SIHIR YOUJIN: MENULIS DENGAN HATI

Maman S. Mahayana *

Youjin, Air Ajaib yang Merana, Alihbahasa: Wilson Tjandinegara. Jakarta: Perhimpunan Penulis Yin-Hua (Tionghoa—Indonesia), 2007, xii + 231 halaman.

Ketika bahasa –bahkan apa pun—diperlakukan dengan sentuhan cinta, maka yang memancar dari pengejawantahannya, tidak lain adalah aroma cinta itu sendiri. Tanpa sadar, ia menyelusup, menggoda hati, dan kita akan selalu gagal menolak pesonanya. Ketika cinta dan suasana hati dirangkaikan dalam larik kata-kata, dikemas dalam kalimat metaforis, yang muncul adalah bangunan teks yang menyihir. Suasana itulah yang begitu terasa saat menelusuri esai-esai Youjin, Air Ajaib yang Merana. Gaya bertuturnya kalem dan sejuk. Kita dibawa pada berbagai kisah biasa yang disajikan secara luar biasa.

Penulis prolifik Singapura yang telah menghasilkan 127 judul buku ini memang seperti hendak mewartakan serangkaian pengalamannya yang unik saat menjelajahi lebih dari 80 negara. Ia mengungkapkan sisi lain saat berhadapan dengan berbagai jenis bangsa manusia. Ada semacam panorama yang memancarkan suasana hati yang berpadu dengan rasionalitas. Empatinya sangat kuat atas nilai-nilai kemanusiaan, tanpa terganggu oleh perbedaan suku bangsa, budaya, dan agama. Maka, di balik kisah-kisah sederhana itu, tiba-tiba menyelinap fatwa tentang kepedulian atas sesama, kearifan, toleransi, kejujuran, persahabatan, optimisme, dan pandangan penuh cinta atas kehidupan ini.

Pengarang wanita –Than Youjin—ini sesungguhnya bukan nama yang asing bagi pembaca di Tiongkok Daratan, Taiwan, Hongkong, Malaysia, dan tentu saja di negerinya sendiri, Singapura. Begitu populer dan fenomenal karya-karya Youjin, sehingga membawanya memperoleh berbagai penghargaan reputasional. Namanya resmi dilekatkan sebagai Pusat Studi Youjin pada Akademi Keguruan Chongqing, sebuah pusat studi di Tiongkok yang untuk pertama kalinya dalam sejarah negeri itu menggunakan nama penulis dari luar Tiongkok.

Buku antologi Air Ajaib yang Merana memuat 100 esai yang menyerupai potret berbagai kehidupan keseharian manusia berbagai bangsa, lengkap dengan segala tetek-bengeknya. Secara tematik memang terkesan sangat individual, subjektif, dan fragmentaris. Yang dikisahkan juga bukanlah peristiwa besar yang menakjubkan dan penuh tegangan. Youjin sekadar mencungkil sesuatu yang sering luput dari pandangan banyak orang. “Asal ada cinta dalam hati, kekuatan akan muncul seketika” atau “mengubah yang lapuk menjadi luar biasa” (hlm. 63). Itulah komitmen dan filosofi karya-karya Youjin. Maka, tema bukanlah segala-galanya, karena apa pun bisa menjadi bahan tulisan. Dan selalu, ia mengawali dan mengakhiri tulisannya dengan empatinya pada kemanusiaan, cintanya pada kehidupan, dan pemihakannya pada hati nurani.

Esai-esai Youjin seperti merepresentasikan sikap hidup dan ekspresi cintanya pada bahasa dan kultur leluhur, pada kehidupan yang selalu tak terduga, dan pada kemanusiaan yang tak tersekat oleh kebudayaan, suku bangsa, dan agama. Enteng saja ia berbicara tentang penjual air di Maroko, perempuan penari di Meksiko, pemburu harimau di Nepal, dan berbagai profesi lain yang dijalani seseorang di mancanegara. Bahkan juga tentang beragam makanan dan masakan sampai ke persoalan petei dengan ulatnya yang jelek dan jahat yang bergerak merayap atau tahi kelelawar yang neplok di tengah bubur.

Di belakang segalanya itu, menyelinap substansi yang sama: semangat menjalani kehidupan sebagai permainan. Maka bermainlah menurut aturan dan nikmatilah permainannya dengan segenap perjuangan. Itulah salah satu langkah menghindari penyesalan. Tanpa itu, manusia tak dapat menikmati hidup. Ia akan tergelincir pada kubangan lupa daratan, arogansi dan sok pintar, jika memperoleh kemenangan dan menyesal sambil mengutuki diri jika jatuh pada kekalahan.

Optimisme, berpikir positif, rendah hati, belajar dari siapa pun tentang apa pun adalah bagian penting dalam memahami jurus-jurus kehidupan. “Bagi saya,” demikian Youjin, “sebenarnya seluruh hidup adalah sebuah permainan. Menuntut ilmu, berpacaran, bekerja, melancong, berkarya, semua itu adalah permainan.” Prinsipnya sederhana: “Selama gunung hijau itu masih ada, mengapa pula kita khawatir kehabisan kayu bakar.” Begitulah hidup. Ia harus dijalani dengan positif dan penuh semangat, agar segalanya tetap sempurna, utuh, bahagia, dan lengkap! (hlm. 194).

Secara metaforis, Youjin membandingkan pesimisme dan optimisme sebagai ketukan pintu, “Bagi orang yang pesimis, ketika kesempatan datang mengetuk pintu, ia malah merasa ketukan sebagai kegaduhan. Namun bagi orang yang optimis, setiap ketukan pintu sebagai suara alamiah yang sangat indah. Bagaimana jika tak ada orang yang mengetuk pintu? Saya pun menggantung serenceng giring-giring angin di depan pintu, menghibur diri dalam angin sepoi-sepoi.” (hlm. 126).
***

Membaca buku antologi ini, sungguh kita seperti sedang menikmati gerakan indah jurus-jurus Dewi Kwan Im: mempesona dan kerap menggagalkan kita menyembunyikan decak kagum. Kemasan narasinya yang mengalir menempatkannya begitu inspiring, kaya dengan analogi yang segar dan hidangan metafora yang kelezatannya nyaris tak pernah selesai.

Dan ketika sampai pada filsafat hidup, seketika kita seperti disadarkan: di sana menyebar ruh Konfusianisme yang diam-diam bersembunyi lalu merembes begitu saja, masuk membasahi segenap fatwa yang disampaikannya. “Aku menikmati seluruh proses kreatif… yang mengalir dalam pembuluh darahku adalah huruf-huruf Tionghoa, mengalir seperti sungai Yangzhe, mengalir ke ujung pena menjadi bagian jiwaku…. (hlm. 220). Itulah sikap dasar kepengarangan Youjin. Prof. Anna Cao, Gurubesar di Fakultas Bahasa Tionghoa, Qingdao University dalam Kata Penutup buku ini menyebutkan: “Kandungan budaya yang kental dan mendalam serta kemampuan dalam huruf Tionghoa membuat aroma Tiongkok dalam esai Youjin sangat kental dan murni.” (hlm. 221).

Boleh jadi lantaran di sana mengeram Konfusianisme dan ruh kultur Tiongkok, maka sebagian esai Youjin terkesan lebih introspektif dan sekaligus retrospektif. Masalah perselingkuhan, misalnya, dianalogikan sebagai duri ikan: seratus persen seperti PIL (pria idaman lain) atau WIL (wanita idaman lain) dalam perkawinan. Ia samar-samar, diam tersembunyi dalam daging ikan yang sintal dan licin. Lelaki—perempuan makan dengan leluasa, senang hati menelannya. Tiba-tiba “Eh” durinya menyangkut di tenggorokan. (hlm. 72). Begitulah, Youjin menyodorkan berbagai kemungkinan untuk menciptakan jurus-jurus metafora yang lebih variatif dan segar sesuai kultur dan ideologi pembacanya.

Esai atau jenis karangan apa pun –secara praksis—hakikatnya adalah permainan bahasa, meskipun tidak dalam pengertian language games, Ludwig Wittgenstein. Oleh karena itu, seperti juga kehidupan, bermainlah dengan bahasa untuk menciptakan dunia kata-kata. Pewartaan Youjin dalam esai-esainya memperlihatkan kepiawaian seorang pemain sekaligus juga pecinta bahasa. Ia sosok maestro yang sangat memahami segala permainan bahasa. Sangat menguasai selok-belok jurus-jurusnya. Kata-kata yang disajikannya pada saat tertentu terasa lembut—akas, cantik—mempesona, tetapi terkadang pula sinis—tajam dan menusuk atau sengaja menggantung tak berjawab. Ia berdiri kokoh dengan kultur dan bahasa leluhur yang membentuk style-nya begitu khas.

Dalam konteks esai-esai sejenis, sebagaimana yang dapat kita jumpai dalam sejumlah kolom di surat-surat kabar dan majalah ibukota, Youjin seperti memberi penyadaran, bagaimana menyuguhkan hidangan ringan yang membuat pembacanya ketagihan. Mengemas persoalan sepele menjadi kisah yang menyentuh rasa kemanusiaan. Secara keseluruhan esai-esai dalam buku ini inspiring, meski begitu tentu saja kita tidak perlu memamahnya bulat mentah. Seperti diingatkan Youjin: “menyerap berbagai budaya unggul dari luar, jika terburu-buru memadukannya dalam satu tungku, tanpa menjaga keunikan budaya sendiri yang asli, akhirnya pasti akan seperti daging dalam tempurung kepiting. Tersesat sendiri dalam kekacauan pikiran.” (hlm. 176).

Sayang, karya yang menawan ini kurang mendapat sentuhan serius dari editornya. Maka, maklumi saja jika di sana-sini kita kepergok salah ketik.

Kekuatan lainnya dari esai-esai Youjin terletak pada kekayaan metaforanya. Pola bertuturnya yang menempatkan surprise di bagian akhir menjadikan esai-esai ini nyaris seluruhnya tidak dapat diduga sasaran tembaknya. Di bagian akhir inilah, Youjin menyelusupkan fatwa-fatwanya tentang filsafat kehidupan, meski di sana sedikit pun tak ada kesan menggurui. Inilah antologi esai yang membuat pembacanya bahagia, tanpa perlu tertawa.
***

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *