PERKEMBANGAN TEORI SASTRA MUTAKHIR

Maman S. Mahayana *

D.W. Fokkema dan Elrud Kunne-Ibsch, Teori Sastra Abad Kedua Puluh, terjemahan J. Praptadihardja dan Kepler Silaban (Jakarta: Gramedia, 1988), xxiii + 281 halaman.

Perkembangan kritik sastra akademis di Indonesia dewasa ini, sesungguhnya berutang budi pada kritik sastra aliran Rawamangun. Terlepas dari segala kekurangannya, kritik Rawamangun telah menanamkan satu tradisi ilmiah dalam pengkajian sastra.

Kini, berbagai perkembangan kritik sastra di Barat yang juga mulai semarak di Indonesia selepas tahun 1980-an, makin memberi kemungkinan lain yang lebih beragam dari pendekatan struktural yang dipegang teguh kritik aliran Rawamangun. Teks sastra yang semula diperlakukan sebagai struktur yang otonom dan mandiri, terlepas dari konteks sosio-kultural, menjadi objek kajian yang dapat dihubungkaitkan dengan teks-teks lain di luar sastra.

Satu kecenderungan baru yang marak belakangan ini adalah mun-culnya berbagai tulisan yang secara tidak tepat menyinggung kritik sastra mutakhir. Konsep atau istilah strukturalisme, dekonstruksionisme, hermeneutika, resepsi sastra, dan semiotika dibicarakan secara agak serampangan. Akibatnya, sudah dapat diduga, kritik sastra yang mestinya berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara pengarang –lewat teks– dan pembaca, menjadi sebuah hutan belantara yang gelap dan menyesatkan. Dalam konteks itulah, buku ini niscaya dapat dijadikan sebagai panduan mendasar dan berharga guna memahami apa yang sesungguhnya hendak dicapai aliran-aliran itu dan bagaimana lalu-lintas aliran-aliran itu berkembang dan berusaha saling melengkapi.

Pada bagian Kata Pengantar, misalnya, Fokkema dan Kunne-Ibsch memaparkan secara singkat bagaimana perkembangan kritik sastra tahun 1970-an yang diwakili hermeneutik versus studi sastra yang empiris berkembang sedemikian pesatnya. Pada dasawarsa yang sama, muncul pula naratologi, kritik dekonstruksi, dan ideologis. Dan dengan caranya sendiri, sebuah teks sastra dibongkar dan dihubungkan dengan berbagai disiplin yang berbeda (hlm. xi). Lalu, timbul pertanyaan: di mana tempatnya kritik sastra?

Dalam melakukan interpretasi teks, kritik memerlukan teori. Perlu adanya mengenai konsep sastra dan kriteria penilaian dalam kritik sastra. Di sini, kita melihat, betapa simpang-siur perdebatan konsep sastra, perumusan teori dan keperluannya dalam menentukan kriteria penilaian. Dalam hal ini, “teori sastra harus menciptakan dasar konsep yang universal yang dapat dipakai mendeskripsikan fakta-kata tertentu” (hlm. 12).

Selanjutnya kedua penulis Belanda itu mencermati secara tajam “Formalisme Rusia, Strukturalisme Ceko dan Semiotik Soviet”.Meski uraiannya begitu njlimet, kita disajikan serangkaian catatan kritis atas gagasan dasar kaum formalis yang kemudian kelak menjadi cikal-bakal strukturalisme. Bahwa kaum formalis telah berjasa membawa studi sastra sebagai kegiatan ilmiah yang lalu ditekankan Roman Jakobson mengenai pentingnya ilmu sastra sebagai cabang ilmu tersendiri, telah mengundang banyak ilmuwan memasuki perdebatan akademis. Tak pelak lagi, bagian ini menjadi penting manakala kita hendak memahami percabangannya menuju strukturalisme Prancis.

Di Prancis, strukturalisme semula berkembang agak tersendat. Namun berkat perjuangan kaum strukturalis dalam menentang pendukung gagasan faktualitas yang diwariskan positivisme dan individualitas yang ditekankan eksistensialisme, strukturalisme mendapat tempat dan momentum yang tepat. Bahkan, strukturalisme linguistik pasca-Saussure dan strukturalisme antropologi lambat-laun makin semarak. Belakangan, muncul pula Raymond Picard sebagai wakil kritik lama dan dan Roland Barthes sebagai wakil kritik baru.

Ada tiga kecenderungan perkembangan strukturalisme Prancis: Pertama, kritik strukturalisme dengan tokoh sentral, antara lain, Merleau-Ponty dan Barthes. Kedua, naratologi strukturalis yang bersandar pada gagasan Vladimir Propp versus Greimas. Ketiga, deskripsi teks strukturalis-linguistik khasnya lewat gagasan Claude Levi-Strauss dan Michael Riffaterre.

Bagian penting lainnya dalam buku ini menyangkut pembicaraan teori sastra Marxis. Di sini Fokkema dan Kunne-Ibsch mengungkapkan secara kritis landasan teori sastra Marxis. Uraiannya dimulai dari gagasan materialisme-dialektika Marx-Engels dan Lenin; yang disertai pula dengan deskripsi latar belakang Realisme Sosialis sampai ke neo-Marxisme Georg Lukacs. Perkembangan teori sastra Marxis di Cina baru mendapat perhatian setelah Gerakan Empat Mei (1919). Selepas itu, tumbuh pesat gerakan sastra dan jurnal sastra yang membahas seni untuk seni sampai ke utilitarianisme Marxis (hlm. 133). Belakangan, teori sastra Marxis didasarkan pada gagasan Mao. Namun, karena terlalu meyakini ideologi Marxis, teori sastra Mao di Cina pada dasarnya menolak eksperimentasi dan perbedaan pendapat.

Dalam teori sastra neo-Marxisme, karya-karya avant-garde justru menjadi salah satu bahan perdebatan. Dari keberatan Lukacs atas ekspresionisme yang dipertentangkan dengan realisme, Bertold Brecht, Ernst Bloch, Theodor W. Adorno dan bahkan tokoh-tokoh neo-Marxisme sendiri, terlibat dalam perdebatan itu. Menurut Adorno, Lukacs terlalu dogmatis dalam memberi batasan mengenai Realisme Sosialis. Dari konteks perdebatan itu, Fokkema dan Kunne-Ibsch memasukkan Lukacs ke dalam kotak Marxis ortodoks, sementara yang lain, di antaranya, Adorno, Lucien Goldmann, Walter Benyamin, dan Fredric Jameson, termasuk neo-Marxisme.

Satu hal yang menarik dalam bagian ini adalah uraian mengenai gagasan Realisme Sosialis yang mengingatkan kita pada propaganda seniman Lekra tahun 1960-an. Sesungguhnya, Realisme Sosial, baik yang hendak diterapkan di Cina, maupun yang dijadikan sebagai bagian garis politik partai, tidak lebih dari teori sastra yang penuh dengan pemaksaan ideologis.

Agak berbeda dengan teori sastra yang sudah dibicarakan sebelumnya, resepsi sastra tidak begitu menekankan pada teks sastra, melainkan pada pemaknaannya atas teks. Seperti dikatakan Jurij M. Lotman, “Realitas kultural dan historis yang disebut karya sastra tidak berhenti di dalam teks. Teks hanyalah salah satu unsur dalam suatu relasi. Nyatanya karya sastra terdiri atas teks dalam relasinya dengan ekstratekstual; dengan norma-norma sastra, tradisi, dan imajinasi” (hlm. 174). Dalam hal ini, “teori resepsi menghargai relativisme kultural dan relativisme historis …” (hlm. 175).

Begitulah, para ahli resepsi sastra (Jerman), banyak yang memanfaatkan sejarah, hermeneutika dan strukturalisme, meski tekanan pada bidang-bidang itu berbeda. Maka, tidak terhindarkan pemikiran Hans Robert Jauss, Wolfgang Iser dan Roman Ingarden dijadikan sebagai landasan teori resepsi. Aliran Konstanz, misalnya, secara gencar menerapkan teori Jauss; kelompok Werner Bauer mengembangkannya menjadi analisis kontemporer, dan bukan analisis historis, sementara Georg Just mendasari gagasannya dengan menggabungkan teori Iser dan Jauss.

Di luar itu, muncul pula pendekatan sosial-politik, sebagaimana yang dilakukan Manfred Durzal yang berbeda dengan pendekatan Georg Just. Menurutnya, estetika resepsi yang meneliti kondisi-kondisi putusan kritis harus memusatkan perhatiannya pada dunia kesadaran politik dan sosial, sebagaimana yang tersirat dalam novel-novel Amerika dan Jerman.

Bagian akhir dalam buku ini mengungkapkan peluang bagi pengembangan teori sastra yang lain yang lebih beragam. Semiotika yang dikembangkan Umberto Eco, sosiologi pengetahuan yang ditekankan Jauss atau yang berdasarkan pada pemikiran sosiologi Peter Berger dan Thomas Luckman, sesungguhnya sangat memungkinkan menemukan fungsi-fungsi kognitif seni atau setidak-tidaknya menjadi objek penelitian, bagaimana konsep sosiologi pengetahuan dimanfaatkan untuk kepentingan teori sastra.

Akhirnya, Fokkema dan Kunne-Ibsch menekankan kembali tujuan buku ini. Bahwa keduanya tidak bermaksud menjawab simpang-siur aliran-aliran teori sastra, namun sejumlah masalah mendasar mengenai studi ilmiah sastra dapat dihadapi dengan pemahaman baru. Memang, membaca buku ini, kita banyak disuguhi pemahaman baru mengenai berbagai aliran teori sastra secara sangat mendasar dan lebih jelas. Tak pelak lagi, bagi peminat sastra, khususnya mereka yang ingin mendalami teori dan kritik sastra, buku ini dapatlah dijadikan sebagai acuan penting yang mesti dicermati.
***

_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *