Putu Wijaya

Budayawan yang mantan wartawan ini bercerita tentang dunia teater dan kesenian lainnya yang kian tergusur kapitalisme.

Pewawancara: Adiyanto, Kristian Ginting
koran-jakarta.com

Kematian WS Rendra, menurut Putu Wijaya, jangan sampai mematikan perkembangan dunia teater di Indonesia. Kendati demikian, pimpinan Teater Mandiri ini juga berharap tidak muncul “Rendra-Rendra” baru. “Biarlah dia pergi dengan kebesarannya. Dia tidak akan pernah tergantikan.” Yang perlu dilakukan, katanya, adalah mempelajari karya-karya almarhum, tanpa perlu harus menjadi dirinya.

Sebagai pekerja seni, Putu juga melontarkan keprihatinannya soal sikap seniman yang terkotak-kotak, juga gap antargenerasi. Selain itu, ia juga menyoroti gempuran kapitalisme yang semakin meminggirkan idealisme seniman. Dalam dua kali kesempatan, di Bengkel Teater Rendra di Citayam, Depok dan di rumahnya yang asri di bilangan Ciputat Tangerang, Jumat dan Sabtu pekan kemarin, seniman asal Bali ini menuturkan keprihatinannya kepada wartawan Koran Jakarta, Adiyanto dan Kristian Ginting. Berikut petikannya:

Bagaimana Rendra di mata Anda? Dia kawan sekaligus guru. Dia tidak tergantikan. Karya dan jasanya adalah monumen yang tak hanya dihormati di dalam, tapi juga di luar negeri.

Dengan wafatnya almarhum, apa yang harus dilakukan kalangan pegiat teater, khususnya Bengkel Teater milik Rendra?

Ya, harus melanjutkan apa yang diwariskannya. Kita lihat Bertold Brech (sastrawan, dramawan Jerman), meski dia meninggal aliran/pemikirannya di dunia teater kan dilanjutkan oleh pengikutnya. Begitu juga seharusnya dengan Rendra. Siapa yang paling tahu dan mengenal karakter almarhum, ya anak-anak di Bengkel Teater.

Apa kesan mendalam dari almarhum?

Rendra itu pernah bilang, kebetulan saya juga pernah belajar teater dari dia, bahwa “murid yang baik adalah yang berani menaiki kepala gurunya.” Bukan kurang ajar, tapi dia coba menjadi sparring partner bagi muridnya untuk berlatih. Dia tidak menganggap dirinya besar. Tetap rendah hati.

Sekarang tentang Anda pribadi, kegiatan apa yang sedang Anda lakukan bersama Teater Mandiri?

Tahun lalu kami sempat mainkan Zero di Gedung Kesenian Jakarta, sebelum kami pergi ke Praha. Saya juga sempat ngajar di Singapura, Teater Mandiri menyusul ke sana lalu kami main di sana. Saya juga sempat membaca monolog ke Suriname. Untuk tahun ini, rencananya tadinya mau main di TIM Agustus ini, tapi karena pemilu sehingga kita memutuskan menunggu sehabis hajatan itu selesai. Lalu, kita akan memutuskan apa bisa kita lalukan nanti. Tadinya ada rencana saya akan menyutradarai sebuah pementasan di New York (NYU) Desember, tapi ada pergantian pengurus teater itu disana sehingga tidak jadi. Kemudian, tur ke China yang harusnya tahun lalu, akan dilaksanakan Desember nanti. Saya tidak tahu apakah itu berhasil atau tidak nanti. Kalau tidak, saya akan mementaskan Mandiri nanti.

Soal apa yang ingin Anda angkat?

Saya masih memikirkan apakah ini masalah teror atau tadinya masalah kepemimpinan. Sebelum pemilu itu kan masalah menarik. Bahkan saya sudah membuat sebuah naskah untuk itu, dan sudah dimuat juga di Horizon. Tapi, sesudah pemilu kok rasanya orang tidak akan memperhatikan lagi soal itu. Mungkin hangat sebelumnya, tapi sesudah itu tidak menarik lagi. Kalau orang yang menerima apa adanya mungkin bisa menikmatinya. Kita ini kan silih berganti, ada teror, Michael Jakcson, Mbah Surip, Rendra, bahkan itu juga sudah hilang. Sekarang kembali lagi soal Noordin M Top. Cepat sekali, sehingga masih memikirkan apa kira-kira yang menarik.

Apakah untuk menggelar pertunjukan teater harus ada aktualitasnya?

Aku ini kan pernah bekerja di majalah ya, sehingga kalau kita hanya nyelonong tidak ada apa-apa, kaya berjalan sendiri saja. Sebenarnya bagus juga. Tapi, kalau ada aktualitas-nya kan menjadi lebih menarik. Karena kita memerlukan penonton juga. Salah satu cara untuk mendatangkan penonton adalah kalau mereka menaruh minat pada subjek yang kita buat. Meskipun itu bukan jaminan juga, karena kalau kita sudah memegang penonton apapun yang kita buat mereka pasti datang. Namun, penonton Jakarta kan bermasalah karena mereka memiliki banyak pilihan. Jadi, sebelum mereka benar-benar kita pikat ada sesuatu barangkali yang kurang mereka perhatikan tapi memikat, mereka pasti ke datang. Untuk teater yang sudah punya lingkaran penonton yang bagus, tidak ada masalah. Kalau saya, pertunjukkan saya tidak terlalu menghibur.

Jadi, Anda merasa Teater Mandiri belum punya penonton fanatik?

Ada, tapi tidak terlalu cukup untuk mendukung kita. Di samping itu penonton-penonton saya miskin-miskin. Untuk membelanjakan uangnya, mereka berpikir dulu apa yang lebih prioritas. Itu kesulitannya. Apalagi kalau kita konsentrasikan lebih ke pementasan, kita jadi tidak punya tenaga untuk menjamah penonton. Kalau di luar negeri kan gampang, kita siapkan pementasan yang bagus saja, peduli amat soal penonton. Karena ada penyelenggaranya. Kalau disini kan berbeda, penyelenggara hanya menyediakan tempat, selebihnya kita yang persiapkan. Mulai publikasi hingga mendistribusikan karcis.

Di tengah gempuran industri hiburan, masih ada tidak apresiasi terhadap teater?

Ada perbedaan Jakarta dengan kota-kota lain. Tapi, itu ukurannya teater saya ya. Kalau teater lain mungkin punya problem lain. Dari segi produk saya yang tidak selamanya menghibur, barangkali tiga perempat adalah berekspresi, seperempatnya menghibur. Kalau untuk Jakarta, saya pernah punya kemampuan untuk menjaring penonton mula-mula tiga hari, lima hari, tujuh hari, sepuluh hari dan penontonnya datang terus. Minimal tiga perempat bisa, selama sepuluh hari itu. Di teater tertutup dulu. Kalau di teater graha saya gak mampu minimal tiga hari itu penonton saya. Ketika saya pernah tinggalkan selama tiga tahun pergi tidak ada pementasan, balik lagi itu penonton hilang. Mulai lagi itu, ketika mulai lagi yang pertama agak sulit. Yang kedua sudah lumayan lagi. Tapi pergi lagi, penontonnya hilang lagi. Sejak itu, saya hanya mendapatkan penonton per isu saja. Tetapi di luar kota Jakarta, berbeda. Mereka tidak peduli begituan. Kalau teater yang datang dari Jakarta apalagi yang mereka kenal akan diapresiasi sangat bagus sekali. Di Jakarta, saya memunyai kesulitan karena seperti tadi dikatakan karena belum punya lingkaran penonton yang fanatik.

Atau barangkali karena karakteristik masyarakatnya. Apalagi teater Anda ini kan hiburannya kan sedikit sekali, sementara yang lain banyak?

Ya itu betul. Makanya saya bilang kalau Jakarta ini ada perkembangan.Tahun-tahun 70-an dan 80-an itu penonton terfokus ke TIM. Saingannya paling GKJ. Ke belakang saingannya semakin banyak, ada bioskop yang bagus, kafe yang bagus, mal yang bagus. Semakin banyak, jadi kalau orang memilih mau ke mana terlalu banyak pilihan. Sehingga kalau tidak spesial betul, mereka tidak akan pergi ke teater.

Dengan kondisi demikian, ada nggak dilema sisi idealisme Anda sebagai pegiat teater dengan animo masyarakat yang makin minim?

Dari segi idealnya, menurut saya, umumnya teater tidak bisa dijadikan profesi. Tidak bisa dijadikan andalan kalau kita membuat produksi teater harus ditambah satu kesibukan lain untuk mendukung dana ini. Jadi, kalau kita membuat produksi hanya melalui penjualan karcis saja, akan sangat sulit sekali. Tidak hanya terjadi di sini. Saya pernah ke Amerika di sana begitu juga.Meski terlihat besar, mereka ditopang sponsor, nggak berdiri sendiri.

Bagaimana antisipasinya?

Cara saya adalah menekan bujet ongkos produksi. Kalau bisa tanpa ada ongkos produksi. Misalnya biaya kostum dan lain sebagainya itu ditekan sedemikian rupa. Untuk kostum saya memang hampir tidak pernah mengeluarkan biaya. Itu sebabnya dulu kami sering menggunakan spanduk bekas sebagai kostum. Dulu gampang sekali untuk mendapatkan spanduk, kalau sekarang harus beli juga (hahaha..tertawa). Saya memiliki keyakinan teater ini justru harus bertahan pada saat kepepet itu. Kalau kita berhenti di sini tidak akan ada kehidupan teater.

Kelihatannya Anda tidak punya kemampuan menggaet sponsor?

Ada, tapi tidak intensif. Artinya kemampuan menembus mungkin kurang. Apalagi orang yang kita tembus itu selalu melihat kepada penontonnya. Sebelum mereka memberikan dana, biasanya tanya berapa orang penontonnya? Selalu diukur seperti itu. Misalnya perusahaan rokok, beda kalau mereka ngasih buat musik. Kalau musik kan dikasihnya banyak. Ya kalau ke kita, ya cuma basa-basi saja. Tapi, masih lumayan itu. Musti dibina terus (hahaha..tertawa). Dan kita juga sebenarnya tidak membutuhkan sebanyak itu. Asal kemudian saya bsia memberikan ongkos kepada pemain. Lalu memberikan honor kepada mereka sudah cukup. Karena saya tahu ini tidak menghasilkan uang. Kalau mau menghasilkan uang saya cari di tempat lain.

Mungkin ini ada hubungannya dengan politik ekonomi yang cenderung mengarah ke kapitalistik? Seni kan lama-lama bisa tergusur?

Ya, itu betul juga. Dulu masyarakat menonton sesuatu yang berharga. Tapi makin ke belakang, apresiasi penonton semakin kacau. Entah dirusak oleh sinteron, bacaan-bacaan. Lalu anak muda itu maunya hanya ketawa saja. Kalau lucu, ketawa, protes-protes, kita sebel dengernya. Kita sudah baca di koran, protesnya itu cetek banget, tetapi mereka suka itu. ketawa…

Tapi mungkin itu sengaja dipupuk oleh si pemilik modal itu?

Bisa juga. Bisa seperti itu. Perubahan itu bisa membuat kita kebingungan. Dulu kita membuat pertunjukan yang serius dan pertunjukannya ada. Kita sekarang bikin pertunjukan yang bagus tapi penontonya maunya ketawa, hiburan. Sialan. Kalau kita mau mengikuti itu, pertama kita tidak bisa melawak, tidak mampu menghibur. Yang kedua juga, apa enaknya bikin begituan. Nggak sampai hati kita bikin begituan.

Ketika di tahun 70 dulu, penggemar musik, teater di Amerika maupun di sini semangatnya kan semangat perlawanan juga. Sekarang di bawah tekanan orang-orang (kapitalis) ini, mengapa sama sekali justru tidak ada perlawanan? Harusnya kan lebih besar perlawanannya?

Karena banyak seniman juga yang diuntungkan (hahaha..). Kita ini melawan, tapi juga tidak melawan. Saya masih ingat ketika kita melawan kepada impor film, kita marah ada monopoli. Ingat tidak itu? Ketika berhadapan dengan luar kelihatannya banyak sekali importir yang muncul, tapi ternyata hanya satu saja. Kita menggempur itu. Tetapi tiba-tiba teman-teman kita yang begitu galaknya dapat kesempatan untuk impor, langsung hilang perlawanannya. “ya udahlah, gue sudah selamat. Gue bikin film saja lagi. Yang lain nggak peduli.”

Kita kehilangan kebersamaan itu. Lupa memikirkan kepentingan bersama. Tiba-tiba selalu kembali ke kepentingan sendiri. Dan kalau sudah enak sendiri, nggak peduli yang lain. Sehingga tadinya ingin berjuang, ingin berontak, kalau dikasih duit sudah lupa. Ini mental kita memang.

Sampai kapan itu?

Sampai kita mengenyam neraka kali. Baru kapok.

Dulu jaman generasi Anda antara seniman teater, musik, film apapun itu kan sering duduk bersama. Kalau sekarang kok seperti terkotak-kotak? Yang pemusik main sendiri. Semuanya main sendiri-sendiri?

Saya kira kembali kepada yang tadi itu. Karena kepentingan-keprntingan pribadi itu lebih menonjol. Kalau tadi kan kebutuhan pribadi sebagai seorang manusia. Kebutuhan pribadi sebagai satu sektor kesenian, orang merasa dirinya hanya musik saja. Orang merasa dirinya hanya teater saja, orang merasa dirinya hanya seni rupa saja tidak terkait dengan yang lain. Kalau dulu kan kita duduk bersama. Kebersamaan. Dulu kalau kita berbicara kesenian itu kesenian pada umumnya melibatkan semua orang. Kalau kita bilang apresiasi, maka apresiasi itu kemudian akan didistribusikan ke seluruh sektor. Tapi sekarang orang semakin menyadari kelompok-kelompoknya itu. Identifikasi sudah muali berlebih-lebihan. Hanya memikirkan kepentingan diri saja. Saya kira kalau ke depan saya melihat adanya krisis kebangsaaan. Tidak pernah lagi memikirkan kebersamaan, memikirkan sektor-sektor sendiri sehingga dalam kesenian pun terpecah-pecah.

Iya, sekarang sudah tidak ada lagi kolaborasi seni musik dengan teater. Justru semakin terkotak-kotak?

Bukan hanya itu. Dalam musik, teater, film, gap antargenerasi juga semakin keras sekarang. Antara lain saat insan-insan film itu mengembalikan Piala Citra. Pada dasarnya memang ada alasannya memang. Tapi yang saya lihat adalah gap antara tua dan muda dibesar-besarkan. Padahal kalau kita lihat generasi muda sendiri banyak sekali yang terbelah-belah. Mereka tidak satu. Padahal kan tidak perlu seperti itu. Anak muda yang berpikiran kolot banyak sekali. Orang-orang tua yang berpikiran modern itu juga banyak. Jadi harus melupakan itu.

Apa yang harus dilakukan?

Memang kita mesti upayakan untuk kembali dan tidak terbelah-belah. Tapi memang sulit karena di industri itu sudah masuk liberalisme, dan kita hanya jadi item-item-nya saja. Barang jualannya saja. Kita sudah didikte oleh pasar. Selera kita pun sudah didikte dan lama kelamaan cara bekerja kita pun didikte juga. Memang ada ancaman itu. Kita mulai kehilangan identitas. Bukan hanya itu saja, dalam penerbitan pun begitu kan? Penerbitan itu tiba-tiba waaaah… dan industri berkata “daripada kau membuat majalah sendiri lebih baik kan kau membeli franchise saja.” Majalah Times misalnya ada di Indonesia, terus ada wartawan yang merasa dirinya wah.. hebat bisa masuk mana saja karena bawa nama besar. Tapi kan duitnya ke sana (amerika). Kita cuma jadi kuli. Uangnya lari-larinya ke sana. Itu yang sedang terjadi, kita masuk ke dalam satu kerangkeng bahwa kita sebetulnya sedang dijajah.

Tapi harus ada perlawanan dan penyadaran kan?

Ya, memang harus ada penyadaran. Musti punya perlawanan. Nafas panjang. Kalau melawan dengan nafas orang lari seratus meter itu kan ngos-ngosan. Jadi pakai taktik-lah. Saya memformulasikannya dengan prinsip kalah itu bukan kalah. Kalah itu mengalah, menang yang tertunda. Kemudian kalau kompromi itu bukan banci. Kompromi adalah jalan ke arah kemenangan yang tertunda sedikit. Memang kita tidak menang sekarang, tapi melangkah sedikit sedikit.Ya, disikapi pura-pura, diterima dulu. Saya dimakan dulu oleh industri ya okelah. Tapi pelan-pelan saya kemudian tetap hidup dan masukan virus sedikit demi sedikit dan akhirnya kita bisa mengendalikan.

Nah, Anda juga seorang pecinta lukisan. Bagaimana Anda melihat ada lukisan koq bisa dihargai miliaran?

Ya antara pelukis dan kurator itu kan orientasinya bisnis sekali. Kongkalikong, lukisan digoreng nggak karuan, padahal jelek sekali. Padahal Danarto menawarkan lukisannya kemana-mana lima juta saja, tidak ada yang mau. Sedangkan Joko Pekik waaahh… padahal sebenarnya Joko Pekik dan Danarto itu jauh sekali bedanya. Ternyata karena digoreng oleh industri itu.

Unsur tradisi Anda dari Bali, apakah itu terbawa juga dalam tulisan atau teater?

Sangat terbawa. Begitu saja lahir roh dari tradisi jiwa saya begitu. Belakangan ketika saya pulang dari Amerika, saya sadari. Oleh karena itulah saya teruskan. Di dalam sastra juga iya. Dalam sastra kalau Anda baca kisah wayang, dongeng segala macam, orang tidak menceritakan peristiwa runtun kejadian, tapi orang, simbol- simbol. Kalau dengar dongeng-dongeng orang kepala lepas, tangan bisa ngomong, antara dunia sana dan dunia sini, orang mati hidup lagi, orang tidak mati sekali tapi mati berkali-kali, itu kan dongeng. Saya masuk ke dalam dongeng dan saya menceritakan kepada teman- teman semua dengan aktualitas yang baru. Alasannya, karena sebenarnya bukan itu yang ingin saya ceritakan. Ini hanya kayak kita main bola sodok saja, saat kita mau memasukkan bola. Bagaimana caranya memasukkan, saya tidak memukul dia. Ini efek masuk lubang. Jadi ceritanya tidak penting. Cerita saya itu seperti brem Bali. Brem Bali itu anggur. Jadi, cerita saya itu seperti anggur yang membuat Anda teler.

Sebenarnya apa kekurangan dunia sastra kita? Kritikus. Tak hanya di sastra sebetulnya, tapi juga di bidang seni lainnya. Siapa kritikus musik atau seni rupa? Dulu di sastra ada HB Jassin, tapi setelah beliau nggak ada kita tidak punya lagi kritikus. Dulu kita sempat buat workshop kritikus, sempat muncul lalu hilang lagi. Memang profesinya ini tidak populer.

Sebagai pengarang, anda punya idola tidak, artinya ada pengarang yang anda kagumi?

Pram (Pramoedya Ananta Toer) saya suka. Saya pengagum Pram. Muchtar Lubis saya juga suka.

Kekuatan tulisan atau karya mereka apa?

Kalimat-kalimat yang Pram gunakan imajinatif. Dalam merangkai kalimat singkat-singkat, tajam dan memiliki daya imajinasi yang cukup tinggi. Selain itu, isi ceritanya juga tidak membuat kita menjadi bodoh. Dia tidak sealiran dengan saya. Cerita saya kan lain, cerita gila-gilaan. Saya melihatnya dari sisi situ. Jadi kalau saya membaca itu dituntun kepada sesuatu. Dia kan kalau menulis, pakai sejarah segala macam, pakai observasi, referensi segala macam dengan kata lain tidak begitu saja. Dia itu pernah mengajari bagaimana mahasiswanya disuruh riset sebagai latar belakang. Saya mengarang, dalam mengarang yang gila-gila itu, pakai riset juga, tapi memang riset saya tidak data-data seperti itu. tapi, saya melihat, mendengar dan merasakan dan mengamati mimpi-mimpi saya. Jadi semuanya ada di kepala saya sehingga, kalau saya membaca tulisan-tulisan yang mengada-ada itu kadang saya tertawa saja.
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *