Novel Grafis, Komik atau Sastra?

BE Satrio
kompas.com

“Saya duduk dan coba membuat sebuah buku yang akan tampak sebagaimana lazimnya sebuah buku, dan sekaligus ingin mengerjakan komik dengan tema yang sebelumnya tidak pernah dibuat,” ungkap komikus Will Eisner dua tahun silam dalam sebuah wawancara dengan Time. Wawancara itu dilakukan dalam rangkaian peringatan 25 tahun lahirnya novel grafis di Amerika Serikat.

Ketika akhirnya karya itu selesai dan coba ditawarkannya ke beberapa penerbit, Eisner yang khawatir hasil kerjanya itu akan ditolak sebagai sebuah komik, mengatakan bahwa apa yang ia kerjakan itu adalah sebuah “novel grafis”. Penerbit yang didatangi kontan menolaknya lantaran tetap menganggap karya Eisner itu sebuah komik. Sekian waktu mencari, beruntung sebuah penerbit kecil akhirnya bersedia menerbitkannya. Saat diterbitkan, dalam sampul dibubuhkan keterangan “Sebuah Novel Grafis”.

Itulah sekelumit kisah terbakukannya istilah novel grafis. Peristiwa itu terjadi tahun 1978, dan karya Eisner itu berjudul A Contract With God yang dianggap menjadi pionir novel grafis dalam konteks industri komik di Amerika Serikat dalam kurun dua dekade ini.

Istilah novel grafis itu sendiri sebetulnya cukup membingungkan. Istilah “novel” sebelumnya telah memiliki pemahaman sendiri. Demikian pula halnya istilah dan pemahaman masyarakat tentang grafis. Oleh karena itu, istilah novel grafis ini memiliki arti ganda. Bahkan, dalam kesempatan lain, Eisner sendiri akhirnya malah merasa dibatasi dengan istilah itu. Ia lebih memilih istilah “sastra grafis” atau “cerita grafis”.

Lepas dari persoalan istilah, sebenarnya secara fisik sekilas, para pembaca pun tidak melihat adanya perbedaan antara apa yang sudah dikenal dengan komik, dan apa yang diistilahkan dengan novel grafis. Dalam hal kualitas gambar atau kualitas grafis, misalnya, tidaklah terlalu tampak perbedaan yang signifikan dengan komik-komik biasa. Demikian pula dalam teknik penggambarannya maupun gaya atau alirannya. Sama-sama menggunakan panel yang berurut menampilkan adegan demi adegan, dan penggunaan balon teks untuk mengungkapkan dialog di antara para tokohnya.

Sulit dibedakan

Perbedaan mulai terasa ketika alur cerita yang tertuang dalam rupa bahasa kata dalam balon teks atau dalam rupa bahasa visual lewat tarikan garis ekspresi wajah, bahasa tubuh, maupun sekuen gerak-gerak gambar yang berurutan itu mulai dinikmati. Suasana ringan yang biasanya didapat ketika menikmati komik-komik biasa akan sulit didapatkan pada karya novel grafis. Sebaliknya, cara penyampaian yang tidak biasa, baik dalam penyampaian teks maupun dalam penyampaian adegan-adegan visual yang begitu kreatif memakai aneka teknik perspektif, dengan segera akan membawa pembaca pada keunikan gaya bertutur sang pencerita yang punya ciri khasnya masing-masing, sama halnya seperti ketika sedang menikmati sebuah karya sastra. Hingga di sini langsung terasa perbedaan dengan komik atau novel dalam pengertian konvensional. Novel grafis tidak hanya bertumpu pada kekuatan gambar seperti pada komik biasa, juga tidak pada kekuatan teks seperti layaknya karya novel. Kedua aspek visual dan bahasa lalu jadi unsur penting bersama-sama.

Di mata Rahayu Hidayat, seorang pengamat komik, sekilas juga tidak melihat adanya perbedaan tampilan visual yang menyolok antara komik biasa dan novel grafis. Menurutnya, bayangan yang timbul jika mendengar kata komik adalah pada suatu karya grafis yang ringan, ceritanya lucu, ada unsur humor atau ada tokoh superhero yang ditampilkan. Namun begitu menikmati suatu karya novel grafis, langsung terasa bahwa ini adalah suatu karya yang lebih serius.

Tampaknya sebagai suatu kerja serius dari pembuatnya, wajar jika karya-karya novel grafis ini praktis tidak bisa begitu saja menjadi sekadar bacaan ringan bagi pembaca. Karena itu, ciri dan gaya yang bersifat populer sengaja dijauhi oleh para pembuat novel grafis. Salah satunya adalah dalam hal pewarnaan. Tidak seperti pada komik-komik populer, terutama yang bergaya Amerika, dalam novel grafis pemakaian warna yang penuh tampaknya tidak menjadi persoalan.

Novel grafis Rampokan Jawa karya Peter van Dongen yang berhasil meraih perhatian publik pencinta komik di Indonesia baru-baru ini sanggup tampil dramatis dalam jalinan adegannya, hanya dengan teknik pewarnaan dua warna atau sephia. Menurut Peter sendiri, pemakaian warna-warni dalam karyanya malah akan membuat novel grafisnya ini berkesan kekanak-kanakan.

Di sisi lain, bagi Seno Gumira Ajidarma, yang melahirkan novel grafis Jakarta 2039, letak keseriusan sebuah novel grafis adalah adanya semangat pembobotan yang setara dengan sastra. Namun, sebagai suatu karya seni grafis menurutnya novel grafis juga punya prestis tersendiri. Sehingga sebagai karya yang punya bobot sastra dan punya prestis sebagai karya seni, novel grafis berbeda dari komik kebanyakan dalam hal tujuannya, serta ideologi di baliknya.

Sebetulnya jika ditelusuri, sebelum Eisner membuat novel grafisnya yang pertama pada era 1960-an, bentuk-bentuk komik yang mengambil konsep novel grafis ini sudah mulai lahir di Amerika Serikat. Bahkan lebih jauh dari itu, sebagian pengamat komik menganggap Tintin karya Herg yang berasal dari Belgia juga sebuah karya novel grafis. Meskipun Tintin memang dibuat Herg pada awal era 1930-an sebagai comic strip di halaman anak-anak pada surat kabar Le Vingtime Sicle, namun plot cerita yang sarat dengan kaitan konteks sosial politik disertai dengan riset-riset yang mendalam dilakukan Herg, akhirnya membuat Tintin menjadi karya yang juga bisa dinikmati oleh orang dewasa. Bahkan di berbagai negara, termasuk di Indonesia, kini muncul kelompok-kelompok yang serius menjadikan komik Tintin ini sebagai bahan kajian. Tampaknya Herg tidak hanya menjadi inspirasi bagi pembaca dewasanya. Dalam format album, dan dengan kekuatan grafis beraliran naturalis yang sangat kuat pada detail, gaya Herg ini juga menjadi inspirasi dan memengaruhi sejumlah pembuat novel grafis era sekarang.

Ambisi sastrawi

Tema yang ditujukan untuk pembaca dewasa memang juga menjadi salah satu ciri novel grafis yang membedakannya dengan komik biasa. Selain itu, biasanya novel grafis memiliki garis cerita yang panjang dan kompleks, meski definisi-definisi ini bukanlah suatu batasan yang kaku. Hikmat Darmawan, seorang pengamat komik di Indonesia, malah ingin memberi ciri lebih pada novel grafis sebagai karya komik yang memiliki “ambisi sastrawi”. Menurut Hikmat, pengertian ini jadi tolok ukur yang akan mensyaratkan bobot kualitas sastra dari karya yang disebut sebagai novel grafis dan membedakannya dengan komik-komik biasa. Dengan pengertian ini, dari segi format dan aspek sastrawinya, Hikmat beranggapan bahwa sebetulnya komik wayang Mahabarata karya RA Kosasih yang tidak pernah kekurangan penggemar sejak era 1960-an itu merupakan juga salah satu bentuk novel grafis di Indonesia. Hanya saja, alur ceritanya bukan merupakan karya otentik RA Kosasih karena merupakan interpretasi grafis terhadap kisah klasik Mahabarata ke dalam bentuk komik.

Menurut Hikmat, berkat komik Mahabarata ini, sesungguhnya masyarakat Indonesia sudah lebih terbiasa dengan format novel grafis. Sementara di Amerika Serikat sendiri masyarakatnya lebih terbiasa dengan format komik superhero dengan jumlah halaman yang relatif tipis. “Ambisi sastrawi” memang mau tidak mau mendobrak tradisi industri komik biasa yang terbiasa memasung komikusnya dengan jumlah halaman yang dibatasi demi efisiensi biaya pencetakan. Bahkan kini penikmat novel grafis di Amerika Serikat sudah biasa dengan karya-karya yang melampaui jumlah 500 halaman.

Tebalnya novel grafis dibandingkan komik biasa ternyata tidaklah menyiratkan tebalnya dompet di saku para pembuatnya dari penghasilan yang mereka peroleh. Beng Rahardian, yang melahirkan novel grafis Selamat Pagi Urbaz, mengaku, proyek novel grafisnya ini adalah kerja yang sekadar impas. Untung tidak rugi tidak. Bagi Beng, mendapatkan nama dan lebih dikenal karena hasil karyanya itu lebih penting. Alasannya, karena dengan demikian bisa menaikkan posisi tawarnya sebagai seorang komikus. Sehari-hari Beng mengandalkan penghasilannya pada membuat ilustrasi untuk buku dan menulis ulasan mengenai komik.

Hal yang tidak jauh berbeda ternyata dialami oleh Peter van Dongen juga. Komikus keturunan Indonesia yang tinggal di Negeri Belanda ini mengaku, menjadi komikus atau membuat novel grafis memang tidaklah menjanjikan sebagai suatu profesi. Peter sendiri lebih mengandalkan penghasilan dari honornya sebagai ilustrator di sebuah media yang diterima lebih teratur daripada penghasilannya membuat novel grafis. Apalagi jika untuk merampungkan satu judul saja ia membutuhkan waktu empat tahun!

Waktu kerja yang lama dan tidak terpaku oleh penerbitan berkala seperti halnya pada komik-komik populer memang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah novel grafis yang serius. Apalagi Peter dengan karakter menggambarnya sangat dipengaruhi oleh Herg, demikian kuat pada pengungkapan detail gambar, membuat dia harus melakukan riset serius agar menghasilkan detail-detail gambar yang sedapat mungkin sesuai kenyataan dan akurat.

Idealisme melebihi pertimbangan untung rugi dalam berkarya tampaknya memang menjadi motivator pembuat novel grafis ini. Sama halnya seperti di Indonesia, Peter mengungkapkan bahwa di negaranya sendiri karya-karya novel grafis masih belum terlalu mendapatkan tempat. Menurutnya, hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, negara tempat novel grafis tumbuh subur dan berbagai pemberian penghargaan dianugerahkan untuk karya-karya novel grafis terbaik.

Sementara untuk di Indonesia, tampaknya format novel grafis masih merupakan suatu genre baru yang harus lebih memperkenalkan diri pada publik pembaca. Menanggapi secara optimistis, Pandu Ganesa, pimpinan Pustaka Primatama yang menerbitkan Rampokan Jawa itu berpendapat, format novel grafis ini bisa jadi terobosan agar lebih banyak orang muda mengenali kembali karya sastra. Menurutnya, karya-karya sastra yang dianggap momok oleh orang muda ini perlu diterbitkan kembali dalam bentuk novel-novel grafis. Inilah peluang bagi genre yang sesungguhnya tidak lagi baru di antero khazanah perbukuan dunia. Menurut Pandu, yang perlu digugah tidak hanya pembuat dan penerbitnya, namun toko buku dan konsumennya juga perlu dibina.
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *