MASALAH INTELEKTUALISME PENGARANG INDONESIA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Tradisi bersastra dalam kehidupan masyarakat di Nusantara ini, sejak awalnya lahir dan berkembang di lingkungan kaum elite. Dalam kehidupan di lingkungan keraton atau kesultanan, pujangga termasuk golongan priyayi yang hidup dalam sistem pengayoman pihak kerajaan. Dalam hal-hal tertentu, masyarakat tidak jarang memandangnya sebagai utusan raja atau sultan. Oleh karena itu, keberadaan dan profesi mereka tidak hanya ditempatkan secara khusus, tetapi juga diperlakukan dengan memberinya sejumlah hak istimewa (privilege).

Memasuki zaman modern, kelahiran kesusastraan Indonesia modern juga bersumber dari kalangan elite. Ia ditulis dan dibaca oleh kaum terpelajar dan golongan intelektual. Oleh karena itu, wajarlah apabila dikatakan, bahwa sejak kelahirannya sastra Indonesia adalah sastra elitis. Bagi mereka yang sekadar dapat membaca dan menulis, sastra laksana barang ?mewah? yang hanya dapat dibaca dan dipahami golongan tertentu. Mereka kemudian terpaksa meminggirkan diri dan tidak mempunyai kesempatan untuk menikmati karya sastra. Dalam perkembangannya, mereka tidak lagi berminat terhadap sastra dan berbagai hal yang berkaitan dengan itu semata-mata lantaran kondisi sosial-ekonomi memaksanya untuk lebih memusatkan perhatian kepada hal lain yang lebih praktis dan konkret.

Budi Darma dalam sebuah artikelnya di majalah Horison (XXXII/5/1999, hlm. 12), menyatakan: ?Sastrawan Balai Pustaka, Pujangga Baru dan Angkatan 45 ? tidak lain adalah cendekiawan-cendekiawan muda yang benar-benar haus ilmu. Mereka juga sangat menyadari pentingnya sastra. Di dalam diri mereka, ada kesadaran terhadap kebutuhan tradisi pemikiran, kecedekiawanan, dan ilmu. Lepas dari berbagai kesulitan yang harus mereka hadapi pada waktu itu, mereka cukup mempunyai waktu untuk bulat-bulat mengabdikan diri mereka pada sastra dan ilmu.?
***

Memasuki tahun 1950-an, ketika pendidikan terbuka lebar bagi semua lapisan masyarakat, makna golongan terpelajar dan kaum cendekiawan ini sebatas bagi sebagian golongan masyarakat menengah dan golongan atas yang memang mempunyai kesempatan untuk bersekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Golongan masyarakat menengah bawah yang bersekolah sebatas dapat membaca dan menulis, tetap saja tidak dapat memasuki wilayah kepriyayian. Oleh karena itu, sebutan sebagai golongan terpelajar atau kaum cendekia, tetap saja tidak dapat dilekatkan kepada mereka yang hanya sekadar dapat membaca dan menulis. Kondisi tersebut ternyata tidak didukung oleh situasi sosial-ekonomi yang terjadi waktu itu. Perpustakaan-perpustakaan keliling yang pada zaman Belanda dijalankan secara baik oleh para petugasnya dengan mendatangi pelosok-pelosok desa, pada dasawarsa tahun 1950-an itu sudah tak kelihatan lagi.

Keadaannya makin parah dan seolah-olah memperoleh pembenaran manakala harga buku, termasuk buku-buku sastra, relatif mahal. Inilah salah satu kendala bagi golongan masyarakat menengah bawah untuk secara leluasa membaca dan menikmati karya sastra. Mereka harus berhitung dahulu antara kebutuhan dapur yang tidak dapat ditangguhkan dan keinginan membeli buku-buku sastra.

Kondisi tersebut ternyata berdampak cukup besar. Kebutuhan membaca buku sastra dan buku lain secara keseluruhan, ditempatkan sebagai kebutuhan nomor sekian. Pada gilirannya, keadaan tersebut berdampak lebih luas lagi, Terjadi erosi pada tradisi membaca. Penghargaan pada buku dan minat membaca yang pada masa sebelum perang selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan di lingkungan keluarga dan sekolah, lambat-laun ikut pula pudar. Membeli buku menjadi kegiatan yang hanya dilakukan oleh keluarga yang punya penghasilan berlebih, sementara membaca buku pada akhirnya dipandang sebagai kegiatan yang hanya membuang-buang waktu. Kegiatan yang mubazir!

Dalam kondisi yang demikian, sejumlah penerbit mencoba memanfaatkan mahalnya harga buku dengan menerbitkan buku-buku hiburan dan menjualnya dengan harga murah. Dengan format buku yang tidak menarik, sangat sederhana, kualitas kertas dan cetakannya yang rendah, memungkinkan buku seperti itu dapat dijual dengan harga murah. Buku-buku yang seperti itulah yang disebut roman picisan. Satu penyebutan yang menunjuk pada nilai uang terendah, picis dan sekaligus juga bernada melecehkan.

Di berbagai kota besar, roman-roman seperti itu bermunculan bagai air bah. Medan adalah salah satu pusat produksi buku-buku yang seperti itu, di samping Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, meskipun sejak sebelum perang, dua kota yang disebut terakhir itu, juga pernah cukup gencar menerbitkan buku-buku sejenis itu. Para pengarangnya, umumnya cenderung mengandalkan bakat alam. Tidak ada usaha memasukkan segi intelektualitas dalam karya-karya seperti itu. Sesungguhnya, tidak sedikit pula sastrawan pada dekade itu yang juga cenderung mengandalkan bakat alam. Inilah sebabnya, Subagio Sastrowardojo (1971) menulis sebuah artikel berjudul ?Bakat Alam dan Intelektualisme.? Menurutnya, sastrawan yang mengandalkan diri pada bakat alam saja ternyata tenggelam dalam kelupaan karena habisnya daya untuk memberikan kepada dunia intelektualitas pemikiran yang matang tentang dunia dan kehidupan.

Selepas dasawarsa tahun 1950-an itulah, dunia kepengarangan Indonesia mulai pudar pamornya. Beberapa faktor penyebabnya, antara lain, sebagai berikut:

Pertama, citra sastrawan sebagai kelas priyayi, golongan cerdik pandai, dan kaum terpelajar, mulai tersisihkan oleh peran para pejuang kemerdekaan dan politisi yang berhasil menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan.

Kedua, tradisi membaca mulai surut ke belakang lantaran tuntutan praktis yang berkaitan dengan kebutuhan sandang-pangan. Membeli buku menjadi sesuatu yang tidak penting karena itu tidak termasuk kebutuhan pokok. Hilangnya kegiatan perpustakaan keliling, ikut pula memperparah keadaan. Masyarakat tidak diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk menumbuhkan minat baca.

Ketiga, mahalnya harga buku dan membanjirnya buku-buku hiburan murahan, secara langsung telah menggeser kesadaran masyarakat akan pentingnya membaca buku-buku bermutu. Masyarakat lalu mengalihkan perhatiannya kepada buku-buku hiburan murahan.

Keempat, terjadinya pergeseran tersebut, secara signifikan menciptakan pandangan yang keliru mengenai masalah intelektualisme. Karya sastra tidak lagi ditempatkan sebagai karya intelektual, melainkan sebagai karya yang dapat dihasilkan sambil lalu, asalkan mempunyai bakat. Bakat alam menjadi hal yang utama, sementara intelektualisme adalah urusan para ilmuwan, dan bukan hal yang perlu dipikirkan sastrawan atau pangarang.

Kelima, ketika tradisi intelektual dan kebudayaan secara keseluruhan, mulai dianggap tidak penting, dunia perpolitikan nasional, justru makin mendominasi berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan. ?Slogan Poltik adalah Panglima? telah menempatkan kehidupan politik di atas segala-galanya. Tradisi intelektual yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kebenaran yang objektif, dan memberi tempat pada perbedaan pendapat, telah dicampakkan, semata-mata demi kepentingan politik atau cita-cita partai.

Kelima faktor itulah, di antaranya, yang menyebabkan pudarnya pamor pengarang Indonesia sebagai kaum cendekiawan, surutnya minat baca, hancurnya penghargaan pada karya intelektual, dan tersisihnya kebudyaan sebagai bagian penting dalam pembangunan karakter bangsa (nation character building).
***

Kecenderungan yang terjadi akhir dasawarsa tahun 1950-an itu, kini banyak pula kita jumpai pada karya sastrawan dekade 1990-an ini. Bahkan dari sastrawan Angkatan 66 pun, tidak sedikit yang sekadar mengandalkan bakat alam. Akibatnya, banyak di antara sastrawan Angkatan 66 itu yang sudah kehabisan daya dan kreativitasnya. Mereka tidak lagi berkarya dan tinggal menunggu habis masa pensiunannya.

Memasuki abad ke-21 ini, Indonesia akan menjadi salah sebuah desa dunia. Arus globalisasi memutuskan sekat-sekat geografis. Di tingkat Asia Tenggara saja, sudah terjalin hubungan mesra para sastrawan antar-anggota ASEAN, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Mastera (Majlis Sastera Asia Tenggara). Sejak September 1999, misalnya, majalah sastra Horison memasukkan sisipan ?Lembaran Mastera? yang di dalamnya berisi karya-karya sastra dari sastrawan ketiga negara itu. Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama majalah sastra Horison dengan majalah Dewan Sastera (Malaysia) dan Bahana (Brunei Darussalam).

Dalam konteks tersebut, tuntutan intelektualitas bagi sastrawan Indonesia mendatang merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Tanpa usaha untuk mengembangkan intelektualitasnya, niscaya mereka tinggal menunggu saatnya saja terkubur. Sebaliknya, jika masih punya keinginan untuk berkiprah dalam tiga atau empat dasawarsa mendatang, mereka harus terus meluaskan wawasannya. Ia harus menjadi seorang cendekiawan yang mumpuni. Inilah visi yang mesti disadari benar oleh sastrawan kita.

Lalu dengan tingkat intelektualitas yang mumpuni, ia tinggal mengemas misi yang diembannya ke dalam karya sastra yang khas mengungkapkan masalah etnis atau masalah di sekitarnya, tetapi juga berdimensi universal mengingat ia juga hakikatnya mengangkat problem manusia dan kemanusiaan. Berbagai kerusuhan dan ketidakpuasan yang terjadi di pelosok tanah air ini sesungguhnya merupakan lahan subur untuk menjadi sebuah karya yang khas dan universal. Belum lagi yang menyangkut legenda atau tradisi sastra daerah yang tidak terhitung banyaknya. Jadi, bagi sastrawan kita, lahan garapannya masih terbuka seluas-luasnya. Tinggal bagaimana ia terus-menerus meluaskan wawasan, mengasah kepiawaiannya, dan mengolahnya menjadi sebuah karya monumental.

*) Staf Pengajar FSUI, Depok.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *