Andi Sutisno*
http://cetak.kompas.com/
Dalam kehidupan manusia, diakui atau tidak, sastra merupakan bagian yang tak terpisahkan. Bahkan, sastra kadang dianggap sebagai alat bagi manusia untuk mengenali diri beserta kompleksititas hidup yang dialaminya.
Dalam konteks tersebut, Boulton (dalam Aminuddin, 1995: 37) mengemukakan bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai keindahan dan paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan/kontemplasi batin, baik berkaitan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik, maupun berbagai problem yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini. Oleh karena itu, mempersoalkan esensi sastra nyaris sama dengan mempersoalkan esensi kehidupan manusia. Di Indonesia, dengan kekayaan suku bangsa yang juga berimplikasi pada kekayaan bahasa daerah yang dimilikinya, sastra juga bersentuhan dengan konstruksi kekayaan budaya dan bahasa yang ada. Hal ini bisa dilihat dari berkembangnya sastra-sastra berbahasa daerah yang keberadaannya juga tidak bisa dinafikan.
Hal ini mengingat, sastra berbahasa daerah merupakan unsur kebudayaan daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Sastra berbahasa daerah sebagai salah satu bagian kebudayaan daerah berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya yang di dalamnya terekam dan terangkum antara lain pengalaman estetik, religius, atau sosial politik masyarakat etnis yang bersangkutan.
Di Jawa Barat, misalnya, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa bahasa daerah yang ada di Jabar adalah bahasa Sunda, Cirebon, dan Melayu-Betawi, masing-masing bahasa memiliki wilayah masyarakat pengguna bahasa sendiri, tentunya juga dengan “kreativitas” bersastranya.
Sebagai contoh, di wilayah masyarakat Sunda, kita mengenal sastrawan Sunda seperti Ajip Rosidi dan Godi Suwarna. Lain halnya di Cirebon, saat ini kita mengenal budayawan dan sastrawan Cirebon, Ahmad Syubbanuddin Alwy, yang masih “bersemangat” mengembangkan sastra dan budaya Cirebon.
Sastra berbahasa daerah, dalam perkembangannya, tentu saja berjalan bukan tanpa hambatan, rintangan, atau kendala. Dengan keterbatasan ruang dan wilayah perkembangannya itu sendiri, sastra berbahasa daerah berhadapan dengan beberapa hambatan. Tidak menutup kemungkinan, jika tidak bisa diantisipasi, hambatan itu akan menyebabkan sastra berbahasa daerah menjadi punah. Artinya, dibutuhkan terjaganya kontinuitas laju atas penciptaan karya-karya sastra berbahasa daerah. Hal ini hanya dapat dilakukan jika penciptaan karya-karya sastra berbahasa daerah terus dilakukan oleh insan-insan sastra di daerah. Peran media
Selain itu, publikasi akan karya sastra juga memiliki peran penting dalam perkembangan karya sastra berbahasa daerah. Media, khususnya media cetak/koran, merupakan alternatif yang ampuh dalam memfasilitasi perkembangan sastra berbahasa daerah. Hal ini mengingat perkembangan sastra, khususnya sastra berbahasa daerah, minim akan publikasi.
Harus jujur diakui bahwa buku-buku sastra bersastra daerah masih sangat minim. Ini dengan mudah dijumpai pada kasus minimnya buku-buku tentang sastra berbahasa daerah yang terpajang di perpustakaan-perpustakaan sekolah. Kalaupun ada buku-buku yang memuat sastra berbahasa daerah, itu hanya sebatas pada kebutuhan memenuhi tuntutan kurikulum muatan lokal. Lebih dari itu, menemukan buku-buku sastra berbahasa daerah ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.
Padahal, persentuhan siswa dengan sastra berbahasa daerah merupakan modal penting untuk lebih mengakrabkan sastra berbahasa daerah dengan siswa yang notabene sebagai masyarakat pengguna bahasa daerah, bahkan sebagai pelaku generasi penerus. Jika terus dibiarkan, kondisi seperti itu bukan tidak mungkin akan memutus rantai kontinuitas “generasi” sastra berbahasa daerah. Hal inilah yang semakin mengukuhkan bahwa media cetak/koran dengan sastra korannya merupakan ruang yang tepat dan dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan sastra berbahasa daerah.
Media cetak/koran sebagai media massa yang lebih memungkinkan bersentuhan dengan masyarakat niscaya dapat mengambil peran tersebut. Memublikasikan sastra berbahasa daerah di samping sastra berbahasa Indonesia juga merupakan “kewajiban” media cetak/koran sebagai wujud kontribusinya dalam menjaga dan mengembangkan kebudayaan masyarakat.
Peran pemerintah daerah
Selain semangat insan-insan sastra di daerah untuk terus bertahan “memperjuangkan” eksistensi sastra berbahasa daerah dan peran media cetak/koran dalam ikut serta memublikasikan karya-karya sastra berbahasa daerah, pemerintah daerah sebagai pihak yang memiliki otoritas atas semua kebijakan di tingkat daerah, termasuk di dalamnya persoalan kesusastraan daerah, memiliki peran yang tidak kalah penting dalam perkembangan sastra berbahasa daerah. Asumsi ini kiranya tidak terlalu berlebihan sebab sastra berbahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan daerah.
Ada angin segar manakala Pemerintah Provinsi Jabar melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan menggelar lomba penciptaan karya sastra (puisi) dengan kategori puisi-puisi berbahasa daerah yang ada di lingkungan Jabar. Tentu saja ini adalah langkah positif dalam upaya mengembangkan sastra berbahasa daerah. Semoga saja langkah positif ini akan terus bergulir dengan harapan akan semakin banyak insan-insan sastra yang “bergumul” dengan sastra berbahasa daerah. Beranjak dari hal tersebut, kiranya semua pihak dapat memberikan “energi” terbaiknya dalam “memperjuangkan” sastra berbahasa daerah. Dengan demikian, eksistensi sastra berbahasa daerah sebagai penopang kekayaan sastra nusantara akan tetap ada dan nyata.
Selain itu, sastra berbahasa daerah juga dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan perjalanan kesusastraan nasional yang pada akhirnya menjadi modal dalam perkembangan kebudayaan nasional.
*) Alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI, Bandung.