Sastra dan Perubahan Sosial

Andaru Ratnasari
http://www.surabayapost.co.id/

26 November 2008 lalu, HU Mardi Luhung, penyair Gresik, di hadapan mahasiswa Sastra Indonesia Unesa dalam mata kuliah Proses Kreatif mengaku terheran sendiri dengan puisi yang diciptakan. Salah satu puisinya menggambarkan Bawean. Setelah dimuat di koran nasional barulah dia berjalan-jalan ke Bawean. Maka ia seperti melihat puisi yang ditulisnya. Padahal, Henry (Panggilan Mardi Luhung) belum pernah menginjak kakinya di Bawean.

Sementara itu, dalam seminar Festival Surabaya 2006 lalu, seorang hadirin bertanya, ?Apa manfaat membaca karya sastra? Saya tidak merasakan manfaatnya.? Pertanyaan ini juga muncul di seminar proses kreatif, dan tentunya banyak pihak lain mempunyai pertanyaan sama.

Berangkat dari dua peristiwa seminar itu, sebenarnya permasalahan itu adalah suatu rangkaian yang tidak terpisahkan. Dalam kesempatan itu, Nirwan Dewanto berusaha menjawab sendiri bahwa belajar sastra tidak akan ada manfaatnya apabila seseorang hanya menghafal, letterlijk, sebagaimana sering terjadi di sekolah-sekolah.

Bagi Dewanto yang terpenting adalah membaca. Dengan membaca, seseorang dapat mencapai apa yang dinamakan ?Human Literacy?. Dengan mencapai Human Literacy, seseorang menjadi berbudaya, mampu berpikir abstrak, dan ?cultured.?

Kalau ingin contoh, lihatlah, misalnya, perkembangan awal sastra Indonesia modern diawali oleh Angkatan Balai Pustaka dan dilanjutkan Angkatan Pujangga Baru. Para pengarang kedua angkatan itu, antara lain Marah Rusli, Abdul Muis, dan Sutan Takdir Alisjahbana melalui karya sastra mereka masing-masing telah berhasil membuka mata kesadaran para pemuda pada waktu itu mengenai pentingnya modernisasi, emansipasi, dan hasrat untuk mencapai kemajuan. Langsung atau tidak, mereka juga telah berhasil membangkitkan kesadaran akan pentingnya berbangsa dan bernegara.

Hal ini juga berlaku bagi bangkitnya Perang Saudara di Amerika. Pemicunya, Harriet Beecher Stowe, pengarang Uncle Tom?s Cabin. Karya Stowe telah mendorong berkembangnya kesadaran sistem perbudakan kulit hitam di Amerika Serikat. Kesadaran ini, langsung atau tidak, telah berhasil memicu Perang Saudara di Amerika.

Begitu pun wawasan sastra penyair negro, Aimee Cesaire, melahirkan gagasan negritude. Kebanggaan kenegroan mereka kemudian berkembang menjadi semboyan Black is Beautiful?kini telah berakar kuat di kalangan negro, baik bekas penjajahan Prancis, maupun yang merasa tertindas di Amerika Serikat. Temannya, Leopold Senghor, mantan Presiden Republik Senegal, juga memperkuat wawasan sastra negritude ini. Poema del Cid, sebuah karya sastra lama Spanyol, telah memberi inspirasi pada rakyat Castilla untuk merebut tanah air mereka dari kekuasaan orang Arab. Behind the Mast, melukiskan nasib malang para pelaut Amerika di masa kapal besar mengarungi samudera dunia, berhasil mendorong pemerintah mengadakan penyelidikan dan mengeluarkan peraturan-peraturan untuk lebih melindungi para pelaut.

Tak mudah untuk disangkal, cerita Animal Farm dan 1984 karya George Orwell mencemooh dengan pedas riwayat sebuah revolusi. Khususnya, revolusi sosialis sebagaimana terbukti di Uni Soviet tahun 1917. Sindiran tajam pada kediktatoran pengontrolan segala sikap tingkah laku, perbuatan, perkataan, gerak-gerik, dan pikiran masyarakatnya merupakan sebagai peringatan kuat terhadap kebangkitan kekuasaan-kekuasaan totaliter.

Begitu pula Oliver Twist karya Charles Dickens. Terceritalah, Oliver, anak yatim piatu, harus keluar dari asrama piatu karena makanannya kurang. Sesampainya di London, ia malah jatuh di tangan penjahat dan dijadikan pencopet kecil. Karena Oliver Twist-lah, kaum politikus di parlemen mengadakan penyelidikan sosial masyarakat bawahan Inggris pada abad ke-19 dan melahirkan undang-undang sosial penting?golongan tertentu, terutama anak-anak yatim piatu di asrama-asrama kurang terurus, pekerja anak-anak tak terurus keselamatannya.

Lihat pula Alexander Solzhenitsin, Nobelis 1970, dalam karyanya One Day in The Life of Ivan Denisovich (1962). Karya ini telah berhasil secara jitu menggambarkan penderitaan bangsanya, lewat penderitaan dalam penjara. Novel ini berkisah tentang diri pesakitan Shukhov di penjara Rusia sejak pagi buta sampai matahari tenggelam. Penjara Solzhenitsin sebenarnya juga penjara Rusia dalam arti besar, pemerintahan Stalin. Kekuasaan kaku, keras dan dingin jauh dari rasa kemanusiaan serta kekurangan makanan terekam dalam miniaturnya, penjara. Shukhov adalah simbol Rusia dan penjara adalah simbol pemerintahannya.

Turgenev, Chekov, Dostoyevsky, dan Solzynitzin berdiri dalam waktu dan sejarah, menulis tidak hanya tentang manusia Rusia tetapi juga tentang nasib Rusia sendiri. Peranan pengarang-pengarang Rusia ini mendorong Gorbachev melontarkan ide glasnost ?keterbukaan? dan perestroika ?mengubah struktur?.

Kekuatan apa dalam diri pengarang hingga menggerakkan perubahan sosial? Bagi H.B Jassin, kesusastraan satu urusan serius. Dalam keseriusan itulah seorang sastrawan menjadi sastrawan; bukan sekadar bekerja sebagai sastrawan.

Awal Juni 1943 Penyair Chairil Anwar berpidato di Angkatan Baru Pusat Kebudayaan di Jakarta. Ia menyebut bahwa seni cipta adalah soal hidup dan mati. Chairil menegaskan bahwa kesusastraan?biarpun sepotong sajak?bukanlah sekadar ilham atau dorongan tiba-tiba. Kesusastraan adalah hasil proses berjerih payah malah tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu bahwa ini bukan sekadar soal keterampilan teknik melainkan proses keterkurasan pengerahan batin terbaik dari diri seseorang. William Faulkner, Nobelis 1949, mengatakan pengarang yang baik: ?99% bakat, 99% disiplin, 99% kerja! Seutuhnya, semua itu mendorong sastrawan menulis dan menyatakan kebenarannya.

Sementara itu, tengoklah sastrawan Praha, Vaclav Havel, dipenjarakan 1979?1983. Dosanya: ia menulis kepada Husak, Presiden Cekoslowakia, mengingatkan bahwa pada akhirnya rakyat yang tertekan akan menuntut harga bagi ?tindakan secara permanen merendahkan martabat manusia.?

Ia dianggap subversif. Tapi 12 tahun kemudian terbukti. Rakyat merontokkan pemerintah yang membungkam mulut-hati-pikiran manusia itu. Husak tumbang. Orang berteriak seru Vaclav Havel sebagai pengganti presiden.

Demikian juga kebrutalan orang-orang Serbia, kasus Bosni Herzegovina tahun 80-an. Hal demikian sudah tampak pada kecerdikan dan kelicikan orang-orang Serbia dalam tokoh Bluntschli, serdadu bayaran, orang Serbia dalam drama karya George Bernard Shaw (1856-1950, Irlandia), Arms and The Man tahun 1894.

Tidak terlalu gegabah jika dikatakan dalam kreativitas sastrawan, ditemukan perseptif, perspektif dan prediksi, tentang mana terpenting dan bermakna demi kehidupan manusia di hari ini dan esok; masa sekarang dan masa mendatang. Goenawan Mohamad juga mengatakan, ?Mengetahui masa depan memang sesuatu dasyat. Mengira-ngiranya saja telah membuat permukaan bumi berubah.?

Maka tidak salah jika iklan koran nasional memilih gambar sastrawan Chairil Anwar dan Soe Hok Gie. Kata Budi Darma, dengan melihat ikon sastrawan-sastrawan tertentu, kita tahu bobot koran itu. Mengapa ikon dari sastrawan? Tidak lain, dan tidak bukan sasta bisa menggerakan pemikiran dan peradaban manusia.*

*) Pemerhati sastra, (pengajar LB Unesa dan STKIP Bangkalan, menetap di Surabaya).

Leave a Reply

Bahasa ยป