FENOMENA NOVEL ISLAMI

Maman S. Mahayana *

Novel Ayat-Ayat Cinta (2004) karya Habiburrahman El Shirazy, secara sosiologis, tak pelak lagi, telah menancapkan dirinya sebagai novel paling laris, paling banyak dibaca, dan luar biasa fenomenal. Dalam perjalanan sastra Indonesia, baru kali inilah sebuah novel meraup angka penjualan yang sangat mencengangkan. Jika novel itu kemudian difilmkan dan berhasil menyedot jumlah penonton yang juga mencengangkan, tentu saja sukses itu, terutama, tidak terlepas dari kehebohan yang diciptakan karya Habiburrahman itu. Dari sana lalu muncullah wacana tentang sastra Islam; sebuah fenomena yang wajar dari sebuah kegandrungan yang tanpa sadar menciptakan kelatahan.

Pertanyaannya, benarkah novel itu sebagai representasi sastra Islam? Ataukah ia sekadar label saja sebagai bentuk rivalitas atas karya-karya sastra yang secara tematik dianggap berseberangan? Lalu, benarkah dalam sastra Indonesia (modern) ada sastra Islam? Apa pula bedanya dengan sastra kitab yang banyak dihasilkan para ulama agung kita tempo dulu? Sejumlah pertanyaan lain niscaya masih dapat kira deretkan lebih panjang lagi, meskipun duduk perkaranya bergeming pada tema sastra Islam.

Tepat Momentum

Kegandrungan yang lalu menciptakan kelatahan—dalam sejarah sastra kita—kerap mengundang munculnya berbagai wacana yang sesungguhnya lebih didasarkan pada asumsi seolah-olah. Novel Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang bercerita tentang sosok tokoh Fahri, secara ideologis mengusung citra pemuda Muslim yang paripurna; sempurna dalam segala hal. Pindas –pintar dan cerdas, ganteng dan berwibawa, baik hati dan care, terutama pada nasib perempuan, berani, gigih dan pejuang nilai-nilai kemanusiaan, rajin dan tak mengenal menyerah, toleran dan penuh rasa hormat pada sesama yang dilandasi aura cinta, berwawasan dan rendah hati, dan seterusnya. Ringkasnya, segala kebaikan dan kesempurnaan seorang manusia melekat pada sosok tokoh itu.

Sebagai sebuah usaha menyelusupkan sebuah ideologi, gambaran tokoh dengan penokohan yang seperti itu tentu saja penting artinya dalam politik pencitraan. Sebuah teknik propaganda yang efektif menyelusupkan dan sekaligus menanamkan nilai-nilai. Dalam sastra, teknik itu sering kali cenderung diterapkan dalam genre prosa –novel atau cerpen—dibandingkan puisi atau drama. Prosa bermain dalam sebuah narasi yang di sana sebuah dunia, seolah-olah terwakili. Prosa seolah-olah paling dekat merepresentasikan sebuah potret kehidupan. Maka novel AAC pun diperlakukan sebagai potret ideal perilaku pemuda Muslim. Dari sanalah lalu muncul pandangan, bahwa AAC sejatinya dapat ditempatkan sebagai novel (sastra) Islam. Ia berhasil menyuguhkan sebuah kisah yang sejalan dengan horison harapan pembacanya yang mengidolakan nilai-nilai Islam. Ia lalu menjadi trend dan menyebar menjelma jadi kehebohan massal.

Selain itu, sesungguhnya, sukses AAC tidak dapat dilepaskan begitu saja dari faktor psikologis pembaca sastra Indonesia. Jangan lupa, ketika novel AAC terbit (2004), gema sastra Indonesia sedang dilanda semangat mengeksploitasi tubuh. Atau, paling tidak, novel-novel yang terbit pada awal tahun 2000-an itu didominasi oleh novelis wanita yang sebagian besar di dalamnya mengandungi adegan jantina (jantan—betina). Sebutlah, misalnya, karya-karya Ana Maryam, Stefani Hid, Dinar Rahayu, Maya Wulan, Riyanti Yusuf, atau Djenar Maesa Ayu. AAC hadir pada saat yang tepat, ketika sebagian pembaca (sastra Indonesia) mulai dihinggapi keemohan, bahkan kejemuan, disuguhi sejumlah novel Indonesia yang di sana-sini menyelusup adegan jantina. Novel-novel sejenis itu dianggap oleh –sebagian— masyarakat pembaca kita tidak sesuai dengan tata susila Indonesia.

Munculnya polemik tentang seks dalam sastra Indonesia yang menghadirkan pro dan kontra, sesungguhnya merupakan bentuk tarik-menarik antara keemohan—kejemuan pada tema seks di satu pihak, dan semangat mengusung sastra yang bebas dari berbagai kerangkeng, termasuk beban ideologi di pihak yang lain. Maka, ketika AAC hadir, ia seolah-olah mewakili ekspresi keemohan—kejemuan itu. Ia laksana “senjata pamungkas” yang memberi jawaban atas tarik-menarik dan rivalitas tadi. Itulah representasi rivalitas dari dua gelombang sastra yang sepertinya tidak dapat didamaikan.

Sebagai bahan analogi, simaklah fenomena yang terjadi pada novel Harry Potter. Ketika komik-komik Jepang dan kisah-kisah petualangan deras melanda pembaca remaja kita, Harry Potter, dalam banyak hal, datang laksana menawarkan segala harapan yang tak dapat dipenuhi semuanya oleh sejumlah komik Jepang dan kisah-kisah petualangan itu. Meskipun kehebohan Harry Potter itu juga tidak terlepas dari peranan media massa, secara intrinsik ia berhasil menyuguhkan segala horison harapan pembaca. Dan itulah yang terjadi pada AAC di tengah kerumunan novel-novel yang mengangkat tema yang dianggap tidak dapat sepenuhnya memenuhi horizon harapan pembaca.

Pertanyaannya: mengapa novel Geni Jora (2004) karya Abidah El Khalieqy –yang juga berada di antara deretan novelis wanita itu—tak pernah disinggung, padahal dilihat dari semangat menempatkan citra ideal sosok Muslimah, Geni Jora tak kalah substansialnya. Lihatlah, bagaimana tokoh utama dalam novel itu harus melawan stigma perempuan dalam tradisi pesantren, kultur Jawa, dan budaya Arab. Tokoh Kejora terpasung di pesantren wanita, merdeka di Maroko, dan berhadapan dengan Zakky Hedouri—Indo-Arab-Eropa, Don Juan sang petualang yang gagah dan kaya, tetapi juga mengagumi sosok Asaav, lelaki dari komunitas Yahudi Ashkenaz. Secara ideologis, Geni Jora seperti hendak menawarkan paradigma baru dalam menempatkan perempuan dalam pandangan Islam.

Dalam konteks itu, jelas bahwa problem rivalitas dari dua gelombang sastra itu justru terjadi pada tataran horison harapan pembaca AAC yang dilatarbelakangi oleh hasrat melakukan perlawanan pada tema-tema yang dianggap berseberangan. Perlawanan yang sekian lama tak terucapkan tiba-tiba seperti memperoleh saluran selepas AAC membawa gelombang kehebohan. Di sinilah lalu muncul kesadaran untuk menciptakan label sebagai penanda identitas. Dengan demikian, label sastra Islam yang coba dilekatkan pada novel AAC sebagai salah satu ikonnya, sebenarnya sekadar klaim untuk menunjukkan panji identitas.

Bahwa novel Geni Jora tak masuk hitungan, tentu saja lantaran ia tak sejalan dengan horison harapan pembaca. Novel itu sama sekali tidak bermaksud memanjakan emosi pembaca, meskipun tokoh Kejora, tampil sebagai perempuan ideal.

Salah Konsep

Dalam beberapa kasus, masyarakat sastra kita, cenderung latah ketika seseorang melemparkan istilah atau konsep tertentu berkenaan dengan isu-isu aktual. Sastra sufi, sastra kontekstual, sastra pedalaman, sastra marjinal, sastra koran, dan beberapa istilah lain, pernah cukup menghebohkan yang kemudian bergulir menjadi polemik. Belakangan, munculnya istilah sastra Islam yang memayungi novel-novel yang senafas dengan AAC –seperti telah disebutkan—sesungguhnya juga tidak lebih dari wujud kelatahan itu. Apakah lantaran novel-novel itu berkisah seputar sosok seorang Muslim yang tampil sempurna sebagai manusia, tanpa sifat buruk secuil pun atau lantaran ia berkisah tentang percintaan ideal model Islam yang kerap memelihara perkara muhrim—bukan muhrim?

Di Indonesia, perbincangan mengenai sastra Islam secara konseptual sering kali tidak punya landasan teoretis yang kokoh, bahkan terkesan tumpang tindih. Sebutlah dua novel karya ulama Buya Hamka: Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Kedua novel ini kerap dihubungkaitkan dengan keulamaannya. Padahal, novel-novel itu berkisah tentang percintaan yang kandas; kasih tak sampai –Zainuddin—Hayati dan Hamid—Zainab, seperti juga yang dikisahkan Azab dan Sengsara dan Sitti Nurbaya. Apakah lantaran Hamid menghebuskan nafasnya di Mekah, lalu novel itu masuk kategori sastra Islam? Rindu-dendam Hamid adalah cinta kepada sesama, jadi tentu saja itu sangat berbeda dengan gambaran cinta yang dilantunkan para penyair sufi, seperti Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Fariduddin Attar, Ibn Arabi, Firdausi, Omar Khayyam atau Mohammad Iqbal. Dalam khazanah sastra (Melayu) lama, tentu saja kita juga tidak dapat mengabaikan beberapa nama penting: Hamzah Fansuri dan Nurrudin Ar-Ranirri—yang berseberangan, atau Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belas-nya?

Pada awal tahun 1960-an, sebelum sastrawan Lekra melakukan serangan pada novel Hamka, Tenggelamnya Kapan van der Wicjk, Djamil Suherman menerbitkan sebuah novel berjudul Perjalanan ke Akherat (1963), sebuah kisah di alam barzah yang menampilkan sosok seorang guru yang lantaran kejujurannya, masuk surga, dan istrinya—karena bunuh diri— terlunta-lunta di akherat. Bukankah kisah itu, khas doktrin Islam? Lalu, mengapa pula novel itu tidak masuk kategori sastra Islam? Sebelum itu, Muhammad Ali, juga mengangkat tema keagamaan dalam novelnya, Di Bawah Naungan Al-Quran (1957). Suasana keagamaan yang digambarkan novel itu terasa begitu kuat, tetapi tokh novel itu tidak juga masuk kategori novel (sastra) Islam.

Sesungguhnya kita masih dapat menyebut sejumlah karya lain yang sarat bermuatan doktrin Islam. Sebutlah misalnya karya Mohammad Diponegoro (Siklus, 1975) atau Ahmad Tohari (Kubah, 1980). Bahkan sejumlah cerpen kedua sastrawan itu, jelas sekali mengangkat kisah-kisah sufi. Belakangan, Motinggo Busye dalam novel pendeknya, Sanu, Infinita-Kembar (1985) juga mengangkat kisah sufistik. Jika hendak lebih jelas lagi, periksa cerpen Danarto yang berjudul “Lempengen-Lempengen Cahaya”. Di sana, Danarto menampilkan tokoh Al-Fatihah sebagai tokoh utamanya. Lalu, apakah karya-karya yang disebutkan tadi termasuk kategori sastra Islam?

Pada tahun 1970-an, Abdul Hadi WM, Danarto, Fudoli Zaini, Ikranegara, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, dan beberapa sastrawan lainnya, pernah pula menggulirkan konsepsi sastra Islam secara lebih luas. Munculnya istilah-istilah sastra sufi, sufistik, sastra tasawuf, sastra profetik, dimungkinkan lantaran terjadinya polemik tentang itu. Pertanyaannya: apakah karya-karya mereka itu termasuk sastra Islam yang sejajar dengan karya penyair sufi itu?

Novel Islam?

Rahasia apakah gerangan yang menyebabkan AAC begitu fenomenal, sehingga secara salah kaprah orang memasukkannya sebagai novel Islam? Secara intrinsik, AAC tampil di luar mainstream. Tokoh Fahri yang sangat Islami, latar Mesir yang meyakinkan, pola percintaan segi empat yang tetap berada dalam koridor muhrim—bukan muhrim merupakan bagian penting yang menjadikannya beda dari novel lain yang terbit sebelumnya. Kekhasan itu didukung pula oleh narasinya yang mengalir lancar, kekayaan ungkapan-ungkapan Arab serta gaya bahasa yang agak hiperbolis. Satu hal yang yang penting dalam novel itu adalah akhir cerita yang bahagia: happy ending!

Dikisahkan, meskipun tokoh Fahri hidup di sebuah flat bersama sejumlah temannya, Rudi, Hamdi, Saiful, pola interaksi yang digambarkannya laksana merepresentasikan kehidupan di lingkungan pesantren. Lihat saja, bagaimana rasa syukur Fahri ketika dinyatakan lulus proposalnya untuk menulis tesis: “Aku merasa seperti dibelai-belai tangan Tuhan.” Dan selepas itu, Fahri mengajak teman-temannya berpesta: makan ayam bakar! Sebuah pesta sederhana, tetapi tokh dapat menyebarkan kebahagiaan. Apa makna fragmen itu?

Bagi masyarakat perkotaan, konsep pesta tentu saja harus dengan musik dan tentu juga harus melibatkan pasangan lawan jenis. Tetapi, bagi para santri, konsep pesta yang seperti itu, berada di luar wilayah pengalamannya. Dalam konteks itulah, AAC berhasil secara meyakinkan menyuguhkan sebuah peristiwa yang bagi masyarakat pesantren begitu dekat dengan kehidupan keseharian mereka. Sebuah familiarisasi bagi kelompok masyarakat tertentu, dan terasa “aneh” bagi kelompok masyarakat lain yang tidak punya pengalaman tentang itu. Maka, sudah dapat diduga, kelompok masyarakat mana saja yang begitu tersihir AAC.

Meskipun dalam banyak hal, AAC menampilkan kehidupan yang sarat dengan suasana Islami, tidaklah berarti novel itu masuk kategori sastra Islam. Bahwa AAC dipandang inspiring, menyuguhkan pesan-pesan moral, bahkan diyakini memberi pencerahan jiwa, tidaklah berarti novel lain pun –yang dianggap profan—tidak menawarkan pesan-pesan moral. Sebutlah misalnya, novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja. Bukankah novel itu pun menyuguhkan pesan moral dan memberi pencerahan –paling tidak bagi sebagian pembacanya—tentang pentingnya keteguhan iman. Bahkan, dilihat dari aspek penokohannya, agaknya kita dapat membandingkannya dengan model penokohan dalam sejumlah novel populer yang cenderung karikaturis. Dalam hal ini, yang dapat kita tangkap dari ketokohan Fahri adalah sosok manusia ideal yang secara fisikal sempurna. Oleh karena itu, ia seperti tidak punya problem psikologis.
***

Begitulah, AAC sebagai representasi novel Islam, sesungguhnya lebih didasarkan pada persoalan sosiologis pembacanya. Tentu saja cara pandang ini tidak berarti novel itu kehilangan ruhnya yang menghembuskan nafas Islam. Kiranya ia lebih tepat disebut novel Islami, novel yang di dalamnya, memancar suasana Islam.
***

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *