Mikhael Dua
http://www.suarapembaruan.com/
Hari-hari belakangan ini, kita menyaksikan pengumuman Komite Nobel, yang berpusat di Swedia, mengenai nama-nama penerima Hadiah Nobel dalam bidang kesehatan, fisika, dan sastra. Penghargaan Nobel Fisika diberikan kepada Yoichiro Nambu, Makoto Kobayashi, dan Toshihide Maskawa, yang pernah melakukan penelitian berkaitan dengan usaha terungkapnya Teori Ledakan Besar (Big Bang) sekitar 13,7 miliar tahun lalu.
Nobel Sastra diberikan kepada Le Clezio, sastrawan Prancis. pengarang yang memiliki petualangan puitis, kepuasaan sensual, sekaligus memiliki kemampuan untuk mengeksplorasi kemanusiaan di bawah peradaban yang berkuasa.
Sedangkan, penghargaan Nobel di bidang kesehatan dan pengobatan dianugerahkan kepada tiga ilmuwan, masing-masing Franscoise Barre-Sinousse, Luc Montagnier asal Prancis, dan Harald zur Hausen berkebangsaan Jerman. Franscoise Barre-Sinousse dan Luc Montagnier memperoleh Nobel bidang kedokteran karena mereka diklaim sebagai penemu HIV (human immunodeficiency virus). Sementara itu, Hausen dianugerahi penghargaan serupa atas penelitiannya tentang hubungan HPV dengan kanker rahim.
Bagi Komite Nobel, temuan di bidang HIV/AIDS telah memberikan harapan bagi usaha pengobatan, sehingga pengidap penyakit HIV/AIDS masih memiliki harapan untuk hidup. Penyakit itu tidak lagi menjadi “hukuman mati” bagi pengidap penyakit HIV/ AIDS. Begitu juga halnya dengan temuan Hausen.
Oleh Komite Nobel, penelitian atas HPV dinilai memberikan harapan bagi hidup manusia, karena penelitian tersebut mendorong dikembangkannya vaksin yang dapat memberikan perlindungan di atas 95% terhadap risiko HPV 16 dan 18. Berkat vaksin tersebut, risiko kanker leher rahim dapat berkurang.
Apa pun polemik di balik pemberian Nobel tersebut, mata seluruh di dunia akan diarahkan kepada Komite Nobel ini ketika hadiah sungguh-sungguh diberikan pada Desember tahun ini. Setiap tahun praktis kita menyaksikan bagaimana Komite ini mengangkat tema eksplorasi demi kemanusiaan dan perdamaian dengan memperkenalkan beberapa sukses yang dicapai oleh para peneliti, para sastrawan, dan para pejuang perdamaian dan keadilan.
Tidak diragukan lagi bahwa tujuan penghargaan ini adalah untuk memberikan insentif internasional bagi para peneliti dan para pemerhati perdamaian dan kemanusiaan yang memiliki nuansa yang semakin lama semakin tak teramalkan. Memperhatikan bagaimana ilmu dan sastra sering dipakai sebagai alat kekuasaan dan hegemoni kultural, Komite Nobel, dewasa ini, semakin lama semakin sensitif pada perjuangan kemanusiaan dan perdamaian.
Penghargaan Nobel di bidang eksplorasi diberikan kepada penelitian berkaitan dengan teori ledakan besar, dengan HIV/AIDS, dan dengan eksplorasi puitis pada kepuasan sensual pada pengalaman sang manusia yang terpinggirkan di jaringan kekuasaan ideologis dan agama.
Ketiga penelitian tersebut bukan tanpa makna. Penelitian-penelitian tersebut mencoba menjawab persoalan-per- soalan dasar tentang keberadaan metafisik manusia, tentang kelangsungan hidupnya, dan bahkan tentang pengalaman-pengalamannya yang tak mampu ia pahami.
Ilmu dan sastra seakan-akan bersatu hati untuk menyampaikan satu pesan, bahwa jangan sekali-kali ilmu pengetahuan dan sastra digunakan untuk perang, untuk memprovokasi tindakan-tindakan kekerasan, dan bahkan untuk hegemoni kultural.
Ilmu dan sastra harus dibangun untuk menyembuhkan manusia dan bahkan untuk membuat manusia semakin mengekspresikan dirinya semakin lebih penuh, tanpa rintangan apa pun.
Dengan fisika yang menyelidiki dunia materi hingga sastra yang mencoba memperkenalkan dunia kultural dan sensual yang tak tereksplorasi oleh akal murni ilmu pengetahuan dan akal praktis politik dan bisnis, kita diajak masuk ke relung-relung misteri dunia dan manusia.
Pembelajaran
Saya kira jelas jika dikatakan bahwa penghargaan Nobel melebihi apa yang biasa kita lakukan dan pikirkan. Pembelajaran ilmu pengetahuan dan sastra dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi mengikuti logika pasar dan ideologi bangsa dan agama.
Kurikulum sekolah menengah dan perguruan tinggi tak banyak diisi dengan pembelajaran sebagai sebuah pemberontakan terhadap logika pasar dan agama tersebut. Yang ada adalah banyak mata pelajaran dan mata kuliah titipan berupa ideologi agar sang manusia yang belajar dapat berpikir menurut logika pasar dan ideologi tertentu.
Penghargaan Nobel adalah penghargaan terhadap ilmuwan dan sastrawan mandiri, unik, dan tidak memiliki hubungan dengan kepentingan pasar dan kekuasaan langsung. Sebelum diumumkan, Komite Nobel memperhatikan hal ini dengan sungguh-sungguh. Karena itu memperhatikan keunggulan penghargaan Nobel berarti merayakan keunggulan kemandirian ilmu dan sastra bagi kemanusiaan.
Saya kira fakta dasar ini sering kita abaikan dalam menyusun kurikulum. Bahkan, rumusan undang-undang pendidikan kita tidak banyak memberikan perhatian pada hal itu. Kita kerap terjebak pada ideologi kesucian manusia, tetapi tidak pernah memperhatikan bahwa manusia mengandung dimensi materialitas yang memungkinkan kita dapat hidup dan mati.
Membayangkan beberapa penerima penghargaan Nobel, seperti disebutkan di atas, kita mungkin hanya kagum. Yang sering dilupakan adalah mereka sendiri menghadapi godaan besar dari para peneliti lain yang memang menjadi pelayan bisnis dan kekuasaan.
——————–
*) Penulis adalah Kepala Pusat Pengembangan Etika Unika Atma Jaya, Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Teknik Atma Jaya.