Seni Mengkritik Rokok*

Kukuh Yudha Karnanta
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

Banyak aktivis melakukan aksi kritis terkait rokok dan tembakau, tapi tak banyak yang benar-benar berpikir kreatif dalam aksinya.

Sosok Sujai (S Jai) adalah salah satu dari sedikit aktivis yang melakukan kampanye secara inovatif. Ia bukan hanya tahu dan hafal, lebih dari itu, ia mengerti, paham, dan mampu mengaplikasikan pengetahuan tentang rokok dan tembakau sebagai inspirasi karya kreatif seni teater.

Penulis novel Tanah Api yang akrab dipanggil Jai ini mengisahkan latar belakang aktivitasnya di Lembaga Swadaya Masyarakat CRCS (Center for Religious and Community Studies) yang salah satu agendanya intens dalam kajian rokok dan tembakau.

?Rokok dan tembakau itu merugikan kesehatan, tapi juga memberi sumbangsih pada ilmu kedokteran,? ujarnya diplomatis.

Ditanya seperti apa bentuk sumbangsih tersebut, lelaki kelahiran Kediri, 3 Februari 1972 itu sekadar mengatakan pertanyaan seperti itulah yang menjadi motif mengapa ia mementaskan naskah Racun Tembakau karya Anton Chekov di Universitas Airlangga beberapa saat lalu. Di pentas itu Jai bertindak sebagai sutradara.

?Tembakau itu ibarat gurita. Hubungannya dengan pemerintah, pabrik, buruh, petani tembakau, masyarakat, sangat kompleks dan pelik,? kilahnya.

Kepala Bidang Kebudayaan CRCS itu menambahkan, pihak-pihak tersebut terkait dalam relasi ?hisap-menghisap? yang lebih perlu di-follow up dengan gerakan, bukan sekadar diwacanakan. ?Isap-mengisap bukan hanya dalam arti denotatif saja lho ya,? ujar alumnus Sastra Indonesia Unair itu.

Dalam pentas monolog Racun Tembakau yang disutradarainya, memfokuskan persoalan rokok melalui cerita tokoh lelaki yang takut pada istri sehingga tidak berani merokok terang-terangan. Dengan gaya seorang dosen, si tokoh memberi ceramah bahaya rokok dan memaparkannya melalui seperangkat data ilmiah.

Sebagai sastrawan dan dramawan, pria yang akrab dipanggil Jai ini mengaku memadukan nalar kritisnya tentang rokok dan tembakau dengan insting kreatif-estetiknya dalam berkesenian. Meski begitu, menurut Jai, bukan berarti karya seninya menjadi karya pesanan.

?Setiap karya pasti lahir dari kegelisahan. Kebetulan, saya sedang gelisah soal rokok,? tangkisnya. Implikasinya, Jai tidak sekadar mempertimbangkan aspek content pentas, namun juga mengedepankan tata artistik seni peran. Surabaya Post yang menyaksikan pentas Racun Tembakau mendapat suguhan teater yang sarat pesan bahaya rokok, namun dibalut dengan artistik panggung bernuansa jauh dari realis. Sedikit janggal, memang, namun tetap bisa dinikmati.

Kritis
Menurut Jai, masyarakat masih sering terjebak pada asumsi bahwa kampanye rokok berarti anti-rokok. Padahal, kampanye rokok meliputi advokasi, fungsi kritik, dan konsultansi. Secara spesifik Jai merumuskannya dalam tiga topik.

?Pertama, alokasi dana bagi hasil cukai tembakau untuk Pemprov Jatim seperti yang ditetapkan menteri keuangan masih belum jelas. Terutama kongkretisasinya untuk masyarakat,? sebutnya sambil menunjukkan data perolehan cukai rokok khususnya untuk Pemprov Jatim

Menurut data itu, Pemprov Jatim menerima Rp. 135,849 miliar dari Dana Bagi Hasil (DBH) cukai hasil tembakau. Harusnya, lanjut Jai, dana tersebut lebih diperuntukkan pada masyarakat melalui penyaluran yang transparan.

?Orang merokok, setiap batangnya menyetor ke pemerintah sekian rupiah. Tapi kalau orang itu sakit, mana feedback dari pemerintah??

Pria yang mengaku berhenti merokok karena sayang pada anak dan istri ini berkeyakinan ada yang tidak beres terkait DBH cukai hasil tembakau. Dia menengarai adanya tarik-ulur regulasi antara Pemprov Jatim dengan pemerintah pusat.

?Di satu sisi, UU Otonomi Daerah memberi kewenangan daerah mengatur PAD, di sisi lain, UU dari pusat menghendaki cukai rokok disetor dulu baru kemudian dibagi ke daerah penghasil rokok,? jelasnya.

Dari observasi lapangan, Jai menengarai adanya ironi di Pemprov. DBH cukai rokok bernominal besar, namun Pemprov phobia menggunakannya karena diawasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

?Akhirnya yang ada cuma spanduk-spanduk, baliho, paling banter proyek KTR (Kawasan Tanpa Rokok, red) itu saja. Dana sebesar itu kan mestinya bisa buat pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan lain-lain,? ujarnya.

Hal itu diperparah dengan kenyataan bahwa masyarakat belum terlalu mengerti peta permasalahan DBH. ?Saya sudah survei di Kediri, Lamongan dan Surabaya. Mulai dari buruh, petani tembakau, dan masyarakat umum, nyaris tidak ada yang tahu. Itu yang membuat saya resah,? ucapnya.

Apa bisa poin masalah serumit itu dimunculkan lewat teater? Jai optimis hal itu bisa dilakukan. ?Kenapa tidak? yang penting optimistis dan berproses dulu, baru kita tahu hasilnya,? pungkasnya.

Nama: Sujai (S Jai)
Panggilan: Jai
TTL: Kediri, 3 Februari 1972
Pendidikan: Fakultas Sastra Indonesia Unair

Aktivitas:
-Sutradara Teater
-Lembaga Swadaya Masyarakat CRCS
(Center for Religious and Community Studies)

Karya novel:
Tanah Api

*) Surabaya Post, 28Feb2009

Leave a Reply

Bahasa ยป