Choirul Muslim*
http://www.lampungpost.com/
SETIAP membaca buku puisi, terkadang saya menikmatinya sebagai proses mencerna makanan. Ada laku fisik sebagai awal untuk memenuhi kebutuhan dalam diri, “kebutuhan metafisik” kalau boleh menyebutnya. Puisi adalah bongkahan gizi, yang hanya berguna ketika kita mampu mencerna dan menyerapnya ke dalam tubuh menjadi konstituen kesadaran batin pembaca. Jika tidak dicerna, puisi hanya lewat utuh di dalam tubuh, seperti musang memakan buah kopi. Dalam hal ini puisi dianggap bukan gizi, dibuang bersama feses diri.
Saripati puisi sampai ke sel, saripati puisi yang bergizi itulah yang kemudian diolah dan dibentuk kembali menjadi kesadaran puitik yang akan menciptakan suasana ekstasi puisi di dalam diri. Ekstasi ini menjadi kesadaran dan pemaknaan baru ketika saya mencoba mencerna Puan Kecubung, sebuah kumpulan puisi apik yang berhasil menjelmakan kepribadian seorang manusia bernama Jimmy. Ada proses negosiasi sekaligus perlawanan eksistensialisme dalam setiap karyanya, yang meng”Ada” sekaligus menihilkan dunia fana: “Sekali berarti sesudah itu mati” (Terima kasih Chairil Anwar).
Membaca puisi Jimmy adalah membaca kegundahan batin seseorang yang sedang terlempar ke dunia fana, yang terus menjeratnya dengan segala nikmat kehidupan. Kegalauan Jimmy begitu kuat, sehingga ia seolah sebuah roh yang terperangkap dalam jala kehidupan, yang semakin ia meronta maka semakin ia tercekik. Di tengah situasi demikian, Jimmy berusaha menyiasati jala kehidupan yang melingkupinya. Siasat itu terlihat dari adanya keyakinan Jimmy untuk “mengimani” bahwa tidak semua perangkap jala kehidupan itu mencekik, melainkan ada juga yang mengikat kebebasan rohnya, ada yang hanya disinggahi sejenak ada pula yang ia bongkar dan disusun kembali secara kreatif sehingga menjadi makna baru.
Puan Kecubung memberi gambaran yang jelas mengenai episode perjalanan hidup. Jimmy membagi-bagi 49 buah puisinya ke dalam tiga komposisi subjudul (yang mungkin disatukan berdasarkan kesamaan tema) yaitu: Sebelum Berangkat, Bukit Fatima, dan Jalan Pulang. Ketiga subjudul ini seolah menuntun pembaca kepada tiga fase kehidupan dalam proses pencarian eksistensi. Sebuah takdir yang tak bisa kita mengelak; antara alam rahim, duniawi dan surgawi, maka tak ada pilihan selain jalani dan hikmati saja alur kehidupan secara linier itu.
Subjudul Sebelum Berangkat, terdiri dari tujuh puisi yang mengajak kita berkemas-kemas membangun kesadaran, mempersiapkan sebuah perjalanan menuju “Entah” (dengan “E” besar), mungkin ke Bukit Fatima seperti dalil Jimmy.. Saat berkemas-kemas tersebut, Jimmy mempersiapkan bangunan kesadaran dengan pertanyaan fundamental dalam puisi pertama: “sebenarnya apa arti perang menurutmu?”. Perang yang digambarkan dengan perih dan getir karena “tak ada kupu, perempuan menangis karena derap sepatu/ bulan memar karena sepi melebar/dan rama-rama acap liar/lantaran banyak anak terkena sampar”. Perang yang bisa dimaknai sebagai peperangan fisik vis a vis antara satu kubu dengan kubu lainnya di suatu medan Kurusetra, yang terjadi karena niat untuk saling ekspansi atau juga bisa diartikan lebih kontemplatif yaitu peperangan di dalam diri.
Sikap kontradiktif yang selalu tawar-menawar dan tarik-menarik antara kutub satu dengan kutub lain sebelum kita mengambil sikap untuk berdamai dengan nurani sendiri. Meskipun demikian selepas menghadapi pengalaman getir dan sikap tarik menarik tersebut, Jimmy tetap mengambil sikap bahwa janji harus dibuat: “kita harus jumpa, di samping tangga taman gembiraloka” (Surat Buat Sulaiman, hal 13)
walaupun menurut Jimmy: “kelahiran adalah luka rembulan yang menharukan” tapi tak menghalangi niat dan keinginan kuat penulis untuk: “sebelum matahari terendam/ aku bertandang pada tubuhmu yang legam/” (Santa Anna, hal 14);
Pengalaman puitik berikutnya, Jimmy nyadar bahwa hidup itu berujung mati. Maka sebagai aktor di panggung kehidupan dunia, yang kadangkala juga nonton pertunjukan lain, ia telah mengetahui bahwa ending skenario kehidupan adalah mati: “ayolah, kita sudah tahu jalan pulang/ mengapa mesti menunda rencana jadi kenangan?” (Rencana Seorang Aktor, hal 15). Maka sebelum kita semua sampai pada ending itu, Jimmy mengajak kita semua mengisi dan menikmati hidup dengan hal-hal yang jasadi sekaligus ruhaniah: “Maka misalnya natal nanti kita berjumpa/ maukah kau bercerita/ muara senggama? (Sebelum Berangkat, hal 16).
Yang amat mendasar (bagi saya mencekam dan provokatif), Jimmy mempersoalkan kesalahan wanita melalui mitologi Adam-Hawa: “kenapa aku turut dihukum dan diusir pergi?/ tak ada sedikitpun sidik jari dan barang bukti. (Pengantar Ilmu Hukum, hal 17). Dalam memaknai ulang mitologi atau dongeng, Jimmy menempatkan diri pada sebuah sudut penilaian yang berbeda dengan dirinya. Tak tanggung-tanggung, “aku lirik” dalam puisi ini adalah seorang perempuan, Ibu Hawa yang mempertanyakan ulang “tragedi buah kuldi” yang dipetik Bapak Adam. Puisi ini paralel dengan puisi lain dalam subjudul kedua Bukit Fatima, yaitu Kidung Pohon (hal 72), hanya saja Jimmy mengubah sudut pandang, dari aku lirik seorang perempuan, Jimmy menjelma menjadi “Tuhan” yang menurunkan perintah: “Akulah pemilik taman, kau boleh main ayunan, kemah bermalam-malam, memetik bebuahan tapi tidak pohon yang ini!”.
Pada subjudul Bukit Fatima, 35 buah puisi menggambarkan pengalaman hidup Jimmy menjadi kisah hidup yang rigid bercampur dengan imajinasi yang nakal dan majemuk. Getir tapi larut. Bahkan kadang mengolok-olok secara utuh betapa “Maut” digambarkan sebagai sesosok : “berbaju badut yang selalu tertawa gembira” (Pemain Sirkus Nonton Sirkus, hal 34). Hal ini tidak terlepas dari kesadaran puitik, bahwa ia sedang “Mencari Alamat” (Mencari Alamat, hal 29).
Dalam puisi Bukit Fatima 2 (hal 87)” ada benang juga yang terjalin dari puisi Kidung Pohon di mana Aku yang Transenden sedang berbicara kepada “aku lirik” dalam puisi ini. Puisi ini mendialogkan suasana batin ?aku lirik? yang sudah hidup layak sebagai manusia bermartabat. Meskipun demikian, desain kesuksesan duniawiah tetap membukakan pintu menuju kepada hal-hal transenden.
Saya menangkap adanya kerinduan batin penyair untuk berjumpa dengan Aku yang Transenden meskipun dijawab oleh Aku yang Transenden itu bahwa pertemuan harus ditunda sampai hari besar agama (dalam hal ini Sabat yang dirayakan oleh kaum yahudi); “dan di sebuah senja, datanglah ke rumahku/…mengutip surga di bibir jendela/ diintip cahaya dari bukit fatima. Nahasnya, pada saat yang sama “si aku lirik” berani membangun kesadaran perlawanan bahwa ajakan untuk datang ke rumah-Nya itu hanya basa-basi, karena: bagaimana hendak tandang/ bila pintumu sudah terkunci dan dipalang?. Tampak sekali Jimmy merasakan kerinduan transendensial yang tak kesampaian, kecuali curhat dalam puisi.
Pada fase terakhir, Jimmy mewadahi 7 buah puisinya dalam subjudul Jalan Pulang. Sebagai pembaca, tentu banyak sekali makna yang dapat diunduh di sepanjang jalan pulang itu. Ada momen kepasrahan di sana, meskipun pada ruas jalan lain, tetap saja Jimmy melakukan perlawanan. Puisi Meditasi Laut (hal 93) misalnya, Jimmy menemukan bahwa eksistensi hidup ini begitu gamblang, takdir begitu jelas terberi (given) dan tak perlu ditafsir. Jimmy pun ndagel dengan getir bahwa: sehimpun perjalanan hanya mengantarnya pada rumahmu yang lucu (Rumah Ziarah, hal 94). Dan puisi Jalan Pulang (hal 96) menurut saya adalah sebentuk evaluasi diri “aku lirik yang feminin” (Roh yang kerap disimbolkan bergender perempuan) terhadap hidup yang maskulin (sosok lelaki yang sudah lama pergi).
“Si Aku ruh” jengkel dengan kelakuan hidup maskulin yang tak bertanggung jawab melakukan pengembaraan fisik ke punggung gunung sehingga “Si Aku ruh” yang feminin tersebut menjadi sedih menangis dan kerap berbicang sendiri dalam solilokui: “untuk tahu tajam kelokan/ dan berapa lama sampai tujuan/ kenapa melulu aku yang ditinggalkan?”. Tapi Jimmy tak bergeming, ia belum juga mau pulang. Meski sudah ada “Sesosok” yang memanggil nama kecilnya untuk pulang. Jimmy masih asyik masyuk dengan dunia yang fana nan menggoda: “kuharap kau menunggu saja di beranda/ wajahku masih sarat busa dan uap senggama” (Puisi terakhir: Yang Memanggil Nama Kecilku, hal 100). Begitulah Jimmy, meski kematian adalah hal yang niscaya tetapi sebagai umat korban buah khuldi, sedapat mungkin kita jangan buru-buru melewati kehangatan duniawi.
Sungguh, Puan Kecubung merupakan paduan kreatif yang utuh. Tubuh Puan Kecubung melafalkan narasi eksistensi penulisnya. Tiga subjudul yang menjadi komposisi saling kait-mengait, berkelindan sekaligus menihilkan satu sama lain dalam sebuah perjalanan kehidupan. Bagi saya, di setiap puisinya Jimmy secara provokatif dan subversif mempengaruhi kita dengan sodokan pertanyaan dan gugatan.
Ada proses dialektik di sana, meski proses dialektik ini kerap berubah menjadi semacam “khutbah” sebagai pesan pada bait akhir di sebagian besar puisi Jimmy. Ini menjadi kekuatan sekaligus kelemahan karya-karya Jimmy.
Saya sebut kekuatan, karena pesan ini dapat menjadi “manifestasi politik” dan sikap positioning yang jelas, di mana sebenarnya posisi penulis berada dalam menyikapi kehidupan dengan segala realitas sosialnya. Dalam hal ini, Jimmy seperti hendak menularkan sikap penulis kepada pembacanya tanpa mesti berpusing-pusing dengan majas, sintaksis ataupun struktur kebahasaan.
Akan tetapi, di sisi lain juga menjadi kelemahan, karena seperti halnya “khotbah”, sedikit banyak akan mendikte pembaca untuk mengikuti keinginan penulis tentang pesan-pesan yang diamanatkan. Tapi itulah Jimmy. Begitulah puisi. Lazimnya nilai dan kadar gizi yang masuk ke dalam tubuh, akan sangat bergantung pada daya cerap tubuh masing-masing pembaca. Jika alat-alat indera dan jaringan tubuh siap mencerna, maka di dalam diri puisi akan larut menjadi “gizi” yang merawat bentuk fisik sekaligus memperdalam pengembaraan metafisik.
*) Penyair, guru besar Biologi pada FMIPA Universitas Bengkulu.