Keutuhan Film Dakwah Belum Kembali

Yoyo Dasriyo
http://pr.qiandra.net.id/

USTAZ Syaiful Bachri terjengkang ke tepian rumpunan bambu. Dalam keremangan malam, Harun berniat menghabisi ustaz baru yang menarik hati Halimah, janda muda dambaannya. Belum juga kecemburuannya terpuaskan, Sutan datang menghadang amarah lelaki berandal itu. Padahal, mereka sama-sama pemabuk dan berteman di meja judi. Rupanya, Sutan santri murtad yang pernah dijuluki murid terpandai di Pesantren Al-Mustafa itu mulai menginsafi langkah sesatnya. Seketika lelaki ini terpanggil berjihad.

Hati Sutan teriris sakit saat Harun mengibaratkan lembaran uang sebagai Tuhan, yang kemudian diinjak-injaknya di atas tanah becek. “Kau boleh memaki diriku habis-habisan! Tetapi, jangan kau caci nama Tuhan di depanku…!” Sutan berkata dengan mata membasah. Harun kaget. Keduanya lalu terlibat duel. Ini adegan paling menawan dari film “Al-Kautsar” (1977) karya Chaerul Umam, yang menampilkan W.S. Rendra (Syaiful Bachri), Wahab Abdi (Sutan), Soultan Saladin (Harun), serta Yulinar Firdaus (Halimah).

Film dakwah Islam yang utuh itu membukukan sukses pertama film religi dalam riwayat perfilman nasional. Bahkan, “Al-Kautsar” merebut penghargaan di FFA ke-23 Bangkok. Direntang waktu tujuh tahun, sukses film islami dicapai film “Sunan Kalijaga” (1984) karya Sofyan Sharna. Baru 21 tahun kemudian, mencuat film komedi religi “Kiamat Sudah Dekat” (2005) karya Deddy Mizwar. Begitu panjang penantian penonton merindu film dakwah Islam, yang tahun 2008 sedikit terhibur dengan film “Ayat-ayat Cinta” garapan Hanung Bramantyo.

Walaupun “Ayat-ayat Cinta” belum menghadirkan keutuhan film berwajah dakwah Islam, keberadaannya berpotensi mendenyutkan lagi urat nadi perfilman bernuansa religi. Napas islami seolah menyibak kabut pasar film keagamaan, yang lama menghantui bisnis pembuat film. Seketika baling-baling iklim produksi perfilman nasional, menjanjikan untuk berputar haluan. Kelahiran film “Kun Fayakun” (Yusuf Mansur), “Mengaku Rasul” (Helfi Kardit), bersambut kesiapan Chaerul Umam mengemas film “Ketika Cinta Bertasbih”, menawarkan gejala pergeseran selera bisnis film itu.

Betapa pun, pergeliatan film syiar Islam menerbitkan kebanggaan baru. Karena, kebangkitan suhu industri perfilman sangat berpeluang menabur lagi keragaman tema. Lebih penting lagi dimaknai, gairah produksi film religi dalam kondisi kekinian, dimungkinkan bisa memecah pesimisme para pembuat film keagamaan. Namun, sampai akhir tahun ini, jumlah film bernuansa syiar Islam masih terhitung rendah. Itu indikasi kemuraman pasar film religi hari kemarin, yang telanjur diasumsikan sebagai lahan tandus.

Malapetaka
Keprihatinan itu tergelar dalam nasib sejumlah film bermuatan syiar Islam, yang tak banyak diminati penonton. Ironis, jika dipersaingkan dengan mayoritas pemeluk agama Islam di negeri ini. Agaknya, itu tantangan klasik sejak awal sejarah kepeloporan film islami di Indonesia, dalam perjuangan mendongkrak derajat komersial filmnya. Semangat sutradara alm. Drs. H. Asrul Sani pun yang membidani kelahiran film dakwah Islam pertama, “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” (1959), pernah tertunda tiga tahun, dirintang kekeringan permodalan.

Awal kehadiran film Islami berkabut keprihatinan. Namun, Asrul Sani tak terpatahkan “Titian” yang patah di tengah jalan. Tokoh film agamis itu pula yang menghadirkan dua film keagamaan lainnya, “Panggilan Tanah Sutji” (“Tauchid”, 1962), dan “Memenuhi Panggilan Nabi Ibrahim” (1967). Tahun itu, sutradara alm. Hasmanan menyiasati napas islami dalam film drama “Sendja Di Djakarta”. Sebelumnya, H. Misbach Yusa Biran bersyiar Islam dalam film laga “Menjusuri Djedjak Berdarah”.(1966), dan alm. Wim Umboh di film “Matjan Kemajoran”.

Film “Atheis” (“Kafir”) karya alm. Drs Syumandjaya (1974), menuai reaksi keras. Film berdasarkan novel karya Achdiat Kartamihardja itu, bahkan lama terjerat larangan edar! Malapetaka perfilman datang berulang, menimpa film “Di Bawah Lindungan Ka`bah” (1978). Tragis, nasib film karya Asrul Sani dari novel Hamka itu, bukan hanya terkatung-katung berkait penolakan izin shooting dari Saudi Arabia, tapi diwajibkan pula berganti judul “Para Perintis Kemerdekaan”! Lalu, film dakwah Islam pujian berbintangkan Mutiara Sani, Cok Syimbara, Arman Effendy, Camelia Malik, dan Soultan Saladin itu, kehilangan daya komersial dari kepopuleran novelnya.

Tumbal perjuangan
Harus diakui, kelahiran “Ayat-ayat Cinta” maupun “Kun Fayakun” belum bisa menandingi kekokohan bangunan dakwah Islam di film “Al-Kautsar”, “Titian Serambut Dibelah Tujuh”, dan “Di Bawah Lindungan Ka`bah”! Namun, tak harus menyurutkan penyuburan film religi, yang berdaya pujian. Kecantikan kemasan napas islami yang kental barangkali baru tercermin dalam sinetron “Para Pencari Tuhan”. Memang, formula islami amat deras mewarnai wajah sinetron, tetapi masih sedikit sinetron religi yang layak dipujikan.

Keberadaan tayangan atas nama “sinetron religi”, banyak yang kering dari kesungguhan membangun kemasan berdaya pikat. Metode kerja “kejar tayang” dengan pemeranan asal “menjual bintang” membuat sinetronnya tak berpamor sebagai tontonan dan tuntunan. Betapa terasa, keutuhan film dakwah Islam yang pernah lahir merupakan kerinduan panjang yang belum terpuaskan. Itu sebabnya, kemenangan pasar film “Ayat-ayat Cinta”, seharusnya jadi suntikan gairah menjemput kembalinya film dakwah Islam secara utuh.***

*) Wartawan, pemerhati film nasional dan sinetron, tinggal di Garut.

Leave a Reply

Bahasa ยป