(bathin lebih terhadap sejarah)
Nurel Javissyarqi*
http://sastrapemberontak.blogspot.com/
Sejarah di atas bumi, tak lepas dari yang dikurbankan untuk perut bumi.
Kerajaan Majapahit masih hadir dalam bathin saya, dan di benak pembaca terdapat rekaman sejarah. Tulisan ini bentuk upeti dari kadipaten Lamongan, dipergunakan untuk kedatangan di bencah tua tlatah Jawa. Mojopahit (Majapahit), yang kini lebih dikenal sebutan Mojokerto. Perubahan nama itu tak kurang usaha menghapus pamor, agar kelak tiada pemberontakan di negara Indonesia dalam bentuk apapun, itulah yang saya tangkap.
Sebelum jauh. Kenapa saya sering menulis kata batin pakai h atau bathin. Sebab diri ini tak kuasa menghapus unsur-unsur ruh dwipa. Yang resikonya tentu tidak dianggap mengikuti cara-cara wajar (umum). Namun saya bertanya: Apakah bahasa Indonesia sudah benar-benar matang secara jasad dan ruhaniah? Yang pengambilannya berawal dari bahasa melayu sebelumnya.
Usia dan usaha bahasa kita belumlah mapan, masih banyak kepincangan. Semisal kata ?semi? bisa berganda arti. Semi bermakna kan berkembang. Semi yang bernilai lain semisal film semi, dsb (belumlah mandiri kalau tiada kata lain, jika diambil pemaknaan). Sejenis kata ?bisa? dapat bermakna ?dapat? dan ?bisa? yang berarti ?bisa-?nya ular. Ini tepatnya pekerjaan orang kuliahan mengurusnya. Atau dalam bulan bahasa, seyogyanya diperbincangkan. Jangan-jangan informasi yang masuk ke telinga saya belum purna? Inilah enaknya bodoh, bisa menabrak ke sana-kemari, tak sopan pun jadi, daripada para korupsi (jangan-jangan bahasa kita sudah dikorup? Tapi saya kan menambah huruf h).
Ini gerak alam bathin saya, kalau tak nyastra jangan kecewa. Sebab saya tak merasa seorang sastrawan. Telinga ini masih asing mendengar tersebut. Atau keganjilan itu dikarena tulisan saya belum banyak nongol di koran. Mereka boleh membungkam mulut ini, tetapi gerak bathin tetap menjelajah. Di sini sejarah di balik kesadaran tampak, alam keyakinan manghantarkan kekukuhan, keabadian kerja. Ketika seorang seyakin-yakinnya, hal itu kan menelanjangi bathin pembaca. Andai bobotnya serupa, keyakinan saling berhantam di udara, laksana santet atau telur busuk yang pecah.
Keyakinan bukan kebusukan jiwa insan (tak seorang pun tak memiliki iman), minimal ia terheran atas proses alamiah tubuh serta usaha hayatnya. Walau ia bernalar tanpa keyakinan. Ini timbul lantaran melihat belum ada tulisan manusia jikalau dikumpulkan menguras lautan, apalagi tujuh samudra dalam pengambilannya sebagai tinta hitam makna.
Sejak lama saya mengimpi-rindukan tlatah Majapahit secara seksama, bagi banyak orang sekadar Mojokerto. Saya rindu tlatah Sumatra sebab di sana ada nyanyian halus puitika, sedang ke Mojokerto dengan kepatuhan spiritual akan bencah tanah tertua. Jadi teringat keluhuran bathin leluhur. Kerja sejarah berkeringatkan semangat. Ada bilang keruntuhan Majapahit sebab kejahiliyaannya. Tidakkah kita tahu, sejarah itu milik yang berkuasa, banyaklah nabi-nabi palsu bersabda. Jadi tinggal siapa bicara, itu saja. Tapi kekuatan bathin tak bisa disejajarkan. Ruh dari ruh moyanglah membangkitkan kerja kreatif kita.
Kita tak memiliki dinaya selain restu moyang dihantarkan kepada Yang Kuasa. Bagi orang cerdas susunan ini ngelantur, tak apa. Saya sadar ketololan ini, memperturutkan kebodohan bersama kaki-kaki diajak pergi angin kembara. Jiwa kita sering tergiur sesuatu yang baru, datang ke kepulauan itu. Padahal kita memilikinya. Tanah leluhur memberi restu, tinggal ambil sekemampuan masing-masing. Tidakkah setiap jengkal tanah pertiwi diperoleh berkucuran keringat, harta, tanah dan nyawa. Maka nalar-nalar asing seharusnya diwaspadai. Pun bentuk tingkah-pakolah perpolitikan, taklah sebanding dengan kesungguhan meyakini yang terkerjakan bathin, berkarya membongkar puing-puing sejarah. Menjelajah membawa angin berkah bagi siapa tengadah menghirup intinya.
Sejarah takkan terelak terus berulang. Dalam istirah, mengumpulkan yang sudah terkerjakan. Di sini harus bekerja semakin giat, saat nalar-nalat profan terlelap. Menenteng keyakinan bathin tuah tetap kokok tak berubah. Jawa, Sumatra dan kepulauan Indonesia sebagian besar, tak berbeda tlatah Mesir, India bertanah keramat, serupa tanah suci Makkah. Pembaca tentu menerima, kekeramatan tersebab banyaknya darah tercecer, kepala tertebas leher. Kesadaran kepada moyang yang banyak berkorban demi hayat kemanusiaan, yang dicuri, dirampas para pecundang, penjajah dls. Seyogyanya kudu lebih menyadari, tanah ini sungguh tumpah darah syah kita.
Usah ragu, reguk dan teguk. Keyakinan sebagai pemilik, daripada nalar-nalar impor yang ditelan mentah-lantah. Saya tak pugkiri harus belajar yang lain, nyatanya Timur-Barat setubuh, selogam mata uang memiliki wajah berbeda. Kita punya muka kalau tengadah. Jika kalimah ini tak berbau sastrawi, harap maklum sebab kedatangan saya ke Mojokerto, Majapahit saya juga, membawa bendera itu. Mungkin ini sudah nasib, tiada impian jadi sastrawan. Jika teringat masa kecil begitu bodoh, kerap tak faham pelajaran di samping tak naik kelas.
Saya bangga membawa kebodohan ke mana-mana. Dengan itu, lambat laun semoga terkikis. Saya tak bisa menutupinya, sebab termasuk olang lugon, itu komentar teman dekat saya. Diri ini bukan terdidik, berangkat dari autodidak nekat. Setidaknya kejujuran tak mempelesetkan terlampau jauh dari niatan pertama.
Balik ke pemahaman judul. Maha batin, maha bathin, maha bathein, menjelma Mahabbathein. Kalau menurut coraknya, berasal dari bahasa India (mahabbat), terus masuk ke belahan tanah Arab (mahabbah), lantas menuju ke kepulauan Melayu diambillah kisahnya mengenai Dewi Sinta, terbentuklah kata cinta. Di Jawa kata cinta adalah ?tresno? dari pengambilan cerita Krisna. Atau senjata keris, pisau memiliki kelok kalau masuk ke dada, irama rasanya ?kres.? Atau cinta itu sesuatu tertancap di dada, jantung pecinta. Ini ngeranggehnya sukma, moga tak jauh dari sejarah perbahasaan yang ada.
Oh Sinta, Oh Cinta. Tidakkah ini kehebatan imaji nenek moyang kita yang mengubah irama Sinta membentuk kata cinta? Kisah-kisah semisal Mahabbaratha menjadi keunikan tersendiri di tanah ini atas kreativitasnya. Dan bukan wujud penjiplakan, tapi kesantunan belajar kepada budaya lain, demi kekayaan bathin kebudayaan kita. Indonesia itu, tumpek-bleknya kebudayaan dunia, yang diameternya di Jawa. Saya rasa tak perlu iri atau ditakuti, sebab nyatanya telah mendarah daging di setiap lapisan masyarakat, kalau tak ingin cacat sebab mengindahkan kekayaan bathin sendiri.
Saya beri judul Mahabbathein Sejarah, agar sungguh mencintai perjuangan moyang. Jangan terlalu mengacungkan jempol pada karya-karya bangsa lain, dengan menginjak jerih payah pribumi, meski nyatanya karya kita belum mapan. Kebelumdewasaan itu bukan berarti lantas dibuang. Tidakkah yang senantiasa berproses menuwai hasil, ini selidik nalar sejarah. Karya-karya terbakar, pun abunya dihanyutkan ke laut. Tetap mencipta nilai-nilai bagi memiliki kehendak leluhur. Sanggup menyedot, menumpahkan kembali menjadi kalimah segar seirama. Alunannya lebih cepat oleh dialogis zaman informasi yang membantu kelepakannya.
Bagi guru bahasa atau jurusan bahasa, maaf. Saya masih sering menulis kata kalimat dengan kalimah. Menurut bathin ini lebih nyaman, sebab kalimah berasal dari bahasa Arab. Dan saya menganut agama yang dibawakan kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang kesejahteraan intelektualnya bagi seluruh umat di dunia seisinya. Saya jadi malu kepada yang cerdas membaca tulisan ini. Kalau sungkan diteruskan, nanti wajah mata uang yang satu tak kelihatan? Atau ini perasaan saja mengenai para pembaca. Jangan-jangan baru melihat judulnya, sudah tidak bergairah. Tak apa, setidaknya setiap tarikan nafas diganti nafas-nafas lain, bertambah lebih dan lebih. Kelipatgandaannya mengatur nyawa membentuk gugusan sejarah, yang menghantarkan timbulnya peradaban.
Bagi tak yakin kedirian ini dianggapnya mengacau, nyerocos kesurupan. Setidaknya gaya-gaya ngelindur memiliki pijakan realitas sendiri, sejarah dibalik tubuh mempunyai nyanyiannya. Dengungannya lebih jelas dibanding teks-teks yang mudah dilupa. Sebab teks terhadirkan bukan sekadar jembatan beton, tapi yang berayun-ayun ketika kendaraan berat lewat. Ayunan ini nafas makna sesungguhnya. Teks bisa dihapus, dapat dibakar. Tapi mata bathin penyaksi, menemukan teks yang terbakar berkelebar memberi informasi laksana kilap. Di sini bukan tengah berusaha mensugesti, andai ada mengatakan itu. Setidaknya sebagai alat bantu kesembuhan bagi budaya yang sedang sakit. Semacam pertolongan awal sebelum menginjak namanya keyakinan. Jika pembaca tak memiliki kepercayaan pada orang lain sama sekali.
—————
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, karanggeneng, Lamongan.
3 Mulud, senin pon 1941, 11 Maret 2008, untuk acara 13 Maret 2008 di DKM (Mojokerto).
Saya pernah membaca tulisan anda “Kitab Para Malaikat” saya dapatkan dari seorang teman di Jawa Timur. Puisi anda aneh, seaneh proses kreatif yang anda lalui dengan semacam Bertapa di kuburan yang dianggap keramat (mungkin orisinalitas tersendiri). Dua hal yang saya kagumi: 1. dalam epilog itu anda dijuluki Penyair Gerilyawan, karena mempublikasikan puisi2 anda dengan banyak cara dan media alternatif. 2. capaian estetika anda dengan menyusun semacam penulisan wahyu di buku itu terbilang berani, bahasa rumit, mungkin memang tidak akan banyak terbaca bagi beberapa kalangan. tapi semua memang berhak muncul sebagai dirinya sendiri, dan anda telah melakukan hal itu. namun satu hal yang belum saya mengerti, mengapa anda ragu tentang kepenyairan anda? apakah arti penyair bagi anda?.
apakah di zaman ini masih banyak orang mengira penyair itu pewaris para nabi? atau nabi itu sendiri?
maaf saudara, saya justru menjadi heran. kenapa di negeri ini orang mengatakan saya angkuh, hanya karena saya mengatakan saya seorang penyair? ada apa dengan kepenyairan?. Saya mengandaikan, bila siapapun dapat hadir dengan identitas kepenyairan, orang akan lebih menilai puisi daripada sekedar melihat latar belakang penulisnya.
terimakasih, semoga kita bertemu untuk waktu yang lama.
penyair itu semacam kyai atau pun yang lainnya, kalau mengaku kyai tapi masyarakat luas belum menganggap kyai ya belum kyai, se(luas) apa? itu yang meragukan saya, trimakasih…
Satu kata dengan dua arti yang berbeda, itu ada di dalam bahasa mana saja. Makanya dalam linguistik ada istilah POLISEMI. Banyak arti!
can dalam bahasa inggris bisa berarti kaleng atau dapat/mampu. Apakah salah satunya harus dibunuh? ya gak, dong…
jadi kerisauan anda itu sebenarnya ada manfaatnya gak sih?
bung, kalo anda mau pakai kalimah bukan kalimat, maka anda juga harus konsisten memakai daulah… bukan daulat… dll. Coba lacak lagi kata-kata yang anda pakai. konsisten, bung. itu konsekuensi dari sebuah pilihan, bukan?
ini soal sepele sebenarnya, kok anda repot sekali ya?
Kalau bung Hasan masih penasaran dengan konsep saya, NB di facebook (-nya kawan Ahmad Kekal Hamdani) itu masih berlaku sampai kapan pun. Saya tidak memposting surat itu, sebab saya masih menghormati bung sebagai orang tua, minimal dari segi usia. Salam.