Maman S. Mahayana
Korrie Layun Rampan, Tokoh-Tokoh Cerita Pendek Dunia, Jakarta: Grasindo, 2005, xviii + 233 halaman.
Konon, sastra adalah roh kebudayaan. Ia dilahirkan dari sosok sastrawan yang mengalami serangkaian kegelisahan atas problem kultural masyarakatnya. Sastra yang mengangkat dunia manusia menggambarkan gagasan, bahasa, pikiran, perasaan, sikap perilaku, dan pandangan hidup manusia sebagai salah satu bentuk pengejawantahan kebudayaannya. Maka, mempelajari kebudayaan sebuah bangsa dianggap tidak lengkap, jika mengabaikan khazanah kesusastraannya. Itulah sebabnya, sastra sering juga dijadikan sebagai alat untuk sampai pada jembatan kebudayaan. Dengan begitu, membaca dan mempelajari sastra, pada hakikatnya sama dengan mempelajari kebudayaan sebuah komunitas. Dalam karya sastra, ada potret sosial, ada semangat zaman, ideologi, dan harapan yang melatarbelakangi dan melatardepaninya.
Dibandingkan puisi atau drama, novel –dan lebih khusus lagi cerita pendek (cerpen)— sebagai salah satu ragam sastra, dianggap paling dekat dengan potret sosial itu. Bentuknya yang kemas, lugas, dan padat, menjadikan cerpen cenderung menyajikan gambaran problem sosial itu langsung ke pokok masalahnya. Meski kebanyakan cerpen sekadar mengangkat salah satu aspek atau fragmen kehidupan keseharian manusia, ia tetap diperlakukan sebagai representasi kultural masyarakat pada zamannya. Di situlah cerpen menduduki tempatnya yang khas.
***
Usaha Korrie Layun Rampan yang mencoba menghimpun sejumlah fragmen cerpen –dan novel—dunia dalam buku ini, bolehlah dimaknai menuju ke arah sana. Ia seperti menyediakan sebuah jendela. Dari sanalah pandangan kita dibawa memasuki berbagai negeri di belahan dunia yang lain. Ada kisah tentang ‘percintaan’ manusia dengan harimau ketika kedua makhluk itu terdampar di padang pasir; kisah seorang ibu dan anak yang amblas di padang salju, veteran perang yang lamarannya ditolak, anak gajah yang penasaran, penduduk desa yang sabar mencari keadilan, pelajar yang jatuh cinta pada penari izu, manusia yang terdampar di pulau kosong, perkawinan yang terpaksa yang justru akhirnya membahagiakan, dan berbagai cerita lain yang sungguh tidak kita duga, penuh kejutan, dan menyihir!
Dalam konteks itu, apa pun, yang ada di sekeliling kehidupan kita, sesungguhnya bisa menjadi sebuah cerpen yang menarik hati. Dan itu sangat bergantung pada bagaimana hal yang remeh-temeh itu, dirangkai dalam kemasan cerita yang menarik; disajikan menjadi sebuah potret tentang manusia. Jadi, ringkasnya, bagaimana segala sesuatu yang tampak biasa itu disulap menjadi kisah yang luar biasa. Di situlah seorang sastrawan dituntut kepekaannya dalam melihat hakikat di balik segala peristiwa yang tampak di permukaan itu. Lalu, apa maknanya bagi kehidupan manusia.
Harus diakui, pilihan fragmen yang dilakukan Korrie, masing-masingnya nyaris memancarkan daya pukau dan pesonanya sendiri. Maka, ketika kita mencoba masuk ke dalamnya, semua itu terasa begitu asing, tetapi tokh tetap menyihir dan mengganggu rasa penasaran kita, karena ia bicara tentang manusia. Seolah-olah ia berada begitu dekat dan menjadi bagian dari persoalan kita. Di situlah kekuatan cerpen (: sastra) sebagai representasi kebudayaan manusia. Ia menceritakan manusia di dunia entah berantah dengan kebudayaannya yang mungkin terasa begitu asing, tetapi kita tetap merasakannya sebagai masalah kita juga, dan kita seolah-olah berada di sana.
Ada 35 cuplikan (cerpen dan novel) dari 35 pengarang kelas dunia yang terhimpun dalam buku ini. Secara kronologis, Korrie, dengan alasan tertentu yang meski bisa mendatangkan kontroversi, mengawalinya dari Sir Walter Scott (1771—1832) sampai Albert Camus (1913—1960). Untuk melengkapi posisi masing-masing pengarang, disertakan pula secukupnya biodata para pengarang itu. Tentu saja informasi itu penting untuk meluaskan wawasan tentang kiprah mereka, baik dalam sejarah sastra di negerinya, maupun dalam sejarah sastra dunia. Dengan begitu, kita (: pembaca) seperti dipersilakan menikmati berbagai hidangan dari mancenegara. Dari sana, serba sedikit kita dapat pula mengintip berbagai ramuannya, cara meraciknya, dan bagaimana menghidangkannya. Maka jika kita ingin jadi juru masak (: cerpenis) yang baik, cermati dan pelajarilah dengan seksama masakan-masakan (cerpen) kelas dunia yang terhimpun dalam buku ini.
Kesan yang segera muncul dalam hampir semua fragmen cerita itu adalah kuatnya kesederhanaan dan kebersahajaan, baik yang menyangkut persoalan tema, maupun cara bertuturnya. Cerita mengalir begitu saja, tanpa pretensi, tanpa perlu pamer gagasan-gagasan besar, tanpa perlu mengobral ungkapan atau kata-kata yang canggih. Semuanya seperti terbebas dari niat menggurui atau pesan propaganda. Periksalah fragmen cerpen “Kakak-Beradik” karya Maxim Gorky. Sastrawan Rusia yang dijuluki Bapak Realisme Sosialis ini, bercerita tentang yatim-piatu, kakak-beradik. Si Adik membangun rumah besar yang kemudian dijadikan rumah sakit gila. Belakangan, si Adik itulah penghuni pertamanya. Tak ada propaganda dalam karya Gorky itu, tetapi empati kita seperti digiring untuk berpihak kepada nasib tragis kedua kakak-beradik itu.
Fragmen cerpen Franz Kafka juga sama sekali tak berkesan pretensius. Ceritanya tentang seorang lelaki desa yang dilarang masuk pengadilan dituturkan begitu saja. Bertahun-tahun ia menunggu di pintu masuk pengadilan, dan selama itu pula penjaga pintu tak mengizinkan. Menjelang kematian lelaki pencari keadilan itu, barulah penjaga pintu mengabarkan, bahwa pintu itu sebenarnya disediakan hanya untuk dia. Tetapi karena kematian menjemputnya, penjaga pintu itu pun segera akan menutupnya kembali.
Coba pula periksa fragmen cerpen “Sang Kura-Kura” karya John Steinbeck. Sastrawan yang –langsung atau tidak—mempengaruhi Ahmad Tohari ini, sekadar bercerita tentang perjalanan seekor kura-kura menyeberang jalan raya. Itu saja. Tetapi, dari sana kita –tanpa sadar—seperti dipaksa mencermati rerumputan, kinjeng, semut merah, dan gerak lambat langkah kura-kura; kepalanya yang lucu nongol dari rumahnya, mengintip keluar. Kaki depan dan belakangnya, mencekau dan terpeleset. Ketika ia berhasil melewati tanggul jalan raya, ia bergegas. Saat itulah melintas sedan, lalu truk, dan kura-kura itu pun terpelanting! Di sana, detail latar digambarkan begitu hidup dan kita asyik saja mengikutinya tanpa beban, seolah-olah kita melihat sendiri segala yang dikisahkannya itu.
***
Sebagai sebuah buku panduan, buku ini jelas penting. Ia kaya informasi tentang pengarang-pengarang dunia. Ia kaya akan contoh karya mereka yang memperlihatkan keberagaman gaya, style, dan tema yang diusungnya. Selain itu, di sana ada pula lampiran tentang Alfred Nobel –penemu dinamit yang kemudian menyumbangkan kekayaannya bagi tokoh-tokoh dunia yang dinilai memberi kontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan kemasyarakatan. Selepas itu, disertakan juga senarai para pemenang hadiah nobel sastra mulai dari pemenang pertama (Sully Prudhomme, 1901) sampai yang terakhir ini (Elfriede Jelinek, 2004).
Di luar persoalan itu, tentu saja kita perlu juga mencermati buku ini secara kritis. Ada beberapa pandangan yang agak kontroversial. Jika Korrie tak menyertakan cerpenis dunia selepas Camus, seperti Naguib Mahfoudz, Nadine Gordimer, Derek Walcott dan seterusnya sampai ke cerpen-cerpen dari belahan Asia, seperti India, Bangladesh, Korea, atau Filipina, kita dapat memahaminya lantaran naskah buku ini dipersiapkan sejak lama dan sudah rampung tahun 1990. Demikian juga pilihan cerpen dan pengarangnya, sulit kita perdebatkan jika pilihannya itu jatuh atas dasar selera. Mengapa, misalnya, nama-nama penting dalam perjalanan cerpen dunia, seperti Somerset Maugham, James Joyce, atau Ignazio Silone, luput dari pengamatan. Belum lagi sastrawan macam Gabriel Garcia Marquez, atau sastrawan lainnya dari kawasan Amerika Latin. Untuk itu, barangkali Korrie perlu membuat lagi buku sejenis sebagai lanjutannya dengan menyertakan sejumlah cerpen lain dari berbagai negara yang masih berlimpah dan tercecer.
Masalah lain yang juga bakal mengundang kontroversi dan sangat mungkin sulit dipertanggungjawabkan, menyangkut pencampuradukkan antara fragmen novel dan cerpen. Bagaimanapun, novel tidak dapat begitu saja dipersamakan dengan cerpen. Dalam novel, terbuka ruang yang lebih leluasa bagi pengarang untuk melakukan eksplorasi unsur-unsur intrinsiknya, yang justru sangat terbatas dilakukan dalam cerpen. Dalam hal ini, sesungguhnya lebih aman bagi Korrie jika ia memilih judul “Tokoh-Tokoh Prosa” dengan memokuskan diri pada cerita pendek. Dengan cara itu, Korrie akan terhindar dari kesan memaksakan diri memasukkan fragmen novel sebagai fragmen cerpen. Bukankah cerpen dan novel juga termasuk prosa, tetapi tidak berarti novel identik dengan cerpen.
Demikian juga, penempatan tokoh yang mempengaruhi dengan perintis, juga dapat mendatangkan masalah tersendiri. Perintis niscaya tidak identik dengan orang yang mempengaruhi. Dalam Kata Pengantar, misalnya, disebutkan, “Mungkin ada yang menganggap timbul kekeliruan dalam pemilihan nama para cerpenis yang ditampilkan di sini, karena para sastrawan itu tidak menulis cerita pendek, tetapi cerita-cerita panjang. Hal ini disadari sepenuhnya, seperti halnya mengapa Shakespeare dapat disebut cerpenis awal karena ia memberi pengaruh kepada para cerpenis yang lahir kemudian, meskipun ia tidak menulis cerita pendek dalam pengertian bentuk cerita pendek yang kita kenal dewasa ini. Itulah sebabnya beberapa nama penulis cerita panjang dicantumkan sebagai tokoh cerita pendek, karena mereka ini memberi pengaruh besar pada pertumbuhan dan perkembangan cerita pendek dunia, baik melahirkan gagasan, maupun menumbuhkan ide baru tentang cerita pendek.” (hlm. xvi—xvii). Jadi, perlulah Korrie berhati-hati dalam membuat klaim semacam itu, sebab banyak pihak yang memberi pengaruh kepada sastrawan, tetapi tidak serta-merta pihak-pihak itu dapat dikatakan sebagai perintis.
Bahwa di sana tersimpan beberapa pandangan kontroversial, niscaya tidaklah mengurangi kontribusi kehadiran buku ini. Ada dua hal penting yang tampaknya hendak ditawarkan Korrie. Pertama, sebagai usaha memberi wawasan yang lebih luas bagi cerpenis (: sastrawan dan peminat sastra pada umumnya) tentang panorama karya-karya sastra dunia; kedua, sebagai langkah yang terpuji bagi mereka yang berniat dan berminat belajar menulis cerpen. Bagaimanapun, belajar menulis cerpen dari karya dari para maestro akan berbeda hasilnya dengan belajar menulis cerpen dari karya penulis biasa.
Idealnya, kita dapat menikmati karya-karya dunia itu dari teks bahasa aslinya. Jika tidak, terjemahan dalam buku ini pun, kiranya ada juga gunanya. Dalam hal ini, pilihan teks terjemahan yang dilakukan Korrie, patutlah disikapi secara bijaksana. Mengingat yang disuguhkan itu karya terjemahan dari sejumlah orang, maka wajar saja jika memang kemudian muncul problem, karena di sana-sini kita menjumpai ada terjemahan yang begitu bagus, tetapi ada pula yang kurang sedap. Tak apa-apa. Yang penting, bagaimana kita mencicipi, mencermati, dan menyikapi berbagai halnya dari karya-karya yang memang dasarnya berkualitas dunia. Akhirnya, harus saya katakan. Membaca buku ini, sungguh saya seperti memandang dunia melalui jendela cerpen!
***
*) Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok.