jurnalnasional.com
ADZAN SHUBUH
debu dan asap
hiruk-pikuk itu
membubung memenuhi langit
dan dini hari itu
diam-diam Allah
menurunkan embun
ajakan jernih
rindu putih
— “pulanglah?” ajak-Nya
23/5. 2008
MEMORABILIA 1
: perlahan-lahan, pada kertas merang,
yang nanti pelan-pelan dipilin: waktu
nyelipkan bubuk mesiu. sulur panjang
memanjang dari jam ke jam, dari hari
ke hari. sampai pada pagi itu, sehabis
mandi, saat mabuk aroma kopi
meledak
— siapa yang bisa menduga waktu itu
23/5.2008
MEMORABILIA 2
kuburkan penyair itu di tempat jauh
— teduh atau tak teduh –: di mana
tak seorang yang mengenalinya. selain
“sore itu ia datang terpincang-pincang?”
“tanpa ktp,” kata koran. dan si penyair itu
tersenyum. tenang melepas lelah. terbebas
dari apa-apa yang telah ditulisnya di buku-buku
[– kuburan penyair tanpa nama itu tak bertanda]
23/5.2008
ZIARAH
sekali waktu setapak dihapus rumput
dan disembunyikan semak-perdu. kau
terlunta-lunta. tak tahu harus bagaimana
burung-burung bercericit tajam, angin
meriapkan daun jambu, mengagetkan
10 kepompong yang mau jadi kupu-kupu
lalu suara ricik air dari kali itu
mengisyaratkan ada yang pergi
dan tak pernah kembali. seperti rindu + cinta
23/5.2008
NOSTALGIA
sekali waktu kepala mengetik
dan mata mengerjap-ngerjap
ditimpa kenangan dari 43 tahun lalu
saat tak ada chatting, tak ada monitor,
tak ada keyboard, dan meja tanpa cpu
: hanya tatapan dengan jari yang diremas
lalu pesawahan terbuka lepas panen
dengan bubungan asap jerami basah
isyarat luka perpisahan yang amat purba
23/5.2008
KAMIS PETANG
angin berkesiur lagi. bagai jutaan ibu
yang serentak bangkit dari kuburan
[tsunami] di aceh dan mencari anak mereka
sementara para suami jadi batu karang
kadang lumut di dermaga dan lumpur
yang terpercik ombak. serentak mencari anak
dan anak mereka? seperti setiap kanak-kanak
: riang naik ke langit. berjumpalitan di awan
dan tidak henti mengejar-ngejar matahari. riang
— ditumbuhi sayap. tetap tidak kenal duka dunia
23/5.2008
MEMO
gajah mada menunggang kuda. mengawal
hayam wuruk keliling desa. dalam kalbu:
siapa yang paling agung dan kekal berkuasa?
1 syawal 1428 h
TAHAJUD MENURUT ALIEFYA
antara pot mawar dan kamboja
— di teras: terselip hp jingga
tiap dini hari berdering. bening
bagai sulur bilah kaca disapu angin
suara apa itu, gumanmu. antara
kemarin dan kini ada kelenting
: tanda 999 sms masuk — alpa
dibaca. amplop biru pembuka gerbang
Engkaukah itu? — guman rindu dini hari
23/11. 2007
USAI
tidak seperti sepak bola, seusai menulis
puisi tak ada tukar-menukar baju. cuma
rokok. paginya [biasanya]: aku terjaga
bersiul-siul. berak. lega tanpa gangguan apa-apa
20/11. 2007
DINI HARI
bagai bangkai memendam larva
sebelum belatung muncul, bagai
daun-daun luruh dicumbu hujan
sebelum terurai humus ladang bambu
: setapak berkabut. tanda rentangan
jadi tiada di dekat kuburan. angin
menyapu cuat ranting meluruhkan
embun. satu-dua gemeritik dari pipimu
“yang dari laut kembali ke lautan,”
kata burung hantu. cecurut terbirit
memasuk liang di tepi tebing di bawah waru
jalan burai. rentang kenang mengorak jejak
1/12.2007
SEL
beri aku sebatang rokok, sekilas
nyala korek api yang mengoyak
kelam. sesaat sebelum segala sekarat
— telah lama malam menempatkan
bayangan pada tubuh, ketika nafas
dijauhi tatap, telinga meraba-raba,
dan nyeri mengisi pendar kunang-kunang
angin di luar, kenangan di luar,
angan-angan di luar. jadi lintah
melekat pada pintu bagai karat,
bagai lumut menyebar aroma amis merindu
beri aku jendela, beri aku bulan penuh
dan suara kanak main injaki bayangan
beri aku siang, sengat kilau matahari
dan suara adzan sebelum lahat kalian timbun
: katakan jam berapa sekarang? apa
masih ada antrian minyak tanah dan
beras? apa bendera kita belum koyak terbalik?
23/5.2008
SELEPAS KORAN PAGI
seperti air dan arus sungai, seperti
jeram dan gemuruh jatuh, seperti
matahar pagi dan bayang-bayang
yang dipaksa beringsut dari barat
: kita dalam waktu dan ruang berbeda
angin di rimbun jambu, sulur putih bunga
jatuh berserakan. setapak menjadi lengang
ketika kanak terakhir memasuki gerbang
sekolah. tinggal kertas alas harum-manis
terguling-guling, terpuntir-puntir. sendiri
dan pada gelas kosong terpantul wajah sunyi
kembali bersama Allah, kembali bersama
Allah lagi. menyimak diri mengekalkan
lelap sendirian. “berapa jarak antara kita, kini?”
23/5.2008
MENJELANG PETANG
kadang-kadang jalan berliku di lembah mengapungkan
suara cerecah ban, deru mesin, bunyi tuter, serta telau
sunyi. lalu burung-burung yang dibimbing instink bikin
sarang dengan saling memanggil dari pohon yang beda.
tanda penghujan mau menulis pangkal kemarau, seiring
biji rumput terakhir kian matang dan bersiap-siap akan
meloncat bersama kesiur angin. menyelinap. menunggu
hujan terakhir — atau eksekusi ayam dan burung-burung
liar. pas saat matahari memindahkan bayangan rerimbun
sawo, di antara derak langkah resah domba dari kandang,
pas sebelum bunyi semburan air dari selongsong jantani
dua bocah yang terus mengunyah umbut rumput. di situ,
gunung biru teduh itu, berkata, “kami mengajari magma
untuk menahan amarah, berzikir memekatkan sabar, dan
tawakal menunggu isyarat?”
indonesia berhati-hatilah
23/5.2008
Beni Setia, lahir di Bandung 1 Januari 1954. Tahun 1974 lulus SPMA di Bandung dan sejak itu belajar sastra secara otodidak. Ia menulis dalam bahasa Sunda dan terutama dalam bahasa Indonesia, tersebar di berbagai media cetak terbitan Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta. Buku antologi puisinya: Legiun Asing (1983), Dinamika Gerak (1987), Harendong (1993). Kini ia tinggal bersama keluarganya di Madiun, dan tulisan-tulisannya, terutama cerpen dan kolomnya, terus mengalir. Beberapa esainya dimasukkan ke dalam Inul (Bentang, 2003). Beni memilih menulis sebagai profesi tunggalnya.