Kisah Sebuah Sumur

Ahmad Tohari *
republika.co.id

Seorang kiai muda punya pengalaman menarik dalam perjalanan hidupnya sebagai juru dakwah di daerah pedalaman. Suatu saat, dia datang ke sebuah wilayah abangan. Penduduk di sana mengaku beragama Islam, bersyahadat ketika menikah, dan dikhitan juga. Tapi, mereka tidak menjalankan syariat, seperti shalat dan puasa. Maka, kiai muda itu mengajak mereka menyempurnakan keislaman dengan menjalankan kewajiban yang masih tertinggal.

Ketika mendengar ajakan itu, mereka diam, tidak ada kata menolak ataupun menerima. Yang jelas, mereka tetap tidak mau menjalankan shalat, seperti yang diharapkan oleh kiai muda itu.

Sang kiai tidak berputus asa. Diam-diam, dia menyelidiki penyebab keengganan warga dukuh itu dalam menjalankan shalat. Seorang warga di sana akhirnya mengaku dan mengatakan bahwa dirinya merasa tidak perlu menjalankan shalat. Ketika ditanya oleh sang kiai, jawabannya lumayan mengejutkan.

”Buat apa shalat kalau nyatanya sama saja.”
”Sama saja? Apa maksud sampeyan?”
”Saya melihat orang-orang yang shalat sama seperti kami. Di sawah, di pasar, di jalan, perilaku mereka tidak berbeda. Nah, kalau begitu, sama saja, kan?”

Mendengar ungkapan itu, sang kiai tersenyum. Tapi, hatinya terasa mendapat beban, tertagih. Bila direnungkan, pertanyaan warga abangan tadi mengandung makna penting. Dia menagih perbedaan perilaku orang-orang yang shalat dengan mereka yang tidak. Jelasnya, orang itu ingin melihat perilaku para mushallin lebih baik daripada orang abangan. Di mata orang itu, orang yang shalat mestinya bisa menjadi teladan di mana pun. Kalau tidak, buat apa? Ya, buat apa shalat?

Ini sebuah nalar sederhana. Mungkin, tak perlu ditanggapi dengan, ”Shalat itu ibadah murni.” Tuntutan orang awam agar para mushallin berperilaku lebih baik adalah hal yang pantas, bahkan sungguh pada tempatnya. Sang kiai pun berpendapat demikian. Maka, lama sekali hatinya gelisah. Sampai suatu saat, dia kemukakan pengalaman ini kepada saya dan teman-teman.

Kami berdiskusi dan akhirnya kami mengakui telah melakukan kesalahan dalam strategi dakwah. Kesalahan kami adalah mengajak orang melakukan shalat sebelum kita membuktikan keunggulan akhlak para mushallin, misalnya dengan cara memberi apa yang mereka tidak mampu mengusahakannya sendiri.

Air bersih. Ya, itu dia. Kami tahu, selama ini warga dukuh miskin itu terbiasa menggunakan air sungai untuk segala macam kebutuhan hidup. Maka, kami akan memberi mereka sebuah sumur permanen. Kami kumpulkan uang. Seorang teman yang jadi dokter menjadi penyandang dana utama. Kami beli sepetak tanah dan membangun sebuah sumur. Semuanya kami serahkan kepada warga dukuh melalui tetua mereka.

Alhamdulillah, kebiasaan warga dukuh menggunakan air sungai lambat laun terhenti. Dan, setahun kemudian, terjadi hal yang mengharukan. Tetua dukuh datang kepada kiai dan bertanya. ”Sisa tanah di dekat sumur itu mau diapakan, Kiai?”

”Wah, kami belum punya rencana apa-apa. Lagi pula, tanah itu akan diberikan kepada warga.”
”Oh, terima kasih. Kalau begitu, bagaimana bila di sana didirikan langgar?”

Kiai diam. Dia hanya mampu tersenyum.
”Begini, Kiai. Kami yang tua-tua tidak bisa sembahyang. Betapa diajari pun kami tidak akan bisa. Tapi, anak cucu kami sebaiknya diajari sembahyang. Dan, sebaiknya kami punya langgar.”

Akhir kisah, dengan cara gotong royong serta bantuan dana dari kami, setahun kemudian di dukuh itu berdiri sebuah mushala kecil. Anak-anak berdatangan untuk mengaji pada sore hari. Guru masih didatangkan dari luar, tapi dipilih yang mampu memahami budaya di pedukuhan itu. Tetua di sana benar, kebanyakan yang mengaji adalah pemuda dan anak-anak. Dan, mereka pula yang akan memajukan kehidupan warga di sana. Ya, sebuah sumur menjadi pembuka hati mereka.
***


*) Ahmad Tohari, lahir 13 Juni 1948 di Tinggarjaya, Jatilawang, Bangumas, Jawa Tengah. Ayahnya kyai (Pegawai KUA), ibunya pedagang kain. Ia menikah tahun 1970 dengan guru SD bernama Siti Syamsiah, dan atas perkawinannya dikarunai lima anak. Tahun 1981, ketika bekerja dan tinggal di Jakarta, ia mengundurkan diri dari redaktur harian Merdeka, karena ingin kumpul sekeluarga di desa. Karyanya terkenal trilogi novel: Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dinihari (1985), dan Jantera Bianglala (1986); yang berkisah pergulatan penari tayub di dusun kecil. Masa itu, novel ini dianggap kekiri-kirian oleh Orde Baru, sehingga sempat berurusan pihak berwajib, dan atas bantuan Gus Dur, terbebas dari tekanan pemerintah. Karyanya banyak mendapatkan hadiah, cerpennya Jasa-Jasa buat Sanwirya dapat Hadiah Harapan Sayembara Cerpen Kincir Emas Radi Ao Nederland Wereldomroep (1977). Novelnya Di Kaki Bukit Cibalak, peroleh salah satu hadiah Sayembara Penulisan Roman yang diselengggarakan Dewan Kesenian Jakarta 1979. Novel Kubah diterbitkan Pustaka Jaya, mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama, sebagai bacaan terbaik fiksi tahun 1980. Novel Jantera Bianglala sebagai fiksi terbaik 1986. Hadiahnya uang Rp. 1.000.000,- yang diserahkan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Fuad Hassan. Melalui novel Berkisar Merah, meraih Hadiah Sastra ASEAN tahun 1995.

Pendidikan formalnya di SMAN II Purwokerto, melanjutkan di Fakulta Ekonomi Unsoed Purwokerto 1974-1975, pindah ke Fakultas Sosial Politik yang dijalani setahun, lalu pindah ke Fakultas Kedokteran YARSI, Jakarta 1967-1970, sampailah ia memutuskan berhenti atau memilih tinggal di desanya dengan mengasuh Pesantren Al-Falah. Pada dunia jurnalistik, pernah jadi staf redaktur harian Merdeka, majalah Keluarga dan Amanah. Tahun 1990 mengikuti International Writing Programme di lowa City, Amerika Serikat, dan peroleh penghargaan The Fellow of The University of Iowa. Karyanya mulai dipublikasikan tahun 1970-an. Media Kompas sering memuat karangannya, cerpennya Jasa-Jasa buat Sanwirya, menang dalam lomba cerpen yang diadakan Radio Nederland, setelah itu karyanya terus menghiasi media. Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Kubah, diterjemahkan ke bahasa Jepang atas tanggungan dari Toyota Ford Foundation oleh Imura Cultural Co.Ltd. Tokyo. Selain itu, trilogi novelnya diterjemahkan pula ke bahasa Belanda dan Jerman, dst. Novelnya Lingkar Tanah Lingkar Air (1994), menceritakan penindasan politis terhadap orang-orang yang terlibat dalam sejarah, mencatat bahwa mereka dianggap pemberontak dan harus dilenyapkan dari bumi Indonesia. Dengan ini ingin mendudukkan sejarah secara obyektif lewat menimpakan kesalahan tak hanya kepada umat Islam. Politik di masa Orba sangat ketat, pemerintah menyeleksi buku yang akan diterbitkan. Buku sastra yang dianggap menyimpang dari “keinginan” penguasa, harus dibredel / tak boleh diterbitkan. Atau meski terbit, harus menyensor bagian yang tak sesuai kualifikasi yang diberikan penguasa atas karya yang diterbitkan. Cerpen/Novel karangan lainnya: Tanah Gantungan, Amanah 28 Des 1992 –Jan 1993, Mata yang Enak di Pandang, Kompas 29 Des 1991, Zaman Nalar Sungsang, Suara Merdeka 15 Nov 1993, Sekuntum Bunga Telah Gugur, Suara Merdeka 1 Nov 1993, Di Bawah Langit Dini Hari, Suara Merdeka 1 Nov 1993, Pencuri, Pandji Masjarakat 11 Feb 1985, Orang-orang Seberang Kali, Amanah 15 Agu 1986, “Ah, Jakarta” Panjdi Majarakat 11 Sep 1984, Penipu yang Keempat, Kompas 27 Jan 1991, Warung Panajem, Kompas 13 Nov 1994, Kenthus, Kompas 1 Des 1985, Rumah yang Terang, Kompas 11 Agus…, “Daruan,” Kompas 19 Mei 1991, Jembatan Ka, Panji Masjarakat 11 Juli 1985. Foto, dan biografi (diringkas) dari ukmmapensastek.wordpress.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *