Mendobrak Kebuntuan Sastra

Risang Anom Pujayanto
http://www.surabayapost.co.id/

Mereka yang sedang tumbuh, muncul dari kampus dan komunitas-komunitas sastra. Gerakan mereka memang tidak seagresif para penggiat sastra Jawa Timur era tahun 1980-1990-an yang getol ?melancarkan serangan? ke daerah-daerah di Jawa Timur dan luar Jawa Timur.

Komunikasi antar penyair antar kota dan provinsipun tergolong cukup intensif dilakukan oleh penggiat sastra 1990-an. Bahkan isu revitalisasi sastra pun lahir akibat dari komunikasi intensif antar penyair dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan isu itu sempat menggetarkan wacana sastra di Indonesia.

Kini generasi baru lahir kembali. Mereka hidup dengan caranya sendiri. Komunitas adalah ruang eksplorasi dan ekspresi sastrawan muda yang muncul akhir-akhir ini. Biro sastra Dewan Kesenian Surabaya (DKS), merespon kondisi ini dengan membuat ruang apresiasi yang diberi tajuk Halte Sastra.

Sekretaris DKS Hanif Nasrullah mengharapkan adanya sebuah wadah sebagai ?halte? bagi para sastrawan muda untuk menuju ke dunia kreatif yang lebih luas. Hal ini untuk mengetahui sejauh mana proses kreatif yang dialami oleh sastrawan muda tersebut, sehingga nantinya diharapkan muncul semakin banyak sastrawan-sastrawan muda.

Dalam acara yang rencananya akan digelar setiap bulan ini, dua orang penyair muda didapuk sebagai pembicara, Umar Fauzi dari Komunitas Rabo Sore (Unesa) dan Arif Junianto dari Cak Die Rezim (Unair).

Memang, kenyataannya, penyair dan sastrawan banyak lahir dari dua perguruan tinggi tersebut. Sebut saja nama-nama seperti W Haryanto, S.Yoga, Sony Karsono, Imam Muhtarom, Bramantio, Indra Tjahyadi, Mashuri, F.Aziz Manna, Deni Tri Aryanti, dan Dhenny Jatmiko yang lahir dari rahim Unair. Selain itu, sebut nama Suripan Sadi Hutomo, Harmono Kasiun, Wawan Setiawan, Shoim Anwar, Tengsoe Tjahjono, Tjahjono Widarmanto, Sariban, R Giryadi, A.Muttaqien, yang lahir dari Unesa.

Belum lagi kini nama-nama penyair dan satrawan muda juga sudah mulai bermunculan, seperti Dodi Kristianto, Didik Wahyudi, Bayu Prasetyo, Salamet Wahedi, dan Umar Fauzi dari Unesa, ditambah beberapa nama dari Unair seperti, Eko Darmoko, Dian Nita, Finsa Syaputra, Wildansyah, Risang Anom, KY Karnanta, A Junianto, dan Rangga Agnibaya.

Oleh karena itulah, kemudian akan sangat sayang sekali jika melimpahnya potensi tersebut tidak membuat kondisi iklim kreatif di Surabaya menjadi kondusif. Saiful Hajar, seorang penyair senior Surabaya, yang juga menjadi moderator mengatakan bahwa, memang dengan amunisi-amunisi seperti itu, sudah selayaknya Surabaya dan Jawa Timur tampil untuk menghadapi dominasi Jakarta.

Umar Fauzi menyampaikan bahwa ilhamlah yang menjadikan dirinya untuk bisa terus berkarya. Pertemuan dengan sastra merupakan hal yang tidak terduga. Tepatnya, pada 14 Februari 2002. Ketika itu, gurunya di MAN Sampang berhasil memberikan materi pelajaran dengan baik tentang kepenyairan Chairil Anwar. ?Entah kenapa setelah Ibu guru keluar kelas, saya menulis puisi,? kenang penyair muda kelahiran Sampang, 2 Juli 1986 itu.

Sementara itu, Arif Junianto yang kerap memakai nama A Junianto dalam sajak-sajaknya, mengaku pernah membenci puisi. Menurutnya, puisi identik dengan kecengengan dan kepesimisan.. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, penyair kelahiran 4 Juni 1984 tersebut justru memandang puisi sebagai bagian kehidupan yang hakiki.

Dalam pencarian bentuk terbaik penulisan, pria yang sehari-harinya berprofesi sebagai wartawan ini mengatakan telah mencoba banyak model penulisan. Sekarang, tulisannya terdampar pada kata-kata yang biasa dan terasa ?dekat? dengan lingkungan.

?Dalam puisi, perpaduan kata biasa dapat juga menghasilkan akrobatik makna,? ucap Arif.

Beberapa tanggapan seputar materi Proses Kreatif kedua penyair muda ini pun datang silih berganti. Seperti tanggapan dari Heru Susanto, yang mempertanyakan aspek keindahan dan keliaran pada kedua penyair, serta dari Anshor Sja?roni, seorang guru yang juga merupakan mantan aktifis teater Puska Unair yang memberikan masukan bahwa sebagai seorang penyair, harusnya bahasa sudah tidak lagi menjadi kendala.

?Saya melihat penyair-penyair muda sekarang cenderung selalu sibuk menata bahasa dari pada menyampaikan esensi dari sajak itu sendiri,? ujarnya

Sabrot D.Malioboro selaku Ketua DKS mengatakan, sastrawan muda Surabaya harusnya memiliki daya dobrak dan daya kritis.?Avant garde!? seru penyair 80-an ini.

Akan tetapi, sayangnya hal ini belum terlihat dalam sastrawan Surabaya. Padahal, DKS telah memfasilitasi mereka. Setidaknya Halte Sastra bisa dibilang merupakan langkah awal dari kebangkitan angkatan muda sastrawan Surabaya.

Akan tetapi, seharusnya, penyampaian proses kreatif bukan menjadi titik fokus. Hal itu disebabkan selain proses kreatif tersebut bersifat subjektif, juga karena yang menyampaikan adalah seorang sastrawan muda yang notabene masih belum ?popular?.

Seharusnya, Halte Sastra lebih banyak membincangkan mengenai permasalahan-permasalahan yang muncul sepanjang perkembangan kesusasteraan di Surabaya, seperti misalnya permasalahan komunitas.

Menurut Arif Junianto, komunitas seharusnya menjadi titik penting dalam pembentukan iklim kreatif. Akan tetapi, kenyataannya, komunitas yang ada seolah hanya bergerak sendiri. ?Jika komunitas-komunitas ini bisa jalan bersama, mungkin hasilnya akan bisa lebih maksimal,? ujarnya.

Memang permasalahan yang muncul adalah iklim persaingan antara komunitas tersebut. Mengenai ini Arif berpendapat bahwa persaingan yang muncul kemudian bukan hanya persaingan kreatifitas yang bersifat membangun, namun juga persaingan yang pada akhirnya menimbulkan semacam konflik-konflik yang parahnya, hanya menimbulkan jarak yang semakin jauh antara komunitas-komunitas tersebut.

Lalu, apakah Halte Sastra bulan depan bisa lebih optimal dengan tidak hanya membahas permasalahan subjektifitas saja, melainkan lebih pada pembahasan mengenai berbagai permasalahan yang menyebebkan tidak kondusifnya iklim kreatif di Surabaya.

Leave a Reply

Bahasa ยป