KUBURAN TIKUS

Agus Salim
http://www.surabayapost.co.id/

Firda terus saja menghitung-hitung biaya membetulkan rumah. Walau sebenarnya itu tidak bisa terwujud secapat mungkin. Gajiku, sebagai buruh kontrak, tidak pernah cukup untuk membiyai perbaikan rumah. Lima ratus ribu rupiah per bulan hanya cukup untuk urusan perut dan kebutuhan hidup yang lain : sabun mandi, sabun cuci, shampo, odol, sikat gigi, bayar listrik, dan untuk kebutuhan make up Firda. Meskipun Firda tahu itu, tapi tetap saja memaksakan diri, merengek-rengek agar rumah segera diperbaiki.

Aku paham betul perasaan Firda. Dia sangat tertekan dan tidak tahan melihat kondisi rumah yang sudah tidak layak disebut rumah manusia. Pantasnya disebut rumah binatang. Kayu-kayu dan atap rumah banyak yang sudah mengalami kropos hingga hampir ambruk. Setiap hujan turun, pasti bocor. Air menembus batas, menetes, membasahi lantai. Bikin kemproh. Dinding rumah juga banyak yang sudah retak, termakan usianya yang sudah tua. Tapi, bukan itu alasan awal sehingga Firda ngotot menyuruhku segera memperbaiki rumah.

Semua berawal dari bau busuk yang menyeruak menusuk hidung.

Bau busuk kematian menyebar ke semua sudut kamar tidur. Baunya sangat menyiksa hidung, hingga sesak. ?Huh! Baunya minta ampun!? kata Firda sambil mengapitkan dua jari telunjuk dan ibu jari, ke hidung.

?Huaaak?!!? suara itu menghentak keras keluar dari mulut Firda. Dia sangat tidak tahan dengan bau itu. Bau busuk itu berasal dari atap kamar tidur

Tiga ekor tikus mati secara bersamaan.

Tidak hanya itu aku dan Firda juga dikagetkan oleh ulat-ulat kematian berjatuhan dari atap kamar tidur. Aku kebingungan, begitu juga dengan Firda. Ulat-ulat itu menggeliat, merayap, menghampiri kami. Spontan saja kami blingsatan. Mencari tempat aman.

Dengan penuh kesabaran, satu per satu ulat itu kami singkirkan keluar. Mungkin ulat-ulat itu sudah menghabisi daging tikus yang mati di atap. Banyak sekali jumlahnya, mungkin sudah berkembang biak dengan cepat. Sebab, meskipun sudah kami singkirkan ulat-ulat yang jatuh, tetap saja masih ada ulat-ulat yang jatuh lagi bertaburan dan tak terhitung jumlahnya. ?Belum mati saja sudah dihampiri ulat-ulat kematian,? sindir Firda.

Aku tak sempat memikirkan sindiran istriku. Aku memperhatikan dengan seksama darimana sebenarnya ulat itu keluar. Ternyata, ulat-ulat itu menyelinap di sela-sela atap yang pakunya sudah terlepas. Tanpa berlama-lama, aku mengambil lakban dan kututup sela-sela itu dengannya. Dengan sedikit usaha yang tidak terlalu memakan waktu dan tenaga, ulat-ulat itupun akhirnya tidak berjatuhan lagi karena tidak menemukan jelan keluar.

Sementara kami aman.

Namun ada yang tidak bisa tertutupi. Bau busuk tetap menyengat. Firda mencak-mencak dan mengancam akan tidur di rumah orang tuanya, kalau rumah tidak segera diperbaiki.

?Kalau kau tidak segera diperbaiki, lihat saja nanti!? ancam Firda kepadaku.

?Dengar, Mas! Aku kan sudah bilang berkali-kali, mewanti-wanti, rumah ini sudah peyot, perlu peremajaan, kau tetap saja mengacuhkan aku. Kalau sudah begini, masak kita akan diam saja. Tanpa berbuat sesuatu. Ada tiga ekor tikus mati di atap rumah kita, Mas!?

Aku menjadi heran, kenapa tikus yang mati, kok aku yang disalahkan. Firda seperti sedang mencari kambing hitam.

Agar api kemarahannya tidak membesar dan meluap-luap, kutatap matanya dengan tajam. Agar dia sadar bahwa aku juga bisa marah. Tapi, Firda malah semakin bringas. Kelembutannya yang tertanam sejak aku bertemu dia, perlahan-lahan menghilang.

Dia lantas melangkah dan mengampiri sapu. Diambilnya sapu dan dibawa ke dalam kamar, lalu disundul-sundulnya sapu itu ke atap kamar dengan tekanan cukup keras. Braak! Braak! Braak!

?Kenapa tikus itu tidak tau diri, sudah dikasih ijin keluar masuk, eh, malah mati sembarangan, diatap rumahku lagi!? gerutu Firda.

?Kau tidak usah marah sama tikus. Nggak level. Tikus berhak mati dimana saja dia mau. Kita sebagai manusia tidak bisa ngatur-ngatur. Kau sudah kelewatan Firda!? kataku dengan sedikit tekanan.

?Apa? Kelewatan! Kau yang kelewatan, Mas. Ini baru tiga ekor tikus yang mati, nanti akan berdatangan tikus-tikus yang lain dan juga memilih mati di atap kamar tidur kita. Bisa-bisa rumah kita akan menjadi kuburan tikus. Dan baunya setiap saat akan menghantui kita. Seharusnya kau sudah bisa mengantisipasi ini semua. Kau sebagai kepala keluarga, harusnya bisa sadar, bahwa kita ini butuh rumah yang layak,? Firda menimpaliku dengan kata-kata yang pedas.

Lama-lama kupingku kepanasan mendengarnya. Kamarahan pada tikus diputarbalikkannya, diseret-seret sehingga menjadi permasalahan keluarga. Aku sendiri tidak habis pikir, kenapa tega-teganya Firda menyalahkan aku. Seolah-olah aku adalah biang masalah dalam hal ini. Sedangkan tikus yang mati di atap bukan aku yang menyuruhnya.

Memang – sebagai kepala keluarga – aku seharusnya memberikan rumah yang nyaman, aman dan tentram. Rumah impian?yang menjadi idaman semua keluarga. Rumah yang bisa membuat Firda lebih leluasa bergerak. Tidak pada satu tempat atau dua tempat, kalau bisa berganti-ganti.

Sementara ini kami tinggal di sebuah rumah yang minimalis. Super minimalis. Hanya ada satu ruang tamu dengan ukuran secukupnya, dua kamar tidur secukupnya, kamar mandi secukupnya dan dapur secukupnya. Ruang gerak kami sangat terbatas. Tempat bermain anak-anak saja tidak ada. Aku berpikir, jika punya anak kelak, pasti anakku juga akan merasakan bosan tinggal di rumah yang ukurannya secukupnya, sama seperti Firda.

Pernah terbesit dibenakku untuk menjual rumah, dan pindah ke rumah kontrakan. Tapi, setelah dihitung-hitung dengan akal sehat dan hati yang jernih, pasti akan membuat biaya hidup semakin membengkak. Meskipun angka-angka dalam kalkulator berulang-ulang kali aku tekan, mengkalkulasi kebutuhan hidup, mengurangi dan selalu mengurangi, tetap saja tidak cukup. Dengan hanya penghasilan lima ratus ribu rupiah perbulan, sudah bisa dipastikan tidak akan pernah bisa menjangkau kebutuhan hidup yang harga-harganya sudah melambung tinggi. Firda tau itu, tapi dia tetap dengan pendiriannya.

Biar peramalasahan tidak merembet terlalu jauh, aku membujuk Firda agar sabar menunggu sampai aku diangkat menjadi buruh tetap. Dan dengan itu, aku nantinya bisa mengajukan pinjaman ke bank.

Pendirian Firda yang tidak bisa diotak-atik lagi membuat aku putus asa. Firda memaksa aku juga untuk ikut masuk dan larut dalam kemarahan yang sebenarnya tidak harus aku lakukan. Akupun larut, karena sudah tidak ada jalan lain selain marah, sama seperti marahnya Firda.

Aku pun marah. Menggila.

