebinar fajar meremukkan tembang dangkal, terkumpulnya ragu segenggaman
melebihi lebatnya pepohonan di bukit barisan, kala hujan menderas
membasuh buah asam Jawa, rontok terhempas ke sebrang (X: III).
Bagaimana bimbang di belantara, sedang ia menerobos ilalang?
Dahan keras kan patah, yang terus melaju temukan makna tiada terkira
bagi penyetia takkan kecewa, dipenuhi kebutuhannya (X: IV).
Terpontang-panting diayun bayu membelah laut tenggelamkan gelisah,
perahu keyakinan ia tumpangi ringan melaju, menuju ujung-ujung waktu (X: V).
Jika sayap-sayap bertumpuk memberatkan kepakan, cabuti bulu-bulunya,
barangkali kecompang-campinganmu, sanggup menggedor kemampuan semu (X: VI).
Sudahkah diawali pergesekan ini, serasa salju tambah memikat panasnya
saat daging jari-jemari mengepal sekali dalam genggaman keyakinan (X: VII).
Kenanglah ikan-ikan Bethik bertubuh daging gurih
tersebab hidupnya melawan arus terus menerus (X: VIII).
Begitulah menyukai anak-anak memberontak,
hukum tidaklah sama untuk para pengelana (X: IX).
Ia berkata; wujud tintaku darah kematian, dan setiap torehan kata
usiaku dikurangi, serupa tercerabutnya nyawa di medan perang suci (X: X).
Adakah kesia-siaan pada ruang belum terisi sekalipun?
Ia berucap; inilah keindahan, ketinggian seni bagimu (X: XI).
Kesadaran pejuang mengikuti awan-gemawan gerilya,
aliran sungai menyusuri lekuk seluruh tubuhnya mencari makna,
menggelinjak bertemu akar pohon dari batin kutub kekuatan (X: XII).
Yang dijalankan berbeda, berjumpa hikmah dari kekenesan kerja
bertatap mata menyenangkan prasangka, akan duga ilmu abadi (X: XIII).
Maha karya syair takkan selesai di segaris-garis keningnya
oleh muda usianya, ketika mengenakan ikat kepala pujangga (X: XIV).
Ruh serupa bayangan melayang-layang membebani kesadaran,
meski menjauh takkan sanggup melupakan seluruh,
seumpama isyarat bertemu dilaksanakan titahnya (X: XV).
Inilah nyanyian kalbu mendaki ke pebukitan seribu
takkan habis walau jutaan kaki merayap di punggung malam (X: XVI).
Saat berkaca di telaga, rautnya secantik bidadari bersayap bangau,
kepakannya membelai pagi, polesan biru di leher awan jenjang (X: XVII).
Kau mengusik kediriannya lewat menjatuhkan pilihan bergetar
pada cermin cerlang memantulkan cahaya kalbu berdegupan (X: XVIII).
Tidak lagi awan teman kembara ketika menapaki tangga langitan
menuju batas daya demi kehadiranmu di panggung penciptaan (X: XIX).
Ia mainkan melodi hening, harpa menggema ke dasar biru lautan,
menggempur karang bolong, ingin menguasai kesunyian malam (X: XX).
Yang duduk dalam permenungan wengi-wengi kepadanya, ialah
mengapungkan kabut kasih sayang, pijakanmu sebijak nafas denyutan aksara
kepada bintang di ruang waktu, menjadikan penentu gerimis rebah (X: XXI).
Terbangmu uap anggur mengendap dari persembunyian,
kemabukan itu membentangkan jalan tidak terkira menjaga lautan
serta ikan-ikanmu ialah kebaikan utuh di hadapan masa (X: XXII).
Ingatlah sayang, abad cantik menikam-nikam,
seumur hidup berkali-kali gugur itu kesegaran diri terpenjara (X: XXIII).
Racikan jamu bermomok rindu sejarah, sejauh tarian sampurmu
merangkul timur-barat menerbangkan uap bersayap wengi menyirap (X: XXIV)
; abu lelembaran kertas menggenang di lautan hitam, gugur bunga pasir
dan karang mengabadikan prahara, kau muntah lahar airmata di sana (X: XXV).
Tiada mengambil cintamu pada yang lain, ia mencipta jaring laba-laba,
yang disinggahi bayu mengantarkan diri terjerat bebenang jalannya (X: XXVI).
Sia-sia tersunggkur sebelum menyamai kata, adakah hamparan rumput
berkeindahan dipandang? Sebab cemburu, dilihatnya tak lagi nyata (X: XXVII).
Ia mengajak penjaga wengi mengumpulkan udara pagi, ketika nyawamu
tanpa bayang menyekutui badai, benci sebelum temukan terdalam (X: XXVIII).
Mengecup kembang legenda akan gelisah kasihmu, urailah gejolak ragu
lewat menempuh jalan kesadaran perang suci, demi kehadiran waktu (X: XXIX).
Mengunjungi sahabat kecil, belajar nilai-nilai kehidupan,
kegilaan berkarya, serta nasib dikejar-kejar tutup usia (X: XXX).
Ia berjanji demi ilmu mendukung harapanmu bertaruh,
seumpama ayam jantan di gelanggang itu takdirnya (X: XXXI).
Aliran darah kesatria membelai tidak segan membantu perjuangkan
keyakinanmu, bersamanya datang menghirup aroma kebebasan (X: XXXII).
Malam-malam tak lagi mendukung, rasa sakit tiada mencipta daya,
maka pahatlah bongkahan masa merenungkan telaga lama,
ia balik dari pusaran memandang kesungguhan (X: XXXIII).
Kau tak bisa tenang tanpa sangkar langitan, dirinya dekapan angin bersalju,
timur-barat miliki lentera, terkurung dalam pelita renungan kembara (X: XXXIV).
Carilah padanan cahaya, manakala tertelan kabut lembah,
memudar bersamamu masih lekat bayangannya (X: XXXV).
Hasrat terkumpul dalam relung jiwa memberi lekang kelegaan,
ia nyala api pembakaran dalam malam-malam pembaharuan (X: XXXVI).
Ia dahaga di setiap menyisakan pahit senja, duka nestapa dibawa lari,
segelas minuman dari perasan mawar dipetik pada jalan kembara (X: XXXVII).
Di sini bergolak birahi sejati, menenggelamkan jiwa di lumpur semesta,
karamnya kapal ditakdirkan, warisan pemberontak menantang (X: XXXVIII).
Melengking sedari jarak tidak terduga, asmara menciptakan bara,
berseru dunia pemuda menyulap kayu-kayu berarang kesatria (X: XXXIX).
Belum sempurna senyuman, sedang lainnya telah kenyang kelelahan,
tidak cukup terkadang baik pada kebijakanmu yang semu, jawabnya (X: XL).
Seyogyanya tidak dipersalahkan menuang anggur hitam kebebalan,
melukis dentingan gelas senyuman pada sudut-sudut pesta tengah malam
dan lenggokan bidadari menawan mata menggairahkan sukma (X: XLI).
Segera terkatakan, ia berteriak di kala bumi tidak lagi berhasrat
serupa ketegaran tugu menegak setia pada pergantian musim-musim
melepaskan ruh perbendaharaan kata-kata paling rahasia (X: XLII).
Sebagian berucap tumbal keegoan sakit,
sedang kekasihnya tidak menyalahkan (X: XLIII).
Gemuruh gelak ombak menggemuruh di bathin rindu bertalu,
tersisanya nyawa diserahkan kepada waktu kelanggengan (X: XLIV).
Dinding-dinding kamar beku gelap ditumbui jamur pengab,
tiada lintasan bayangan, semuanya menyatukan perasaan (X: XLV).
Ketika nafas tangis tersumbat sesenggukan, jantung berdegup
rahasia terawat nyala pekat, ini pengaduan dalam peraduan (X: XLVI).
Kabut keganjilan menyulami ketinggain memekatkan telinga
dan kepekaan buntu, oleh bebatuan waktu tidak menentu (X: XLVII).
Malaikat sekelebat pedang mendayu nyawa
seiring tubuh lunglai kehabisan rayuan (X: XLVIII).
Siapa berkunjung berbeban mendapati tubuh memberat
atas serpihan pekabutan terkumpul dalam pertemuan (X: XLIX).
Waktu tak berwaktu, gemuruh ombak menggedor tanjung pesisirmu,
tenggorokan parau, tiada cukup hidup sekadar memanjangkan hayalan (X: L).
Oleh kegembiraan, bahaya lupa melumpuhkan penunggu,
tanda-tanda terus dipertanyakan dalam kesendirian terpencil (X: LI).
Memaksa ingatan kepada bunga kekupu terbang disertai bayu
menghapus perasaan penat sedari ruang tanpa lobang (X: LII).
Mengambili kelopak-kelopak sunyi akar-akaran terdalam,
tiada kehidupan selain nafas dicukupkan baginya seorang (X: LIII).
Diri tiada haus-lapar, nging dalam telinga terbalut kulit (X: LIV).
Semakin kusut mata cekung, suara serak oleh kepakan (X: LV).
Usahakan gelap dapat terbaca, tapi apalah daya kau memuntah
saat alunan seruling khusyuk memperdengarkan gejolak jiwa (X: LVI)
; menilik kefahaman menerima kebijakan, dan
kelelawar menerobos lebih dari hitam malam (X: LVII).
Jangan telan sebelum semut keluar buah, ada perbedaan jelas dirinya;
dia tirakat demi persembahan, sedangkan kau tak nikmat mengenyam (X: LVIII).
Penolakan itu sembelit perasaan sakit, secangkir racun oleh sang putri
untuk kekasihnya, pembunuhan tersebut mengagungkan cinta abadi (X: LIX).
Para raja memburu drajad mulia, lelangkah menyusuri pandangan kaki,
di pundak lelah mata memberat, pada gilirannya menemukan hikmah (X: LX).
Beradu pukul terserak-mendetak, keringat mengucur lainnya menguap,
menyelesaikan sejarah tanpa nisan, berlalu sama berlakunya racunmu (X: LXI).
Batu-batuan krucuk pecah terlempar, bagi saksi siksa akhir kelegaan,
yang sadar bersabar, akan tahu melewati jalan batu menuju pulang (X: LXII).
Gerak lincah tinta hitam lembut menelusup ke urat syaraf nun jauh,
segera bertemu keremangan masa lalu yang dekat kepadamu (X: LXIII).
Sedenyut racun terminum sungguh, tubuh membujur di lingkar bertalu,
dibopongnya ke puncak halimun, di luarnya terdengar dentingan air tuwong,
bisik-bisik liar-meliar menggerayangi, mencari cela-cela keluar (X: LXIV).
Yang menetapkah keheningan ialah jiwa dalam pemukiman,
menggigit batang sekerat di dalam nada nadi syahadat (X: LXV).
Ditariknya irama gelisa ke goresan lama, saat berjumpa
mengenang catu pernah sakit terjatuh dahulu (X: LXVI).
Ke dasar kekosongan, sukma berputar membebas,
nafas-nafas merangsek menuju perburuan keras (X: LXVII).
Dalam setiap kelupaan ada kemarahan memuncak,
menggedor tembok meruntuhkan dinding langit (X: LXVIII).
Gemawan beterbangan menuju pusaran maksud sampai
derasnya ke titik kesadaran, sebagaimana suara nan abadi (X: LXIX).
Kematian meninggalkan luka, harum kembang menguntum mekar di udara,
tubuh satu ke tubuh lainnya, lintang-lintang berkerlipan menghiasi langit (X: LXX).
Kehidupan menerima umpat di tengah kedekatan, tangan kasih bayu pantai
mendatangi butiran pasir mengombak kepada karang memendam cerita (X: LXXI).
Datang waktunya menulis juwita, ia taruh kerinduan di ujung pena,
menyiratkan tinta hitam sedari keseluruhan kehendak dirasa (X: LXXII).
Kesaksian tubuh-tubuh kembang pada bebatuan dinding candi,
setia memberi salam merayu reinkarnasi pengabdian nilai (X: LXXIII).
Kalimah wangi sebarkan kata suci, atas gebalau jiwa memutih,
menggubah nafas langit menembangkan kemakmuran (X: LXXIV).
Sepadan direngkuh hangat pelukan legenda dikunjungi ruh,
tidakkah merasakan, bahwa inti degupannya mengisi piala ganjilmu,
mencurahkan angin kerinduan berluapan kabut seluruh (X: LXXV).
Sengaja lembaran beriktikat menyetiai meski meragu temukan ujung,
sedang yang sambillalu gelisah, atas gravitasi penciptaan waktu (X: LXXVI).
Ini halilintar hati menyambar naungan nurani, gelegak ombak samudra
menampar pepintu goa pada dinding-dinding angkasa jiwa mulia (X: LXXVII).
Renungkan gurau ricik kebersamaan wewaktu, duduklah di sampingnya
dan ayunkan kakimu biar lengan berselendang menjamah tubuh (X: LXXVIII).
Puja-puji berlangsung agung, berkahnya mengingat tujuan mulia,
selayaknya batu candi dihiasi relief, saling mengisi ruang-waktu (X: LXXIX).
Datang membawa rindu berabad kepada setiap masa berjumpa,
masikah kau terpenjara oleh irama kehidupan sekalipun? (X: LXXX).
Ingatlah masa silam berhujan jalan, debaran rintik gerimis
terdengar tangisan tumpah, dari sambaran petir hadirkan kisah (X: LXXXI).
Pemahat memenjara jiwa-jiwa, sekejap memang jeruji serasa nikmat,
penghuninya tiada sia-sia, kau menanti tubuh cairnya
saat mentari malu-malu mengintip dunia (X: LXXXII).
Fahamilah bebatuan hidup, gunung-gemunung kangen bertemu kabut,
manakala rumput ilalang diguyur senandung kebersaaan hujan (X: LXXXIII).
Kesempatan kembara menghampiri basah mengurai tetesan sahaja,
penantian mengunjungi setiap ruangan menciptakan sunyi (X: LXXXIV).
Jika mengalir deras melayang ringan, gerimis tersedu lewat pucuk
rambut cemaramu, sedang rumput terawat embun pagimu (X: LXXXV).
Yang patah sebab hembusan bayu kering menghampar payah,
melangkah menghirup bau padi mematangkan gairah (X: LXXXVI).
Elusan gerimis memukau senyum jantungmu dipersiapkan,
menyemai bentuk warna menyetiai alam perubahan (X: LXXXVII).
Ia cukupkan ini dan esok bakal tersambung oleh tidak selalu
keindahan terpaparkan serta ingin kau ketahui semua (X: LXXXVIII).
Menjadikan nyala kasih sayang,
menjilat di bokor kelanggengan dalam kerajaan keabadian (X: LXXXIX).
Manakala awan berkehendak meneguhkan pertemuan, ruang waktu
jadi kenyataan, sedang hasrat berselimut segera terketahui kesadaran (X: XC).
Jiwa-jiwa merdeka bertarian dalam selubung ketinggian birunya cahaya
sematang malam dipanjatkan asap kemenyan mewangikan doa-doa beterbangan,
kelepak sayap lembutnya menarik maksud perjuangkan kedamaian abadi (X: XCI).
—-
*) Pengelana asal lamongan, Jawa Timur.