Syaiful Amin
http://www.korantempo.com/
Ia ingin terus menulis dengan spirit menggebu.
SEHARI BERSAMA JOKO PINURBO Puisi telah memilihku menjadi celah sunyi di antara baris-barisnya yang terang. Dimintanya aku tetap redup dan remang.
Sejumput kalimat puitis yang ditorehkan Joko Pinurbo itu seakan mempertegas pilihan hidupnya sebagai penyair. Dan sebatang pohon sawo kecik yang tumbuh di halaman kantornya menjadi saksi hidup perjalanan kepenyairan Joko. “Di bawah pohon itu saya biasanya duduk-duduk mengendapkan ide-ide puisi,” katanya seraya menunjuk sebuah bangku kayu di bawah pohon berdaun rindang itu.
Rabu sore pekan lalu, Joko mengisahkan proses kreatifnya itu di kantornya di bilangan Dalem Tedjokusuman, Yogyakarta. Penampilan sang penyair sore itu sungguh sederhana. Tubuh tipisnya dibungkus baju putih bergaris-garis yang dipadu celana jins. Sambil mengisap rokok kretek filternya–dalam sehari ia menghabiskan minimal dua bungkus–Joko meneruskan ceritanya.
Duduk merenung di bangku kayu di bawah pohon sawo kecik memang telah menjadi bagian kesehariannya. Biasanya Jokpin–sapaan akrab penyair kelahiran Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962 itu–menjalani “ritualnya” tersebut selepas rutinitasnya mengelola majalah Matabaca dan mengedit naskah-naskah.
Menurut dia, meski tergila-gila puisi sejak duduk di sekolah menengah atas, ia belajar serius menulis puisi justru setelah menjadi mahasiswa. Sambil berkutat dengan diktat-diktat kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, ia mencatat ide-ide puisinya. Joko mencatat semuanya di buku notes kecil sebelum menumpahkannya menjadi sebuah puisi.
Joko muncul sebagai penyair yang menjelajahi banyak tema. Tapi, bila dicermati, ia sesungguhnya banyak menggeluti obyek keseharian, seperti celana, kamar mandi, atau tubuh manusia. Semua diungkapkan dengan bahasa sederhana, tapi tetap kaya imajinasi, juga parodi.
Di tangan Joko, puisi bisa ditulis dengan bahasa sehari-hari yang cair, tapi tajam, penuh ironi dan humor hitam. Kumpulan puisi pertamanya, Celana, langsung menggebrak. Kumpulan itu berhasil menyabet Hadiah Sastra Lontar 2001. Pada tahun itu juga ia menerima Sih Award (Penghargaan Puisi Terbaik Jurnal Puisi) untuk puisinya, Celana-1, Celana-2, dan Celana-3.
Setahun berselang, kumpulan puisinya bertajuk Di Bawah Kibaran Sarung mendapat Penghargaan Sastra Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Terakhir, antologi puisi Kekasihku, yang ditulisnya pada 2004, meraih Penghargaan Sastra Khatulistiwa 2005.
Toh, semua itu tak menghentikan langkah penyair yang telah menulis delapan kumpulan puisi ini. Ia terus menggali ide-ide kreatif puisinya, merenungkannya, dan kemudian mengendapkannya. Selain di bawah pohon sawo kecik, ia juga kerap menjalani “ritualnya” itu di sebuah sudut ruang tamu rumahnya. Menurut dia, biasanya saat yang pas merenung adalah setelah istri dan kedua anaknya berangkat ke sekolah. “Dan permenungan menjadi lebih indah bila ditemani kopi dan rokok,” kata perokok berat itu.
Rumah Joko Pinurbo, Pukul 07.15
Pagi itu suasana rumah Jokpin di Gang Setiyaki, Wirobrajan, Yogyakarta, cukup sepi. Menurut Joko, pagi-pagi sekali istrinya, Nuraeni, telah berangkat mengajar di sebuah sekolah menengah pertama. Dan kedua anaknya, Paska dan Zela, juga telah pergi ke sekolah.
Baru sekitar setahun Joko dan keluarganya tinggal di rumah seluas kira-kira 107 meter persegi itu. Sebelumnya, selama 14 tahun ia menetap di rumah kontrakan di bilangan Patangpuluhan, Yogyakarta. “Saya bisa beli rumah ini dengan susah payah banget,” katanya sembari mereguk kopi dan mengisap rokok kretek filter.
Niat bisa punya rumah sendiri sebetulnya telah muncul sejak lulus kuliah dari IKIP Sanata Dharma pada 1987. Saat itu ia menjadi dosen di almamaternya dan telah memiliki penghasilan tetap. Tapi sulung dari lima bersaudara itu mengalokasikan gajinya untuk membantu biaya pendidikan adik-adiknya.
Waktu berlalu. Sejak lima tahun lalu ia mulai mengumpulkan rupiah demi rupiah hadiah dari berbagai penghargaan dan honor membaca puisi untuk membeli rumah. Menurut dia, dana terbesar diperolehnya dari Penghargaan Sastra Khatulistiwa pada 2005. Ia mendapat Rp 50 juta. “Itu pun masih belum cukup untuk membeli rumah ini.”
Setelah ditambah honor membaca puisi di sejumlah tempat, kira-kira setahun lalu akhirnya terkumpullah dananya. “Wah, saya senang sekali akhirnya bisa memiliki rumah sendiri,” ujarnya semringah.
Rumah Joko berada di permukiman padat. Mobil tak bisa masuk sampai ke rumahnya karena gangnya terlalu sempit. Toh, rumah sang penyair itu cukup asri. Terasnya yang seluas tiga meter persegi dihiasi puluhan pot kembang. Dua di antaranya dari jenis aglaonema dan gelombang cinta.
Rumah bercat putih itu juga baru direnovasi. Sebagian besar ruangannya tersita oleh perpustakaan, yang menyimpan buku-buku Joko dan kedua anaknya. Malahan, saking terbatasnya ruangan, sebagian bukunya masih tersimpan di dalam tiga kardus dan diletakkan di kolong tempat tidur.
Sebenarnya sejumlah kalangan menawarinya menetap di Jakarta dengan iming-iming penghasilan besar. Tapi Joko menolak karena sudah kadung cinta pada Yogyakarta, yang telah membesarkannya. “Saya memilih jadi orang biasa saja seperti sekarang, di mana para tetangga tidak tahu saya seorang penyair,” tuturnya.
Kantor Yayasan Dinamika Edukasi Dasar, Pukul 11.30
Joko meluncur dengan motor bebek ke kantor Yayasan Dinamika Edukasi Dasar di bilangan Mrican, Yogyakarta. Hari itu ia telah berjanji dengan sejumlah rekannya di yayasan pendidikan yang dirintis mendiang Y.B. Mangunwijaya tersebut.
Setiba di kantor yayasan yang juga bekas rumah Romo Mangun itu, Joko langsung menemui rekan-rekannya. Siang itu, selain diskusi tentang masa depan yayasan tersebut, Joko dan rekan-rekannya membicarakan seputar rencana acara ulang tahun kelima Matabaca, yang akan digelar pada Agustus 2007.
Sekitar pukul 14.00, pertemuan di kantor yayasan itu kelar. Joko masih berbincang dengan rekan-rekannya. Tiba-tiba ia teringat utangnya kepada Romo Moko, seorang pastor yang gemar membuat karikatur. “Saya diminta membuat puisi sebagai pengantar kumpulan karikaturnya yang akan dibukukan,” katanya.
Menurut Joko, kendati puisi merupakan jalan hidupnya, ia merasa kesulitan dalam menuliskannya. Apalagi membuat puisi pesanan sangat sulit karena harus menyesuaikan temanya.
Makanya, dalam setahun belum tentu ia bisa menghasilkan 30 puisi. Menulis puisi itu membutuhkan suasana hati yang nyaman. Dan menulis puisi juga tak bisa dikejar tenggat. “Misalnya, untuk menyelesaikan kumpulan puisi Di Bawah Kibaran Sarung, saya membutuhkan sekitar enam tahun,” ia menerangkan.
Lebih jauh lagi, menulis puisi juga membutuhkan tempat yang kondusif. Selain di bawah pohon sawo kecik dan sudut ruang tamu rumahnya, kantor Yayasan Dinamika adalah tempat favoritnya melakukan permenungan serta pengendapan ide.
Di yayasan itu Joko masih bisa merasakan denyut napas almarhum Mangunwijaya, meski romo itu telah lama tiada. Baginya, semangat Romo Mangun yang humanis dan kerakyatan menjadi inspirasi yang tiada habisnya. “Apalagi di kantor yayasan itu tersedia ribuan buku bermutu.”
Kantor Redaksi Matabaca, Pukul 14.40
Hujan mengguyur kantor redaksi majalah Matabaca di Jalan Wahid Hasyim, Dalem Tedjokusuman, Yogyakarta. Menempati ruangan 4 x 5 meter, bilik kerja redaksi majalah bulanan itu cukup sederhana. Hanya ada tiga komputer, satu telepon yang terkadang dipakai untuk koneksi ke Internet, dan sebuah rak buku. Ruang tamunya, berukuran 2 x 5 meter, cuma berisi tiga kursi dan meja bambu sederhana.
Sudah lima tahun Joko duduk sebagai wakil pemimpin redaksi majalah yang mengulas dunia perbukuan di Indonesia itu. Dikatakannya, Matabaca lahir karena belum satu pun media di Tanah Air yang khusus mengupas tentang perbukuan. “Padahal jumlah penerbit di sini sangat luar biasa,” katanya.
Di kantor yang sederhana itu, Joko juga bekerja sebagai editor bank naskah Grup Gramedia di Yogyakarta. Dan sore itu, rencananya, ia hendak mengirim naskah ke Jakarta sekaligus memutakhirkan blogspot pribadinya. Karena jaringan komputer di kantornya ngadat, ia terpaksa ke warung Internet. “Maklum, gaptek. Kalau komputer di kantor tak bisa beroperasi, saya buru-buru ke warnet,” ujarnya terkekeh.
Hampir dua jam Joko berselancar di warnet yang berjarak sekitar 200 meter dari kantornya tersebut. Setelah itu, ia mengajak ke warung bajigur Pak Sudiyanto. “Sudah dua tahun lebih saya menjadi langganan warung itu,” kata Joko saat kami melangkah menuju warung yang hanya sepelemparan batu dari warnet itu.
Warung Bajigur Pak Sudiyanto, Pukul 17.00
Joko tampak begitu akrab dengan pemilik warung bajigur. Keduanya berbincang tentang banyak hal. Tak lama berselang, Joko mengeluarkan buku catatan kecil bersampul biru dari sakunya. Sambil menikmati wedang bajigur, ia menulis beberapa kata di buku kecil itu. “Saya memang sering membawa notes,” ujarnya. “Kalau ada ide, biasanya langsung saya tulis.”
Menurut Joko, begitu ada yang menggoda atau merangsang pikirannya, ia langsung mencatatnya. Biasanya yang dicatat bisa hanya sebuah kata kunci atau calon judul. Bisa pula konsep sebuah frase atau sebuah bait. Itulah nanti, bila sudah ada waktu dan suasana baik, yang dibawanya ke komputer.
Makanya, sehari-hari ia selalu membawa buku catatan kecil. Tapi, bila kebetulan ia tak membawa notes, ide-ide itu ditulis di telepon selulernya. Menurut Joko, setelah waktunya tepat, catatan di notes dan ponsel dibuka, lalu diendapkan. “Kalau ternyata menarik, saya kembangkan menjadi puisi,” ia menjelaskan.
Dari kebiasaannya itu, ratusan puisi telah ditulisnya. Menurut Joko, perjalanan kepenyairannya juga banyak dipengaruhi tiga orang: Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Joko Damono. Di matanya, ketiga penyair itu punya kelebihan masing-masing. Puisi-puisi Chairil menggunakan bahasa yang efisien dengan diksi tajam dan kuat. “Puisi Chairil serius dalam mengolah kata sehingga sangat padat,” ujarnya.
Sedangkan puisi karya Sapardi lebih sederhana. Ia mencomotnya dari peristiwa biasa, tapi diolah sehingga menghasilkan karya luar biasa. Lalu Goenawan Mohamad, puisinya sangat musikal dan merdu. “Membaca puisi Goenawan itu seperti mendengarkan musik yang mengalun indah.”
Kendati dipengaruhi tiga penyair itu, Joko tak terseret oleh arus mereka. Menurut dia, karya-karyanya mengambil sisi-sisi yang jarang digarap. Tema-tema puisinya mengambil persoalan sederhana yang memang belum disentuh. “Misalnya tentang kamar mandi, celana, atau sarung,” tuturnya seraya meneguk wedang bajigur hingga tandas.
Malam sekitar pukul 21.00, Joko masih menyempatkan kembali ke kantornya, membereskan sejumlah pekerjaannya. Setelah itu, ia kembali ke rumahnya. “Malam ini saya mendapat giliran ronda di lingkungan rumah,” ujarnya.
Begitulah. Yang pasti, di sela-sela serangkaian kegiatan kesehariannya kini, Joko terus mengukir kata. Semangat penyair bersahaja itu terus berkobar, seperti sejumput kalimat puitis yang ditorehkan dalam blogspot pribadinya:
Puisi telah memilihku menjadi celah sunyi di antara baris-barisnya yang terang. Dimintanya aku tetap redup dan remang.