?Biar, rumah ini tidak akan pernah aku perbaiki. Sebab aku memang benar-benar tidak punya uang. Kalau kau tidak suka, sana kau tidur di rumah orang tuamu!? bentakku kepada Firda.

?Kau lebih senang rumah kita menjadi kuburan tikus?!?

?Kalau iya, kenapa?!?

?Jadi kau lebih senang hidup bersanding dengan tikus daripada denganku?!?

?Iya!! Karena aku anggap tikus lebih layak hidup disini.?

?Kenapa kau bicara seperti itu?!? tanya Firda dengan nada terheran-heran.

?Kau manusia, yang katanya lebih mulia dari binatang. Karena sudah dilengkapi otak untuk berpikir, tapi, kenapa kau lebih mirip dengan binatang yang tidak pernah mengerti kata-kata manusia. Aku sudah katakan berulang-ulang, ?Gajiku tidak cukup untuk memperbaiki rumah, Firda? tapi kau tetap saja memaksa. Kau tidak menghormati hak asasiku sebagai suami.?

?Jadi, kau lebih lebih memilih tikus dari pada aku, Mas??

?Iya!! Meskipun tikus selalu mengganggu, membuat suara gaduh dan memberikan bau busuk, tapi, tikus tidak pernah menuntut apa-apa dariku. Tikus hanya numpang hidup dan mati di rumah ini. Apa salahnya, sih!?

?Jadi? jadi? jadi?. Ah!!? Firda akhirnya takluk dengan tingkahku yang aneh dan kegilaanku membela binatang yang namanya tikus.

Firda ngambek.

Dia mengambil koper besar dan menghampiri lemari yang tak terkunci.

Firda membuka lemari, dan mengambil semua pakaiannya. Satu per satu dimasukkannya ke dalam koper besar. Aku termangu, terheran-heran menyaksikan tingkah Firda yang kekanak-kanakan.

Masalah semakin runyam saja ketika Firda dengan langkah pasti membawa koper besar keluar kamar tanpa kata-kata. Dia menunduk dan mengacuhkan aku. Sangat tidak wajar, hanya gara-gara tikus mati, lantas cinta Firda juga ikut-ikutan mati. Terlalu dibuat-buat.

Aku meloncat dan menghadang langkah Firda. Tak terima dengan hadanganku, tanggan kirinya mendobrak tubuhku, dengan kekuatan penuh amarah, hingga aku terjatuh.

Dengan cepat aku bediri lagi dan menghadang lagi. Didobraknya lagi tubuhku dan terjatuh lagi. Hadangan yang terakhir kali berhasil menundukkan hati Firda. Mungkin karena lelah mendobrakku atau karena sekedar kasihan kepadaku.

Firda meletakkan koper dan duduk di kursi kesayangannya.

Dia merenungkan sesuatu. Tapi aku sendiri tidak tau apa yang sedang direnungkannya.

Aku melangkah mendekat, dan duduk di dekatnya lalu kubelai rambutnya yang hitam dan terurai rapi.

Mirip waktu pacaran dulu.

?Kenapa kau ingin pergi, Firda?? tanyaku.

?Karena kau lebih memilih tikus daripada aku,? jawab Firda dengan mulut monyong.

?Itu kan tidak menandakan bahwa aku jatuh cinta sama tikus. Aku hanya berusaha menempatkan sesuatu pada tempatnya.?

Firda tersenyum mendengar aku berkata seperti itu. Lesung pipinya yang menawan nampak mewarnai senyumnya.

?Ya tetap saja kau lebih memilih tikus! Ah!? kata Firda dibumbui dengan sedikit senyum.

?Sudahlah? kita tidak usah saling menyalahkan hanya karena tikus. Kita damai saja. Soal memperbaiki rumah kita bicarakan nanti kalau hati dan akal kita sudah sama-sama jernih. Sebab saat ini bau busuk dari tikus yang sudah mati sudah meracuni hati dan akal kita. Kita damai, ya?!?

Firda hanya mengangguk.

Api kemarahan padam dan berakhir begitu saja tanpa ada yang menang. Kami sama-sama kalah. Firda membongkar kembali lagi isi koper. Entah, berapa lama lagi kami harus ?mencintai? tikus?

Rumah Kenangan, Desember 2008.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *