Judul Buku : ‘Paris Lumiere de l’Amour, Catatan Cinta dari Negeri Eiffel’
Pengarang : Rosita Sihombing
Penerbit : PT Lingkar Pena Kreativita, Jakarta
Cetakan : Mei 2009
Tebal : xii + 174 hlm.
Peresensi : Christian Heru Cahyo Saputro*
http://www.lampungpost.com/
SUKSES merilis novel Luka di Champs Elysees, Rosita Sihombing, novelis kelahiran Tanjungkarang, Lampung, 24 Januari 1974, meluncurkan buku Paris Lumiere de l’Amour, Catatan Cinta dari Negeri Eiffel (PLdA).
Dalam buku PLdA ini, Rosita menulis kisah keseharian yang dialaminya. Dengan pengalaman jurnalistiknya, Rosita mengisahkan kehidupan pribadinya sebagai ibu dalam mengarungi biduk rumah tangganya bersama suaminya, pria asal Prancis, Patrick Mon Luis.
PLdA merupakan kumpulan curahan hati (curhat) Rosita. Lewat buku ini Rosita ingin berbagi pengalaman dan informasi tentang seluk-beluk kehidupan di Negeri Napoleon ini. Kisah-kisah yang ditulisnya memang sangat sederhana, bahkan mungkin terlihat remeh-temeh. Namun justru itu menjadi menarik. Rosita dengan gamblang memaparkan pengalamannya dari berbagai macam aspek, seperti; ekonomi, budaya, politik, agama, dan kehidupan sosial megapolitan Paris hingga resep masakan.
Buku ini terbagi dalam lima bab. Pada Bab I, bertajuk Voila Paris, Ini Paris, mengisahkan seluk-beluk Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Rosita menulis betapa pentingnya peran KBRI. Bukan hanya persoalan birokrasi, melainkan juga persoalan sosial, makanan hingga rasa nasionalisme. Bukti kongkretnya, Rosita meskipun sudah tinggal sejak tahun 2003 di Paris tetap keukeh mempertahankan kewarganegaraan RI-nya.
Dalam bab ini juga disoal suka-duka menggunakan transportasi umum, persalinan, tunawisma, persaingan dalam menyewa apartemen, mencari sekolah taman kanak-kanak hingga ruwetnya mengurus paspor WNI untuk anak semata wayang-nya Ilhan Barru Yusuf Pierson Monluis.
Bab II, Bon Appetit! Selamat Makan mengisahkan pengalamannya tentang dunia kuliner. Rosita membuka bab ini dengan menyodorkan resep gado-gado, ini mungkin persoalan remeh temeh. Tetapi bayangkan kalau kita berada jauh dari Indonesia bisa menikmati sajian makanan kesukaan kita. Hal yang remeh temeh bisa jadi sesuatu yang spesial bukan?
Lain ladang lain belalang, begitu bunyi ujaran. Lain negara beda cara menyantap kejunya. Selain gado-gado, Rosita juga menyodorkan resep pisang keju. Sebagai penggila durian, Rosita tak lupa menulis kisahnya berburu durian bersama suaminya di Paris.
Termasuk ngerumpi tentang durian bersama teman-temannya di-blog. Dalam buku ini Rosita juga mencatat pengalamannya setelah lima tahun hidup di Prancis dan merekomendasikan sekitar lima restoran China yang menyajikan masakan halal di China Town.
Pada Bab III, Rosita mencatat peristiwa-peristiwa tak terlupakan yang dialami Rosita dan keluarganya, antara lain menyaksikan peringatan hari Kemerdekaan Prancis yang meriah dan tertib. Menonton opera di Gedung Opera Garnier pas hari ulang tahun pernikahan. Menanti musim salju, sebuah peristiwa kecil ketika Rosita mengenalkan anaknya Ilhan tentang musim. Kemudian peristiwa merayakan momen pergantian tahun di menara Eiffel dan Champs Elysees.
Rosita juga mengisahkan berbagai pengalamannya bersama keluarga ketika mudik ke Indonesia. Ini menjadi menarik, karena ada perbedaan budaya. Kemudian kisah demam Piala Dunia di Paris juga jadi menambah kisah dalam bukunya. Dan yang juga tak terlepas dari amatannya adalah turis-turis yang mengalir membanjiri kota yang punya ikon menara Eiffel ini.
Pada Bab IV, Rosita merekam peristiwa keseharaian dari persoalan mahalnya harga kunci, pipa air yang bocor hingga proses lahirnya novel pertamanya Luka di Champs Elysees. Menulis sebuah novel memang tidak terpikir oleh Rosita.
Keinginannya untuk menulis novel tiba-tiba muncul begitu saja. Apalagi setelah melihat bloger lainnya, yang tadinya tidak menulis apa-apa, kini sudah menghasilkan banyak buku. Maka tumbuh kecemburuan Ita. Rasa cemburu itulah yang melecut semangat Ita untuk menulis novel.
Lewat novelnya Rosita melakukan gugatan akan peran perempuan. Lewat novelnya Luka di Champs Elysees, yang dirilis musim gugur 2008, Rosita menunjukkan perjuangan kaum feminis.
Bab terakhir, Saat Muslim Bukan Mayoritas, berisi kisah-kisah perjalanan religiositas Rosita dan keluarganya. Bagaimana sebagai keluarga muslim untuk tetap hidup di belantara budaya dan berdampingan dengan kepercayaan lain. Perjuangannya menyemangati suaminya untuk tetap salat, beribdah puasa, merayakan Iduladha, menghindari alkohol, dan makanan yang tidak halal, belajar mengaji.
Bagaimana Rosita sebagai ibu rumah tangga tetap menuntun keluarganya untuk hidup dalam akidah Islam yang dianutnya. Dalam bab terakhir ini Rosita banyak memberi teladan. Rosita menunjukkan prinsipnya, hidup penaka ikan meski hidup di lautan tetapi tidak ikut asin. Kisah-kisah dalam buku Catatan Cinta dari Negeri Eiffel ini, setidaknya mengajari kita untuk berbagi dan hidup berdampingan dalam dunia yang mengglobal dan multikultur ini. Bertahan untuk hidup di mana pun, bermodalkan cinta. Dari Paris dengan Cinta, Rosita ingin berbagi pengalaman dengan pembaca.
*) Inisiator Rumah Pengetahuan dan Taman Bacaan Ganesha, Bandar Lampung.