Masa Lalu Sebagai Kenang-Kenangan

Haris del Hakim
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Berapa kali kaujenguk masa lalumu setiap hari?
Kenangan masa lalu selalu tampak indah dan senantiasa diingat dengan wajah berseri-seri, seakan alam semesta telah berubah menjadi alat musik yang hanya memainkan nada-nada bahagia. Meski perih dan luka tidak lepas dari satu kurun dalam kenangan itu, namun tak ubahnya nada improvisasi yang menambah merdu irama. Dan cerita tentang masa lalu lebih sering diiringi dengan tertawa dan bangga, apalagi bila terlibat di dalamnya sebagai pelaku.

Akan tetapi, saat sekarang yang sedang dialami dan dijalani menunjukkan bahwa dunia ini hanya hidup yang getir, pahit, dan luka yang tak kunjung sudah. Irama saat ini hanya lagu sendu yang sering menguras air mata, seakan tidak pernah mendapatkan satu tangga nada yang mampu membuat gembira. Semua peristiwa saat ini seakan tersedot dalam pusaran melelahkan dan membuat putus asa.

Sekali waktu muncul kesempatan menyenangkan dengan hadirnya rezeki, kabar gembira, atau kawan lama yang selama tahunan tidak bertemu, kemudian dalam keriangan tidak bosan berujar seakan Tuhan bersamanya. Akan tetapi, bila kesempatan sulit dan sesak menimpanya; ketika seorang juru tagih menagih piutang, penyakit yang datang tiba-tiba, atau sesuatu yang hilang, maka yang keluar dari bibir adalah keluhan-keluhan bahwa Tuhan telah meninggalkannya.

Sementara itu, impian-impian membumbung tinggi hingga lupa bahwa dia masih memijakkan kakinya di bumi. Seperti seorang pemimpi yang tidur sepanjang waktu kemudian bangun sekadar untuk menceritakan mimpinya kepada orang lain. Mimpi itu begitu dekat dan hampir menjelma kenyataan. Namun, begitu mimpi itu hanya igauan di siang hari dan bahan lelucon orang-orang yang pernah mendengar ceritanya, dia segera mengambil seutas tali dan mengikat lehernya di dahan pohon.

Begitulah yang terjadi ketika kau terperangah dengan kehidupan yang begitu pendek dan menganggapnya sebagai akhir dari segalanya. Ungkapan ini begitu mudah kaunyatakan, sebagaimana mudahnya kautemukan iring-iringan orang yang mengantar usungan keranda menuju pemakaman. Berjalanlah menyusuri tempat-tempat yang belum kaujamah dan jangan terpukau mendapati pengiring jenazah, sebab ketika kau terpukau pertanda kau sedang lalai bahwa dunia ini pasti berakhir. Pada saat itu kaulihat iringan pengantar jenazah yang sama sekali tidak kaukenali, tapi kau tak tahu bila kapan iringan itu mengantarkan jenazah tetanggamu atau keluargamu atau bahkan dirimu sendiri.

Oleh karena itu, akrabilah kematian agar dapat kautuntaskan semua ketakpastian dan selamat dari kegalauan. Peristiwa dan perasaan barangkali telah membantingmu ke sana ke mari agar kau mengaduh dan mengeluh sekeras-kerasnya, namun akrabmu dengan kematian akan mengajarimu untuk menjalaninya dengan tegar dan tersenyum. Bukankah semua itu hanya sesaat dan sebentar kemudian segalanya akan berlalu? Nafas boleh panjang namun dia pasti berujung pada maut.

Hati-hatilah mencerna kata-kata tersebut, sebab kesalahan memahaminya dapat membuatmu terjebak pada lembah ketidakpedulian dan keacuhan.
Sabda Suci, “Sesungguhnya kehidupan dunia ini tidak lebih sebuah pentas permainan dan kelalaian.” Kalimat itu menyindirmu karena serius menghadapi saat-saat sekarang dan melupakan kehidupan hakiki yang lebih panjang tanpa ujung. Kau keliru bila membayangkan saat sekarang hanya untuk sekarang, sebab sekarang adalah mempersiapkan tanaman yang dapat dipetik di kelak kemudian hari; saat ini kau mesti menyiapkan lahan keluasan iman, memilih benih yang bermanfaat, menanam dengan ikhlas di musim yang tepat, menyiangi gulma kemusyrikan, memelihara dari gangguan kekufuran dan kemunafikan, dan berdoa dengan harapan dan kekuatiran.

Pandangan jauh ke depan yang melahirkan kesadaran tentang awal dan akhir mengajarkan kesenangan dan anggapan kenikmatan hanya berlaku dalam sepenggal waktu; mengapa kaucuci tangan bersih-bersih dari kesusahan yang menyertainya? Belajarlah menikmati hidup abadi agar tidak goyah dalam kurun waktu sementara.

Kehidupan sekitar hanya cermin hati. Prasangka buruk di dalam benak seperti seorang dirigen yang memimpin semesta untuk berteriak, “Ya, kami buruk sekali. Lihatlah, wajah kami penuh bopeng bukan?” Kalau dalam prasangka dunia ini tampak indah, maka gerakan tanganmu pun lincah untuk membimbing semesta bersorak, “Oh, kami sangat indah. Sayang kau tidak pernah memperhatikan.”
Karena itu, dusta besar bila menganggap semesta ini munafik. Katakan, dirimu yang munafik hingga tidak sanggup memahami yang sebenarnya.

Sang Nabi pernah bersabda, “Aku heran dengan orang mukmin. Ia tidak pernah bersedih. Ia memandang kehidupan dunia ini dipenuhi keindahan semata.” Ketika seorang mukmin dicaci maka dia berkata, “Alhamdulillah, dosaku berkurang satu.” Di saat mengalami kemiskinan dia berkata, “Alhamdulillah, aku diberi kesempatan untuk beribadah dan tidak perlu repot bertanggung jawab mengurusi tetek bengek harta yang belum tentu bermanfaat di akhirat nanti.” Ketika kaya dia berujar, “Alhamdullah, aku diberi kelapangan oleh Tuhan untuk menunaikan hak mereka yang terampas.”

Takarlah semua yang menimpamu dengan takaran seimbang, agar perasaan kecewa tak menyergapmu. Kau hanya setitik makhluk kecil di antara tatanan semesta dan kau tidak pernah tahu apa yang terbaik untuk dirimu sendiri; apakah kau masih berpikir mampu berbuat yang terbaik untuk alam semesta ini? Apa yang kaukira kebaikan bisa saja keburukan yang suatu saat akan meletus dan apa yang kausangka keburukan ternyata kebaikan yang menyelamatkanmu.

Jenguklah masa lalumu sekadar saja di saat yang tepat agar kau tidak terseret oleh siksaan yang tidak kausangka-sangka. Sebagaimana yang dialami oleh istri Lut. Pada malam-malam buta orang-orang beriman diajak hijrah oleh Lut, sebab negeri mereka sebentar lagi dihujani batu-batu api dan dibalik tanahnya. Lut merasa sayang dengan istrinya yang sering berpihak pada kekufuran dan mengajaknya ikut hijrah. Seperti yang dipesankan oleh Tuhan melalui malaikat, dia pun berpesan kepada istrinya bila melakukan perjalanan jangan sekali-kali menoleh ke belakang, meskipun rasa ingin tahu begitu kuat untuk melihat apa yang terjadi. Begitu pula yang disampaikannya kepada orang-orang beriman. Dan pada malam itu janji siksa Tuhan benar-benar datang. Lut beserta istri dan orang-orang mukmin telah meninggalkan negerinya. Malam itu bintang-bintang api jatuh. Suara berdebum-debum diiringi teriakan kesakitan dan mengerikan. Jeritan dan tangis penyesalan sudah tidak berarti lagi. Lut menggigit bibir merasa kasihan pada kaumnya yang tidak mempercayainya. Sedangkan istrinya lupa dengan pesan suaminya. Dia menoleh ke belakang dan melihat siksaan yang didustakan benar-benar datang. Dia tertegun dan tertinggal jauh di belakang hingga tanah yang dipijaknya pun ikut terbalik atau sebongkah batu panas menimpuknya?! Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban dan bantahan.
Maha suci Tuhan yang menciptakan lupa.
***

Maulana Jalaludin Rumi mendendangkan wejangan dalam Matsnawi tentang seseorang yang gemar menaburkan deduri di tengah jalan.
Kata-kata itu ditujukan bagi orang bebal yang senang dengan makhluk. Dia mempunyai kebiasaan menanam duri di tengah jalan. Orang-orang yang telah melewati jalan itu mencaci makinya dan banyak pula yang menyuruh untuk mencabut duri-duri itu, tetapi ia tidak juga melakukan. Duri-duri yang ditanam itu semakin hari semakin tumbuh, bahkan telapak kaki manusia dapat mengucurkan darah karena tergores. Duri-duri itu pula yang merobek pakaian makhluk; sedangkan telapak kaki para darwisy; alangkah kuatnya menanggung rasa sakit. Seorang bijak memanggilnya dan berkata, “Cabutlah duri yang kautanam di tengah jalan itu!” Namun, ia menjawab, “Ya, aku akan mencabutnya pada suatu hari nanti.”

Hari-hari telah berlalu. Sementara itu ia akan mencabut duri-duri itu besok sehingga batang duri pun tumbuh menjadi semakin besar.
Orang bijak berkata lagi padanya, “Wahai yang memungkiri janjinya sendiri, segera lakukan apa yang kuperintahkan. Jangan biarkan duri-duri itu melukai dirimu kembali.”
Ia mengatakan, “Hari-hari itu tengah kita jalani, paman!”
Orang bijak melanjutkan bicaranya yang sempat disela tadi, “Segera lakukan! Jangan hanyak berangan-angan untuk menunaikan agama kita.”

Wahai, kalian yang suka mengutip kata “besok”, ketahuilah bahwa hari dan zaman pasti berlalu. Pohon duri yang buruk rupa ini akan tumbuh semakin kuat dan ulet; dan hanya seorang syaikh yang kuat sanggup mencabutnya. Pohon duri itu pun semakin kuat dan tinggi, sementara yang akan mencabutnya pun bertambah renta dan ringkih. Pohon duri, setiap hari dan setiap saat, makin menghijau dan elok dipandang mata. Adapun mencerabut duri makin bertambah susah dan berat. Ia semakin dewasa sementara dirimu semakin tua, maka segeralah, dan jangan menyia-siakan waktumu.

Ketahuilah, semua perilaku buruk dalam dirimu merupakan pohon duri, sementara kalian mendapatkan tusukan duri-duri di telapak kakimu itu adalah persoalan lain. Betapa banyak yang terluka karena perilakumu: kau benar-benar tidak mempunyai perasaan, bahkan sebenarnya dirimu tujuan dari peniadaan. Apabila dirimu menghadapi orang lain yang terluka karenamu—yang menjauhimu karena perilakumu yang buruk—kadangkala kau lupakan perbuatanmu; bahkan, kau lalai dari luka yang terjadi pada dirimu sendiri? Kau adalah azab bagi dirimu sendiri dan semua orang selainmu.

Ambil kapak dan tebang pohon duri itu, seperti yang dilakukan orang-orang gagah. Cabutlah dengan segenap kekuatanmu, seperti yang dilakukan Ali ketika mencabut pintu Khaibar.
Kalau saja kau tidak mampu, maka jadikan duri sebagai sahabat bunga mawar dan jadikan api sebagai sahabat cahaya kekasih. Hingga cahayanya pun menaungi api yang ada pada dirimu dan menjadikan sarana duri-durimu sebagai taman mawar. Kau seumpama api neraka Jahim adapun mursyidmu adalah orang mukmin; hanya seorang mukmin yang mampu membekukan api.

Apa saja yang kau tanam pasti akan berbuah dan sekaligus mengundang kehadiran burung prenjak, burung gagak, atau merpati bagimu. Kita telah kembali untuk memotong jalan lurus dengan benda; kita harus kembali, tuan. Di manakah jalan kami?

Kami telah menjelaskan kepadamu, wahai pendengki. Keledaimu telah lepas sementara rumahmu masih jauh, maka segera berangkat! Tahun telah kehilangan separuh hari-harinya dan sekarang bukan lagi musim tanam, sehingga hari-hari tersisa ini hanya berisi muka hitam dan perbuatan buruk. Seekor ulat telah mengeram di akar pohon jasad, maka suatu keharusan untuk mencabut dan melemparkannya ke neraka.

Jasad yang mati tak lebih gumpalan adonan roti—ketika bersahabat dengan ruh—menjadi hidup, bahkan menjadi mata kehidupan. Kayu bakar yang hitam ketika bersahabat dengan api—akan melenyapkan warna hitamnya dan menyulapnya—menjadi cercah-cercah cahaya. Bangkai keledai—ketika jatuh di gugusan bintang yang terang—akan terselungsungi dari kekeledaian dan terhalalkan jasadnya. Sibghatallah menjadi bejana warna wahdaniyah. Berbagai warna di dalamnya menjadi warna tunggal. Apabila ada seseorang berada di dalam bejana itu dan kau katakan, “berdirilah”, maka ia akan menjawabmu dengan suara genderang, “aku adalah wadah maka jangan mencaciku.” Ungkapannya “aku adalah wadah” merupakan esensi pernyataan “aku adalah Kebenaran”. Apakah selain besi dapat mengambil warna api untuk dirinya? Warna besi terhapus dalam warna api. Besi seakan-akan dalam kebisuan menampakkan kesenangan dengan sifat api. Saat ia telah menjadi—dalam warna bara merah—seumpama emas berpijar, maka ia merasa bahagia seraya menyatakan tanpa lisan, “akulah api!”

Aku adalah api.
Kalau kau ragu maka ulurkan tanganmu ke tubuhku.
Aku adalah api.
Kalau kau sama denganku maka tempelkan wajahmu pada wajahku.
Seorang manusia ketika meminjam cahaya dari Allah menjadi sandaran; para malaikat sujud kepadanya karena Allah telah mengijabahinya. Begitu pula ia menjadi sandaran bersujud manusia; ketika ia telah memurnikan ruhnya dari keraguan dan tirani, seperti malaikat.

Apakah api?
Apakah besi?
Tutup kedua bibirmu dan jangan banggakan jenggot karena mirip dengan kaum berjenggot. Jangan langkahkan kaki ke laut dan kurangi bicaramu tentang laut. Berdirilah di pantai dalam keadaan diam demi menjaga kedua bibirmu dari kebingungan.

Hati adalah telaga yang terhijab, karena itu ia memiliki cara rahasia menuju laut. Penyucianmu yang terbatas membutuhkan kurun waktu; jika tidak, maka hitungan akan bertentangan dengan sedekah.

Surabaya, 25 Ramadhan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *