Syu’bah Asa
majalah.tempointeraktif.com 31 Des 1983
Sutradara: putu wijaya pemain: renny, budi setiawan produksi: teater mandiri pementasan di: teater tertutup tim. (ter)
TAI Oleh: Putu Wijaya Pemain: Renny Putu Wijaya, Budi Setiawan, dll. Musik: Harry Rusli Artistik: Roedjito Produksi: Teater Mandiri
TAI Putu Wijaya bukanlah kotoran manusia yang menjijikkan. Meski pertunjukan ini – di Teater Tertutup Taman Ismail Maruki, Jakarta, 22-31 Desember – boleh dianggap puncak rasa kesal “yang tak tertahankan lagi”, seperti dikatakan pengarangnya, di panggung ia tetap lebih merupakan tontonan daripada sebuah gumpalan ekspresi yang pahit. Bahkan karya Putu yang lebih murni imaji-imaji, seperti Lho, merayap jauh lebih getir.
Kesan umum seperti itu mungkin memang disengaja dengan, pertama kali, masuknya Harry Rusli, pemusik Bandung yang “keras” itu. Ia mengatur serangkaian bunyi yang lebih merupakan komponen pertunjukan yang berkelindan dengan bagus dan bukan ilustrasi. Dan seperti kulit depan bukw naskah yang dibagikan, yang meriah dengan berbagal warna, gaya punk -itu rambut yang dicat model Indian- yang oleh Perias Johnny Andrean dipakaikan pada seluruh pemain, telah menjadikan Tai tontonan mutakhir jenis “kota”, bukan jenis “gombal”.
Tidak berarti Tai tontonan manis, tentu. Kostum yang ketat dan cenderung hitam, yang direncanakan Johnny Andrean, menambah suasana berat seluruh set yang kelam ciptaan Roedjito, lengkap dengan plastik-plastik putih yang melapisi dinding secara acak-acakan, ngelawer di sana-sini alias tak rapi. Di atas segala-galanya, adalah benda-benda bergantung “dari langit”, sebuah bulatan besar dan dua-tiga bulatan lonjong kecil terbungkus plastik, yang menimbulkan suasana menekan dengan ancamannya untuk makin turun menimpa bumi. Dan di bawah tata lampu yang relatif suram, ide Tai sendiri dikem6angkan dari sebuah tema yang berat.
Yakni “ancaman kepada dunia”, seperti diwakili “benda-benda entah apa” itu, yang konon menjanjikan ajal. Semua usaha menolak musibah, semua kutukan dan pemujaan, sia-sia. Bahkan upaya para pahlawan yang dengan susah payah dibangunkan dari makam.
Dan dalam seluruh peristiwa itu muncul penulis sejarah, wanita tangkas berpakaian sebangsa dewi, mondar-mandir dengan kitabnya yang tebal dan pensil sebesar gada. Hadlr i panggung dengan gans-garis dan pOsisl pahng domman, dan dimainkan dengan bagus sekali oleh Renny Putu Wijaya.
Semuanya terasa sebagai sekumpulan perlambang. Setidak-tidaknya, lebih dari sekadar ide cerita seperti yang sudah dipakai Putu untuk sebagian nomornya yang terdahulu. Ambillah para pahlawan itu – tokoh yang sering muncul samar-samar, bersama derap tentara, dalam banyak karyanya.
Bahwa malapetaka yang dihadapi dunia, atau bagian bumi, ditanggulangi dengan membangunkan para pahlawan, adalah juga khas Putu. Terdengar misalnya ucapan salah seorang yang akan membongkar kubur, “Di mana makam Bapak?” Dijawab penjaa taman pahlawan, “Makam Bapak? Ya nggak di sini. Yang lain ‘kan banyak.” Tapi lebih menyuarakan sikap adalah “pesan”nya, yang disuarakan salah seorang yang tampaknya pemimpin pahlawan, “Kami juga manusia seperti kamu. Kalau kami tidak mampu, mengapa kamu kira kami lebih baik?”
Penulis sejarah sendiri adalah sebuah antipoda, tokoh yang bisa mengubah orang biasa menjadi pahlawan atau sebaliknya, mencoret nama orang-orang yang tak disukai dari “daftar indeks”, tokoh yang berkata, “Sejarah yang buruk harus diperbaiki. Ini adalah aspirasi bangsa” – atau “Kejujuran memang penting, tapi ada batasnya.”
Sedangkan dua peran petugas, dilukiskan berseragam dan bersenjata, yang dihadapi khalayak dengan sikap benci dan dianggap pengkhianat, mengaku memang berkhianat “demi tujuan kebaikan, yang belum boleh dibukakan sekarang”.
Sebuah lagi: ketika akhirnya benda langit yang paling besar jatuh, dan orang-orang mengerubutnya, berhasil “menembus”-nya, “muncul ke atas mencuat dengan sederhana akan tetapi mengharukan dan indah”, demikian konon, si penulis sejarah malah “sudah tergantung dengan kedua kakinya di atas.”
Apapun yang dimaksud Putu sebenarnya (termasuk dengan benda-benda dl angkasa itu, yang layaknya memang mewakili ancaman dari langit, tapi juga bisa dianggap sesuatu “yang lebih dekat di atas kita”), semua itu menjadikan pertunjukan ini mengendap ke sekitar kesadaran dasar yang dimunculkan secara global.
Tapi hal pertama yang menjadikan tontontan ini bagus adalah tidak adanya keretakan dalam ide. Bekal Putu Wijaya, teater awan yang berangkat dari semangat anticerita dan perjuangan “teater bodoh”, seperti pada nomor-nomornya Lho, Entah, Nol, di sini secara klop berada dalam gumpalan kesan-kesan aktual tentang dunia yang dirasakan semua orang, tanpa menyuarakan pikiran dan dengan demikian menghadapi ujian dari segi kematangan visi. Sekadar membedakan, yang terakhir itu misalnya diperbuat Putu dulu dengan “perjuangan membela pelacur” – dengan argumen lemah – dalam Dor. Juga penyangsian rasa keadilan masyarakat, dengan semangat main-main, dalam Hum Pim Pah.
Bila ada yang bikin penat, itu selain terdapatnya sebagian pemain yang belum siap, khususnya yang perempuan, juga kemungkinan luputnya keakraban dengan “dunia gombal” yang juga khas Putu. Lelucon gembelnya menjadi tak terlalu segar – meski masih ada kalimat kejutan seperti, “Hanya bangsa yang besar bisa membongkar makam pahlawannya!” Berkurangnya spontanitas layaknya memang konsekuensi per)alanan seniman kreatif ini sendiri, yang, sambil diingat luasan kegiatannya sehari-hari kini sebagai pimpinan sebuah majalah, menjadikannya “makin berisi”, alias “serius”.
Dimensi yang bergeser itu sebenarnya sudah terasa dengan Zat, pementasannya sebelum ini. Berbeda dengan nomor-nomornya seperti di zaman Aduh dan Lho, yang membaurkan alam kita dengan “dunia gaib” atau imaji-imaji yang hitam, Zat lebih mencuat ke atas, ke “Langit”. Dan dalam Tai, pada salah satu adegan akhir, ketika bulatan besar dari atas itu berada persis di tengah pigura panggung, sementara para pemain roboh, ia tampak seperti bola dunia yang sunyi, yang menjanjikan nasib akhir semesta yang rata.
Hanya, alangkah malang, atau alangkah khas Putu, bila benar bahwa benda bundar besar itu, atau paling tidak dua benda lain yang terbungkus plastik dan tampak basah, ternyata tahi adanya. Maaf.
***