Penulis : Prof Dr Budi Darma
Penyunting : Djoko Pitono
Penerbit : JP Book dan Universitas Negeri Surabaya
Cetakan : I, November 2007
Tebal : xxiv + 242 Halaman
Peresensi: M. Djupri*
http://arsip.pontianakpost.com/
BUDI Darma selain pengarang adalah penulis esai yang kritis. Penguasaan terhadap sastra Barat, sama baiknya dengan pemahamannya terhadap sastra Indonesia. Penyandang gelar doktor sastra Inggris tahun 1978 dari Universitas Indiana, Amerika Serikat, ini hampir setengah abad menggeluti sastra modern Indonesia, dengan menulis cerita pendek, novel, dan esai.
Esai Budi Darma tergolong tidak rumit, bahasanya mengalir, dan mudah dicerna. Membaca esainya, seperti halnya mendengarkan Budi Darma saat berceramah. Kelima belas esai yang dihimpun dalam buku bertajuk Bahasa, Sastra, dan Budi Darma ini merupakan tulisannya antara 1979 hingga 2004. Sebelumnya esai yang membahas masalah budaya, bahasa, sastra, dan berupa surat itu pernah disampaikan dalam seminar dan diskusi di berbagai forum, serta dipublikasikan di surat kabar dan majalah sastra Horison.
Esai yang ditulis selama kurun waktu 20 tahun itu dikumpulkan Djoko Pitono yang sekaligus menyuntingnya menjadi buku. Penerbitan buku itu didukung Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan terhadap sastrawan kelahiran Rembang, Jawa Tengah, 25 April 1937, yang pada 2007 genap berusia 70 tahun, dan memasuki purnatugas sebagai guru besar Unesa. ”Kado istimewa” itu berarti menggenapi tiga kumpulan esai Budi Darma yang sudah terbit, yaitu Solilokui (1983), Sejumlah Esai Sastra (1984), dan Harmonium (1995).
Tentang sosok Budi Darma, Rektor Unesa (saat ini) Prof Dr H Haris Supratno menilai, ia bukan hanya dikenal sebagai ahli bahasa, sastra, dan budaya. Tetapi, Budi Darma juga seorang ilmuwan yang tangguh, berpengetahuan, dan berwawasan luas, yang dikenal baik secara nasional maupun internasional.
Kumpulan esai itu terbagi dalam dua bagian, yaitu lima esai tentang bahasa dan budaya, serta 10 esai sastra. Sastra Indonesia, menurut Budi Darma, pada hakikatnya menerima konsep bahwa sastra adalah dunia tersendiri yang berbeda dengan dunia sosiologi, politik, agama, dan lain-lain yang sifatnya mungkin saja menunjang sastra. Sedangkan sastrawannya lebih memperjuangkan nilai sastra dibanding dengan nilai-nilai lain yang diperjuangkan melalui sastra. Bertolak dari hal itu, Budi Darma menilai keberadaan karya sastra pengarang Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) di era 1950-1960-an yang menganut paham realisme sosial, tidak berumur panjang. Sebab, karya-karya itu tidak tunduk pada kaidah-kaidah sastra, dan prinsip penciptaan sastra Lekra bertentangan dengan hakikat sastra (hlm. 101-102). Menurut Budi Darma, sastra yang baik adalah yang mampu mengembangkan pemikiran. Karya sastra yang baik, bukan karya yang normatif.
*) Pengarang dan wartawan, tinggal di Malang.