BADUT

Wahyudi Zuhro
http://media-lamongan.blogspot.com/

Di tengah keramaian acara peringatan Maulud Nabi, para hadirin yang sejak ba?da isya memenuhi halaman masjid tiba-tiba berdiri dan berhamburan. Mereka seperti kapas yang tertendang angin. Mereka menyambut kedatangan mobil silver yang mengkilat, harganya ditaksir sekitar ratusan juta rupiah. Di tengah kerumunan itu, keluar dari mobil seorang berpenampilan Kyai dengan surban melilit kepala, tasbih digenggaman, bakiak yang bersuara keras dan tak bersahabat.

Ia mendadak seperti artis ternama yang disambut suka cita para penggemarnya yang menunggu giliran untuk meminta tanda tangan. Ia berjalan di tengah kerumunan. Orang sekitar berebutan bersalaman dengan kyai itu. Aksi saling mendorong pun tak terelakkan. Dorong sini dorong sana pemandangan yang miris dari kaum yang mengaku paling beragama sendiri. Saat itulah tidak lagi mengenal kawan atau lawan. Mereka individualistis dan terkesan rakus dan ingin menang sendiri. Masing-masing mereka berupaya untuk Menempati Start Terdepan Untuk Menciumi Tangan Orang Tersebut. Tujuannya agar kecipratan berkah darinya.

Sungguh aneh orang orang itu, orang yang tak beretika dan sopan santun itu diperlakukan seperti itu. Ia datang paling terlambat. Dua jam ia baru datang setelah acara demi acara dimulai. Tapi ia seolah tak punya beban. Ia lenggang kangkung berjalan di tengah kerumunan. Lebih lagi raut mukanya tak ada rasa penyesalan atau permohonan maaf kepada khalayak ramai. Siapa orang yang keluar dari mobil itu?
Ternyata ia adalah pembicara yang ditugasi untuk memberikan tausiah di acara itu. Berkat namanya yang tertulis di undangan atau di selebaran, animo massa yang datang sangat tinggi. Ia bak umpan yang selalu dicari-cari mangsa yang kelaparan dan dahaga. Realitanya yang datang berjibun, melampaui target panitia baik dari tempat duduk yang sudah dipersiapkan, konsumsi dan lain-lain. Panitia dibuat kewalahan. Ia dikenal sebagai Kyai sekaligus da?i yang kharismatik. Kekharismatikanya sangat umum di masyarakat. Namanya semakin melambung dengan tausiah-tausiahnya yang cukup asyik dan segar.

Penampilannya cukup menarik. Gaun yang dipakai putih petanda biasa untuk orang-orang zuhud yang alim. Wajahnya tak cukup mengecewakan. Ia berjalan dengan cukup pelan sambil kedua tangannya dipegangi oleh ajudan yang selalu mendampinginya. Kepalanya merunduk dengan mata menerawang ke dasar lantai yang bersal dari tanah liat yang keras. Secara kasat mata Ia cukup sempuran secar fisik. Kesimpulannya perangainya baik, berbudi, jauh dari kesan keangkuhan dan berhati ikhlas walau yang didapat cuma nasi berkat. Malam itu sempurna. Bulan dan bintang bersinar sempurnah, seolah kristal yang bercahaya dari surga. Cuaca yang bersahabat dengan semilir angin nyang menyyejukkan.

Saat giliran Kyai tersebut naik ke atas mimbar. Semua yang hadir tak berani angkat suara. Kerongkongan orang-orang dipenuhi kristal-kristal kharisma Da?i tersebut. Mereka berdecak kagum dengan performance Kyai itu dan hormat yang berlebihan.
?assalamualikum warahmatullahi wabaraktuh?

Ia memulai tausiahnya dengan salam. Ia salam tanpa cacat. Olah vokalnya sempurna, bila dilihat kualitas suara dan volumenya. Hadirin dengan antusias menjawabnya.
Selanjtunya ia masuk pada isi dengan tema berkisar Maulud. Kemasan yang ia tampilakan cukup apik dan mudah diterima berbagai kalangan. Beberapali ia menyitir ayat-ayat Al-Quran. Ia lantunkan dengan nada yang menggetarkan jiwa setiap orang yang mendengarnya. Tujuanya untuk memperkuat apa yang ia sampaikan.

Penjelasanya cukup menghibur dan tak membosankan. Ia mengganti suasana acara dengan berbagai settingan. Kadangkala serius, humor bahkan sedih. Para hadirin sulit diserang rasa kantuk. Ia mampu menghipnotis semua hadirin saat itu.
Acara berahir dengan kepuasan di dada panitia dan orang yang hadir. Seluruhnya berkesimpulan Kyai itu memiliki pesona yang luar biasa.
***

Orang ?alim? itu dipersilahkan panitia untuk menyantap hidangan yang telah disajikan. buah-buahan, ikan dan lauk pauknya menjadi sajian. Nikmat terasa. Tibalah panitia memberikan bisyaroh yang dibungkus dalam amplop kepada Kyai itu. Amplop itu tentunya tidak begitu penting bagi seorang Kyai karena yang terpenting adalah ?isinya? tentunya.

Ia mengulurkan tangannya sebagai tanda menerima amplop tersebut dengan malu-malu. Ia menyitir beberapa kata yang diupayakan, ia seolah-olah tidak mengharapkan itu.

?Pak, kok pake beginian?
?ah, Pak Kyai ini sih belum seberapa dibanding ceramah Pak Kyai yang memberikan angin segar kepada kami. Dan ini hanya sebagai ucapan terima kasih kami atas kedatangan Pak Kyai yang sudi datang kemari.? imbuh ketua panitia yang menyanjung Kyai tersebut.
?terimakasih ya Pak. Mudah-mudahan ini menjadi rejeki yang barokah bagi saya.? ujar Kyai.

?kalau begitu saya pamit undur diri mohon maaf atas segala kekurangan yang saya lakukan.? Ia meminta maaf.
?Sama-sama Pak Kyai, kami harap Pak Kyai sudi kembali kesini dilain waktu? kata salah seorang dari panitia.

?Insya Allah, kalau Allah menghendaki. Assalamualaikum?.? Ia undur diri, orang-orang banyak yang menciumi tangan kanan Kyai tersebut. Ia masuk mobil mewah tersebut dengan rasa senang hati. Ia menarik simpati dengan melambaikan kedua tangannya kepada kerumunan orang yang sanga mengaguminya.

Mobil berjalan pelan-pelan meninggalkan arena. Deru suara mobil itu mengantarkan perpisahan. Malam yang telah larut menambah kehangatan yang menusuk uluh hati.
Kyai tersenyum-senym sendiri sambil memandangi amplop di genggamanya. Ia membayangkan isi amplop itu bernominal besar. Ia menghubungkannya dengan kepuasaan yang dirasakan oleh seluruh panitia. Saat itu kezuhudannya hilang dan muncul ketakaburan yang dibenci Tuhan.
***

?Betapa bahagia istriku nanti menyambut kedatanganku, karena sebentar lagi permintaannya selama ini akan terpenuhi. Aku akan membelikan perhiasan yang indah dan kosmetik produk luar negeri.? Bayangan itu merasuki alam sadar seorang Kyai.
Tangannya yang sudah gatal, mencoba ingin mengetahui isi amplop itu. Ia menyobek sampul atas dengan halus dan hati-hati.

?Wah gimana nih panitia? apa tidak keliru? ia kecewa ketika melihat isinya hanya berupa lembaran-lembaran rupiah bernominal ratusan ribu rupiah. Dugaanya meleset. Ia mengira jutaan yang ia dapatkan.

?Mereka ingkar? kalau tahu lebih baik aku tidak datang, cukup menemani istriku yang hamil tua?
Sopir yang berumuran sama dengan Kyai tersebut, tertarik dengan apa yang diucapaka majikannya.
?Memangnya ada yang salah dengan panita Pak Kyai??
?Mereka ingkar dengan apa yang menjadi kesepakatan kami saat mereka datang kepada saya, upahnya jauh dengan tarif yang saya tentukan? Jawab Kyai. Sopir mendadak terkejut dengan apa yang diucapkan majikannya. Ia tidak menyangka Kyai ?alim? itu ternyata materialistis. Itu juah dari perkiraannya selama ini. Ia menyangka ia selalu qanaah seperti apa yang ditausiakan dalam majelis-majlis. Ternyata ia tidak lebih dari seorang badut di tengah pasar. Sopir itu hanya bisa mengelus dada.

Sampai juga mobil yang Ia tumpangi di halaman rumah Kyai tersebut. Dengan sungut yang tampak jelas di mimiknya, Ia keluar dari mobil tanpa meninggalkan pesan kepada sopir itu atau sekedar memberikan uang lelah yang biasanya diberikan uasai undangan. Istrinya menyambut dengan mimik pengharapan. Kemudian mereka terlihat seperti berbincang sangat serius, dan tiba-tiba raut muka istrinya berubah menjadi masam.**

PP. Tanwirul Qulub, 2008, Lamongan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *