LUKA SEJARAH DALAM SAJAK-SAJAK PENYAIR RIAU?

Maman S. Mahayana *

Kultur Melayu dengan luka sejarah masa lalu, dianggap sebagai kecelakaan dengan akibat dan kepahitannya menjadi beban generasi sekarang. Dalam wilayah keindonesiaan, problem sosial itu tidak jarang ditempatkan sebagai bagian dari kebijakan sentralitas hubungan Jakarta -Daerah yang secara faktual malah memarjinalkan puaknya. Dominasi Jakarta, dirasakan sebagai monster. Akibatnya, kehidupan masyarakat persekitaran yang penuh koyak-moyak luka itu jadi pemandangan yang menggelisahkan. Dari sanalah tuntutan untuk bersuara nyaring hadir tidak sekadar sebagai tanggung jawab sosialnya, tetapi juga sebagai sebuah perjuangan sosio-kultural.

Kesadaran kultural, sikap kebertanggungjawaban sosial, dan ingatan kolektif atas sejarah masa lalu tentang puak Melayu telah menjadi semangat, elan yang mengerucut pada sebuah gerakan yang dikatakan Taufik Ikram Jamil sebagai Mazhab Riau. Sastra (: puisi) menjadi wilayah alternatif. Ia memperlihatkan semangat dan cita-cita yang sama. Maka, mungkin saja puisi yang dilahirkannya menyerupai potret sosial, romantisisme atas kebesaran marwah Melayu, gerakan melepaskan diri dari dominasi pusat (: Jakarta) atau usaha merumuskan kembali identitas yang lepas dari hegemoni pusat. Di sana, tak dapat disembunyikan adanya semangat menggelegak dari perasaan kolektif luka yang terkoyak.

Dari sini, saya ingin membicarakan sajak-sajak penyair Riau (MZ) dalam buku Langgam Negeri Puisi (LNP, Dewan Kesenian Bengkalis, 2004). Terkesan, MZ seperti begerak dengan caranya sendiri. Secara tematik, ia begitu bebas mengangkat latar tempat di mana pun, tanpa harus terus menerus mengusung problem puaknya. Dengan cara demikian, ia bisa memotret Kintamani, Selat Sunda atau wilayah mana pun di luar puaknya, tanpa mesti dibebani ideologi tertentu. Akibatnya, MZ seperti berada dalam dua dunia. Satu kakinya berada di masa lalu dan menyeretnya merasakan luka yang sama tentang alam dan masyarakatnya. MZ bukan tak ikut merasakan luka itu. Yang dilakukannya, sekadar menjadi penonton lantaran menyadari keterbatasannya, atau melepaskan kepedihan itu sebagai sejarah masa lalu dan kemudian menatap ke dunia lain. Maka, kerinduan terhadap tanah leluhur, cenderung sebagai ungkapan romantik yang disadari sebagai keasingan, kekosongan, ketercerabutan dari akar atau ketercampakan oleh perjalanan waktu dan tuntutan zaman. Sebelah kakinya lagi berusaha untuk keluar dari keterkungkungan masa lalu dan tanah leluhur.

Dalam posisi kedua kakinya yang seperti itu, yang tampak kemudian adalah hasrat hendak melepaskan diri dari kungkungan tradisi dan masa lalu, tetapi sekaligus ia sadar bahwa tradisi dan masa lalu yang hendak dilepaskannya itu, kerap menjelma sebuah sihir yang pesonanya tak gampang dibenamkan. Ia terjerat sihir itu, karena identitasnya adalah bagian dari sihir itu juga. Itulah yang dikatakan Anthony Gidden, guru besar sosiologi dari Cambridge University, sebagai manusia pascatradisional.

Antologi Langgam Negeri Puisi (LNP) (Dewan Kesenian Bengkalis, 2004, 84 halaman) karya Marhalim Zaini (MZ) berisi 69 puisi. Kata Pengantar Taufik Ikram Jamil membantu kita menemukan semacam pintu masuk dari sejumlah pintu lain yang disediakan penyairnya. Seperti lazimnya hampir semua kata pengantar, ia cenderung menggiring kita (: pembaca) memasuki wilayah apresiasinya. Mungkin menggoda atau malah membuat kita malas. Jika kita menerimanya, kita harus juga mempertanyakan kembali secara kritis. Maka, bijaksanalah kita memasuki LNP melalui pintu lain yang belum terbuka, dan sekalian melakukan identifikasi.

Pengucapan MZ dan tema yang diusungnya dalam LNP agak berbeda dengan sejumlah penyair Riau lain. Sebutlah Taufik Ikram Jamil. Pengucapannya cenderung obsesif terhadap dunia Melayu; Syaukani Al Karim -yang dikatakan Tommy Awuy sebagai penyair Riau garda depan, lantang berteriak atas luka sejarah puaknya; Hoesnizar Hoed yang pembacaannya mengingatkan kita pada gaya Sutardji Calzoum Bachri, gelisah atas pengurasan kekayaan tanahnya; Abdul Kadir Ibrahim yang coba mentransformasi bentuk pantun; Junewal Muchtar yang mempermainkan ujaran lisan, atau Hang Kafrawi yang berkutat mencari identitas. Kultur Melayu dengan luka sejarah masa lalu, dianggap sebagai kecelakaan dengan akibat dan kepahitannya menjadi beban generasi sekarang.
***

Tak begitu jelas, mengapa ke-69 puisi dalam LNP dipilah ke dalam tiga bagian: “Tersebab Laut” (27 puisi), “Nocturno Burung Api” (20 puisi), dan “Surat Cinta Beracun” (22 puisi). Dilihat dari style, pengucapan, majas yang digunakan dan tema-tema yang diusungnya, tak ada perbedaan signifikan yang menyertai alasan khas atas pembagian itu. Sejumlah kata tertentu yang berulang kali digunakan erat berkaitan dengan tema. Kata-kata itu dapat dijadikan titik berangkat untuk melakukan identifikasi.

Secara umum kata-kata kunci itu dapat dikelompokkan dalam empat ranah; laut (pantai, teluk, ombak, pulau, samudera), waktu (pagi, senja, malam, sejarah), hujan (air, gerimis, angin) dan bahasa (puisi, sajak). Pengulangan kata-kata itu signifikan mengingat kata-kata itu meluncur begitu saja, dan seperti sengaja dihadirkan untuk mewakili simbol dan makna tertentu. Di sinilah, gagasan Christopher Bollas “seorang Freudian terkemuka dewasa ini” tentang asosiasi bebas, relevan untuk mengungkapkan naluri ketaksadaran MZ dalam merepresentasikan kegelisahannya.

Mencermati keseluruhan puisi dalam LNP, agaknya kita mesti percaya bahwa sastra (: puisi) dapat ditempatkan tak hanya sebagai potret sosial yang mengungkapkan semangat zamannya, tetapi juga sebagai potret diri sastrawan bersangkutan. Sastra dipakai sebagai refleksi evaluatif atas problem sosial dan lingkungan sekitar tempat sastrawan bersangkutan lahir dan dibesarkan. Di sana akan hadir catatan, perenungan, obsesi, kegelisahan dan harapan. Melalui bahasa sebagai medianya, sastra secara keseluruhan memantulkan wajah dan identitas penyairnya. Meskipun kita tidak harus serta-merta percaya pada pernyataan bahwa – bahasa menjadi serupa cermin yang memantulkan wajah jiwa dalam barisan kata-kata, setidaknya pernyataan itu merupakan refleksi kegelisahan penyair mengenai berbagai problem yang hadir dari pengalaman hidupnya.
***

Ada tiga dasar pemikiran yang menjadi alasan pemikiran itu. Pertama, merujuk pernyataan Grebstein, kritikus sosio-kultural, bahwa pemahaman terhadap sastra hanya mungkin dapat dilakukan selengkapnya jika kita tidak melepaskan diri dari latar belakang sosio-budaya pengarangnya. Dengan demikian, menerjemahkan sebuah teks sastra lewat kajian sosio-budaya, tidak dapat lain, kecuali mencoba menelusuri lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkan pengarang yang bersangkutan.

Kedua, setiap karya sastra pada hakikatnya unik. Maka, pendekatan terhadap teks MZ dalam LNP dan mencoba memahami konteksnya belum tentu dapat dilakukan pada teks lain dari pengarang yang lain. Artinya, MZ menggunakan caranya sendiri dan dengan menelusuri cara MZ itulah, kita melakukan penafsiran atas teks yang dihasilkannya.

Ketiga, jika bahasa “secara kolektif” mencerminkan bangsa, maka bahasa dalam karya sastra “secara individual” mencerminkan individu atau pribadi pengarangnya. Mengingat ada sejumlah kosa kata tertentu yang berulang kali digunakan MZ, maka melalui kosa kata itulah, kita mencoba menelusuri latar belakang sosial-budaya pengarangnya. Kosa kata itulah yang digunakan sebagai pintu masuk mengungkapkan identitas seorang MZ.

Pertanyaannya, mengapa kosa kata dari empat ranah itu kerap muncul dalam puisi-puisi MZ? Apakah ia tidak punya kata lain, sehingga dalam konteks apapun, kata-kata itu seperti muncul dari luar kesadarannya. Itulah yang dimaksud Christopher Bollas sebagai asosiasi bebas yang nongol dan mencolot begitu saja dari ruang ketidaksadaran individu. Ketidaksadaran itu tidak terlepas dari masa lalu. MZ tak dapat melepaskan diri dari masa lalu, dari sebuah tradisi besar yang telah membentuk ruh dan sikap kulturalnya. Maka, asosiasi bebas seorang MZ akan berbeda dengan sastrawan dari kultur yang lain. Di sana ada problem kultur yang di dalamnya tradisi menjadi bagian penting. Tradisi adalah sebuah orientasi ke masa lalu yang sangat berpengaruh pada sikap dan perilaku masa kini. Edward Said mengatakan, meski tradisi selalu berubah-ubah, ia tetap memiliki daya tahan sebagai alat penentang desakan perubahan. Selalu ada jejak-jejak yang melekat dalam ingatan individu yang dalam konteks masyarakat menjadi ingatan kolektif. “Tradisi terkait dengan memori kolektif yang kemudian memancar dalam memori individu,” begitu keyakinan Anthony Giddens. Dalam hal itulah, puisi-puisi MZ punya cantelan kultural.
***

Yang menarik dari citraan yang dikembangkan MZ adalah keterikatannya pada laut sebagai medan kehidupan, waktu sebagai sebuah perjalanan yang terikat masa lalu dan harapan masa depan, dan sajak sebagai keputusan, sikap, atau alat perjuangan yang dalam banyak puisinya diposisikan dalam keadaan kalah, sia-sia, dan pesimis. Jika ada nada optimis, MZ menghadirkannya lewat pengandaian, seolah-olah harapan itu sia-sia belaka. Lihat nada optimistik yang dihadirkan di sana: Andai saja dayung di genggaman mengayuhkan/cinta pada setiap debur ombaknya, maka/asin pantai lebih terasa daripada badai.// Andai perjuangan itu dilandasi cinta dalam setiap geraknya, maka hidup bisa lebih bermakna daripada kesia-siaan atau prahara. Mengapa optimisme itu harus dalam pengandaian? Atau, ia sendiri tak cukup yakin dengan langkah yang diperjuangkannya.

Pesimisme, kesepian, keterasingan, kesangsian, dan segala kemuraman dihadirkan MZ dalam hampir semua puisinya. Maka LNP laksana serangkaian gumam sebuah suara yang datang dari dunia yang serba gelap. Lalu padam. Peti mati inilah rumah kita./Jagat yang legam, dan waktu tak bersisa// (Nocturno “Malam” hlm. 67). Jika ditarik garis linier, LNP seperti mewartakan sebuah perjalanan anak manusia yang di belakangnya terbentang luka sejarah, di sekeliling bermunculan kegetiran, dan di hadapannya masa depan seperti lorong panjang yang gelap. Itulah tema-tema yang diusung MZ dalam LNP.

Begitulah, di mana pun ia berada, ia seperti berhadapan dengan sebuah paradoks. Masa lalu yang mengganggu yang ingin dikuburnya, tetapi sekaligus muncul begitu saja sebagai bagian dari masa kini dalam memandang masa depan. Yang muncul adalah kesepian, keterasingan, dan ketidakpercayaan pada masa depannya sendiri. Itulah langgam MZ: puisi sebagai representasi tarik-menarik antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Kebanggaan atas masa lalu, dirasakan tak menyelesaikan masalah, sementara pandangannya terhadap masa depan, juga penuh dengan pesimisme. Maka, yang dapat dilakukan adalah memotret apa saja, di mana saja, sebagai tindak konkret keinginannya untuk berbuat. Puisilah yang kemudian menjadi pilihan. Dapat dipahami jika MZ menempatkan puisi sebagai suara jiwa, representasi perjalanan hidup yang dialaminya. Sebuah bangunan beragam peristiwa yang menjelma dalam puisi. Itulah ciri, corak, gaya dan kecenderungan yang menurut versi MZ sebagai langgam.

Asosiasi bebasnya membawa kita ke berbagai tempat, peristiwa, dan perkara, bergantung dari perspektif mana kita memasukinya. Dalam konteks kepenyairan Riau, MZ seperti melenggang sendiri, tak terpengaruh oleh tarikan kekuatan penyair sekitarnya. Meski begitu, sebagai makhluk sosial yang lahir dari sebuah tradisi besar puak Melayu, ia terus-menerus dibayangi masa lalu yang disadari tak kuasa ditinggalkan. Sebuah problem psikis manakala ia berada di luar puaknya. Tradisi dan masa lalu seperti telah menyatu dengan masa kini dan masa depan. MZ telah menjelma menjadi manusia pascatradisional.

Dengan permainan enjambemen yang memenggal kalimat demi kepentingan persajakan atau keindahan bunyi, MZ tidak hanya berhasil membangun kekompakan dalam setiap larik puisinya, tetapi juga dapat mempererat hubungan makna secara keseluruhan. Kekayaan penciptaan metafora, paradoks atau majas yang lain, tidak hanya memancarkan keindahan puitik, tetapi juga menghadirkan apa yang disebut sebagai mukjizat komunikasi. Demikian juga citraan yang dibangunnya, terasa segar dan khas. Sekadar contoh, sebutlah, menyiangi usia, kabut mencuri angin, sekuntum sunyi, sejengkal lagi kekal, diam berarti terbenam. Bukankah pola-pola itu jauh dari klise dan MZ berhasil memanfaatkannya secara optimal. Satu usaha yang menunjukkan keseriusan penyairnya dalam menempatkan puisi sebagai salah satu alat perjuangan budaya.
***

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *