Suriali Andi Kustomo
suaramerdeka.com
TIGA belas tahun yang lalu, saya memberi kata pengantar buku Roa, sebuah buku karya sastra terjemahan. Namun bukan buku terjemahan sastra asing ke bahasa Indonesia atau sebaliknya – dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, Perancis, Jepang, atau bahasa lain sebagaimana karya Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, Mochtar Lubis, Goenawan Mohamad, dan sastrawan Indonesia lainnya.
Buku itu tidak lain adalah kumpulan puisi terjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Tegal alias Tegalan! Lanang Setiawan yang menjadi penerjemah merangkap editor berhasil merayu sejumlah kawan: Yono Daryono, Nurhidayat (Poso), Nurngudiono, Roffie Dimyati, Hartono Ch. Surya, dan saya sendiri, bergabung di gerbong penerjemahan fenomenal itu.
Tidak tanggung-tanggung yang diterjemahkan puisinya adalah karya penyair besar Indonesia seperti Chairil Anwar, Rendra, Taufik Ismail, Hartono Andangdjaja, Yudistira ANM Massardi, F. Rahardi, dan penyair lainnya.
Seperti sudah dapat diduga, penerjemahan itu pun tanpa kulonuwun kepada para penyair atau ahli warisnya. Pokoknya, diterjemahkan. Dalam pengantar Roa (Mimbar Pengajian Seni dan Budaya, Tegal, 1994), saya mengingatkan bahwa puisi terjemahan tersebut bisa jadi sampah belaka jika upaya itu sekadar mencari efek komedikal dari bahasa Tegalan. Terlebih bila penerjemahan tersebut dilakukan tanpa memperhitungkan nuansa dan makna puisinya.
Namun saya pun menyambutnya dengan antusias bahwa betapa pun menulis dan membaca dengan menggunakan ungkapan dan pengucapan bahasa ibu sendiri lebih memungkinkan kita (Wong Tegal) lebih bisa menemukan diri kita meskipun kelihan norak, lucu, wagu (aneh), dan (bagi orang lain) ngisin-ngisini (memalukan).
Efek penerjemahan tersebut memang di luar dugaan. Orang terutama sejumlah sastrawan, ramai membicarakan gaya nylenehdari Tegal itu. Sejarah kemudian mencatat, bahasa (sastra) Tegal mulai banyak diperbincangkan media.
Terlebih meskipun dari sekian puisi hanya puisi Rendra yang “meledak” tetapi sempat bikin geleng-geleng kepala dan ketawa orang yang mendekarnya. Puisi Rendra — “Nyanyian Angsa,” di-traslate Lanang Setiawan menjadi “Tembangan Banyak.”
Dari kalangan seniman Tegal sendiri sebenarnya ada beberapa orang yang mempertanyakan kualitas sekaligus motivasi penerjemahan tersebut. Lutfi AN misalnya, bahkan sempat menyayangkan saya karena memberi kata pengantar buku tersebut.
Selain dianggapnya sekadar main-main saja, publikasi terhadap Roa lebih banyak diangkat dari sisi keanehan penerjemahan daripada menyoroti kualitas penerjemahan itu sendiri. Ramainya publikasi pun akhirya menyeret puisi terjemahan menjadi ikon sastra dan bahasa Tegal.
Hanya sayang, ide main-main tetapi cerdas itu bila melihat kurun waktu kemunculannya (1994), rupanya terjebak kepada keasyikan menikmati booming dan efek publikasi “kehebatan” puisi terjemahan. Meskipun tetap ada saja orang menulis dengan bahasa Tegal bahkan seperti media cetak dengan bahasa Tegal, tetapi perkembangannya lambat. Selain karena minimnya penggerak, juga tidak adanya media yang secara khusus memberi ruang bagi ekspresi bahasa Tegal.
Menulis Bahasa Tegal
Pada bagian lain pengantar Roa, saya sebenarnya memberi semacam permakluman kepada mereka yang pro maupun kontra bahwa “gerakan” ini (maksudnya penerjemahan puisi tersebut) menjadi teramat penting bagi Tegal untuk menumbuhkan “bahasa ibunya yang kalah” sekaligus menziarahi kembali bahasa dirinya yang tercerabut, walaupun harus melalui medium atau karya “orang asing”.
Strategi ini cukup realistis mengingat tradisi menulis dengan bahasa Tegal belum begitu tumbuh. Untuk mendorongnya butuh pengungkit melalui bahasa Indonesia. Transformasi ini diharapkan berjalan lebih mudah hingga menyemai minat orang Tegal menulis dengan bahasa Tegal.
Dalam pemahaman saya sekarang, upaya penerjemahan ini dalam dunia pemasaran dikenal strategi co-branding di mana produk (bahasa Tegal) yang belum dikenal mengikuti merek yang sudah dikenal (bahasa Indonesia).
Ketika produk pengikut tidak bertransformasi dan berinovasi, produk ini akibatnya hanya akan dikenang saja. Itulah sebabnya upaya-upaya menumbuhkan tradisi tulis dalam bahasa Tegal harus menjadi prioritas.
Lanang Setiawan dan kawan-kawan lain bukan tidak melakukan tetapi menurut saya kegigihan mereka masih harus diintensifkan. Artinya jangan keenakan terus menjual “produk lama” yaitu puisi terjemahan dengan segala efek geer-nya tetapi juga butuh produk baru yang lebih fresh dan otentik.
Maka itulah kemunculan cerita bersambung berbahasa Tegal, Martoloyo karya Saroni Asikin yang setiap hari dimuat di surat kabar ini patut diberi apresiasi. Bukan saja kepada penulisnya yang telah berjuang keras menggali dan menyuguhkan tetapi kepada Suara Merdeka dan para pembacanya.
Dalam catatan saya, Martoloyo adalah naskah bahasa Tegal (kontemporer) yang bukan saja menarik tetapi terpanjang yang ditulis orang.
Ini juga membuktikan bahwa ada orang yang mampu menggunakan bahasa Tegal dengan memikat dan mampu “bernapas panjang”, tidak sekadar tulisan atau puisi yang asal tulis belaka.
Di luar diskusi, kongres, penulisan yang telah ada, dan bentuk sosialisasi lain, sudah saatnya setiap orang Tegal didorong menulis dengan bahasanya.
Bebas. Tanpa perlu takut salah atau ada yang mencoba menjadi “penguasa bahasa” sebab memang tidak ada otoritas dan pembakuannya.
Kalau ada yang menulis secara kasar dan terkesan tidak menghargai sopan-santun, biarlah itu menjadi cermin diri penulisnya. Tidak perlu risau atas semua ini.
Maka ketika dalam proses menulis Martoloyo, Saroni Asikin menanyakan beberapa kata dan ungkapan bahasa Tegal, saya akhirnya bilang, “Pokoknya tulis saja, tidak perlu takut salah, asal komunikatif dipahami Wong Tegal, tidak lepas konteks, dan syukur menarik. Anda bahkan bisa mencipta bahasa Tegal menurut versi Anda sendiri!”
***