http://www.kompas.com/
Sewaktu Pulang Kampung
Padi ini masih seperti dulu
: tertunduk malu-malu
malam bukan lagi sunyi bagi siapapun
adalah bahasa katak yang kubaca
dan ciuman burung pipit ketika pagi
terlalu lama tubuh ini pergi ? kembali
membawa sekarung lalu pulang-pulang bingung
apalah arti bintang di dada ini
dan ijazah-ijazah yang bergelantungan di tembok
jika sawah-sawah makin sempit
dan ayah terbaring kena depresi
lalu kulihat ibu termangu
antara kompor yang kering
atau kembali ke pawon
: hening
miskin ini tentu bukan kutukan Tuhan, bukan?
bukankah telah Engkau ciptakan alam beserta isinya
cukup untuk mencukupi segala makhlukMu?!
Pemalang, 2008
RAHASIA PADA SUATU KETIKA
Aku mulai membukanya diam-diam
Lewat serat-serat, lewat gemericik sungai
Lewat udara malam yang menggigil dan aku di lompatan-lompatan
Aku dan dia ada tiada di situ
Kulit matanya kebiru-biruan,
Dan diam-diam menyembunyikannya
Tapi entah untuk apa dan kepada siapa
: tak ada jawaban.
Larecost, 12 Januari 2009
Gemericik Rindu
semerbak tepung-tepung rinduku menghadap
di sekitar lengkung pelangi,
gemericik sungai dan dedaunan mengantarkan riwayatmu padaku
Pemalang, 2009
Gemuruh di Waktu Senja
senja yang telah menempanya hingga musim renta
tak ada yang lebih membakar hati, selain gemuruh di pagi hari
saat pagar dan tembok anyaman bambu rumahnya roboh
bukan lantaran banjir atau tsunami yang tiba-tiba
tapi betapa gemuruh pentungan dan buldozer menggilas
segala yang dimilikinya, airmatanya, peluh harapannya
yang lama ia tanam dalam ruang tempat teduh tubuhnya sehabis kerja
seorang senja yang menarik tangan anaknya dari lelap
dari mimpi tentang kebahagiaan yang tak lagi bisa diwujudkan
karena pentungan dan peraturan telah menenggelamkan
segala yang telah lama ia tanam dalam ruang tempatnya mengaji dan berdoa
gemuruh itu,
tiba-tiba menukik, mencekik ribuan bayi-bayi merah
dan teriakan mereka hanya auman harimau linglung di tengah gurun
gersang juga hati mereka yang memaksanya keluar dari kehidupan
dan hujan tak lagi memberi kesejukan,
kecuali tangisan mereka yang melebihi banjir bandang
dan kita hanya mampu memandang
gemuruh penggilasan berjamaah.
Bunga Pustaka, Februari 2009
Hela Angin
Sehelai kisah turun dari bebatuan
Menjerit yang tak tampak
Engkau layu di padang basah
Merasakan langit makin resah
Seunik itukah malam-malam yang kau kata bekal cahaya
Selain bintik-bintik membulat di kulitmu yang ranum
Engkaukah semerbak itu,
Yang dilahirkan hela angin
Yang membawa riuh rinduku pada gemetar
Bukankah kau dan aku terlempar terlalu jauh
Yang entah pada dentum apa
Kau dan aku mesti menggulung
Dan sesekali membuka catatan rapuh
Kubang, Januari 2009
Angin Tua
Remang-remang bola api di matamu,
Bicara rindu di altar megah tempat raja-raja
Membasuh dengan hujan
Tapi duka terlalu payah dan dalam, sayang
Rindu senyap,
Begitu burung gagak decak melingkari mahkota
Dan rayap-rayap mulai menyisakan kayu-kayu
Untuk dilayarkan pada tiap jengkal waktu, membusuk.
Desau dedaunan ditambah semerbak harum mawar
Masihkah gumpalan cahaya kau simpan di kamar
Bekas luka dan memar yang tak lagi ditanyakan angin
Dan doa jadi satu-satunya taring bagi jiwa yang masih mau menggigil.
Bunga Pustaka, Februari 2009
Cermin Dua Baris
Berapa kali wajah itu mengatakan luka?
Begitulah waktu mengajariku bertanya bagi jejak
Selepas hujan mengantarku pada ingatan
Selembar kain yang ditempelkan pada rindu
Melilitkan debu-debu pada cermin
Lalu kau kutemukan dalam dua duka
Duka senyuman termanis atas butiran pagi
Duka tangis tragis atas senja yang mengiris
Begitulah waktu mengajariku bertanya tentang jejak
Yang tak seorang pun mau melihat
Kecuali, matahari yang selalu mengintai dari balik cermin
Purwokerto, 2008-2009