Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=349
Dante Alighieri lahir di Florence 1265, meninggal dunia di kota Ravenna, Italia 1321. Menulis sajak secara autodidak dan sempat kuliah di universitas Bologna. Oleh ingatannya atas perkenalan dengan seorang gadis bernama Beatrice, terlindaslah mengarang sajak-sajak menuju ketenarannya yang bertitel Divina Comedia (1307 – 1321). Pernah dipanggil ke Bologna menerima tanda penghargaan tertinggi sebagai penyair, namun ditampiknya. Divina Comedia terdiri tiga bagian, Neraka, Antara Neraka dan Surga, Surga; masing-masing 33 nyanyian. Menurut Ibnu Arabi, Dante terinspirasi Isra’ Mikraj Nabi Muhammad SAW dalam pokok fikiran sajak-sajaknya.
***
Di jalan sunyi, debu-debu menandakan bumi semakin tua, Dante berlari-lari kecil menyambut senyum Beatrice, saling memanggil berkejaran serta sembunyi. Ada tawa renyah di balik mata jelita, seakan tiada peperangan juga intrik di masa mendatang, pahit getir hati pun belum tersingkap realita.
Nyanyian kanak penuh impian terindah laksana bintang-gemintang malam hari di balik kaca bening rumah. Nafas-nafas mengeja kabut, embun di kening daun-daun, masa dilalui penuh keriangan, ketentraman dilindungi kasih sayang.
Jika matahari mulai tampak bersinar, merindu kuncupan mekar, tak harus dimaknai kerutan dahi, lewat kerlingan mata sudah sampai. Sebab ketulusan menghantar menyeberangi gemawan, menyusuri lembah pebukitan belum tampak gerak peradaban.
Waktu mendetak pelahan selembut sungai memantulkan inspirasi semua orang. Ada kemurnian sampai ke lautan, ketika naluri menerima kehati-hatian. Saat usianya menanjak dewasa, senyum Beatrice kian berbunga, tubuh montok menebarkan bauan sedap. Jika malam paling padat, siang seteduh bulan kesiangan.
Dante ibaratkan puisi hidup, tiap lekuk badannya bersimpan perbendaharaan, bait-bait gaib sulit digubah kecuali berpanggilan senja; kesejatian hayatlah terpancang di sana. Dante tergila-gila bayangan sendiri, terperas nalar kesenimannya tak juga sampai, sebab wanita agung menghitung nasibnya melewati jari-jemari.
Tahun 1289, Dante bergerak ke medan militer sebagai pemimpin pasukan dan mendapati nama baik, tapi takdir keintiman bersama Beatrice tak semulus karirnya. Nasib malang jatuh kentir kalau tak malang melintang kembara, menyusuri jalan-jalan dulu yang usang, menelisiki menjejakkan mimpi tertutupi debu-debu perubahan, kesirnaan tampak kala pujaan hatinya direbut seorang bangkir; Portinari.
Menggelandang jiwa terluka mencari keteduhan, menghibur diri belajar tekun berendaman di sendang kefalsafahan hayati serta ilmu ketuhanan. Kenangan menjelma racun, madu murni pun ampas tebu, tergantung mengolahnya, kepahitan menyodok ke batas kegelisahan juga ambang kegoblokan, di sini insan unggul diuji, lolos atau hancur.
Was-was ketakutan ialah tembang terindah, sedang harapan elok hanya kelembutan mega, dirinya tak pantang menyerah menyelidiki masa dilampaui sambil membolak-balikkan catatan di samping mencecap madu keilmuan. Memeras kalbu fikiran memadukan kata-kata pun warna yang melintas di awang-uwung pencarian, mengendap kadang berjingkat melesat, ingatan-ingatannya jejaring siap menangkap ruh gentayangan.
Kabar kemenjadian puisi belum terungkap, syair durung dikeruk sedari dasar bumi kehidupan, bersuntuk siang-malam hingga badan panas dingin tak dihirau, terpaku segugusan piramida keyakinan seperti patung sphinx penjaga harta pengetahuan. Terus mengupas hati lapis demi lapis membuncah gairah tak terhingga, lembar demi lembar merontokkan keyakinan semula, atau tengah disusupi iman tunggal kehadiran niscaya sekabaran neraka.
Tetes-tetes keringatnya menetaskan burung-burung ajaib menerbangkan lebih jauh dari penalaran firasat, ada tertanda setiap langkah manusia diyakini, laksana menggiring angin bersayap perkasa. Begitu jauh menarik kaidah tersembunyi bagai mata dibuyarkan cahaya, kian terang pucat laksana mayat, dirinya digetarkan lebih hidup dari apa yang dirasai sebelumnya.
Disusupi hawa menggelinjak ombak membentur batuan karang, cerdik cekatan memotong satu-satuan masa. Umpama air laut menjelma garam, tubuh meringkuk gembel di tepian kamar belajar jauh dari mata-mata. Gemuruh badai hayat terus menerbangkan jiwa, diayun-ayun pusaran taupan melempeng keras, puisi sebagai keyakinannya.
***
Di bawah ini kuambil nukilan NERAKA III, 1-9 karya Dante Alighieri dari buku Puisi Dunia, jilid I, susunan M. Taslim Ali, terbitan Balai Pustaka, 1952.
Karena aku kaupun masuk kota sengsara
Karena aku kauderita sangsai tak berhingga
karena aku kaulihat bangsa dilaknat siksa.
Lantaran adil-Nya akupun dicipta-Nya
Kasih pertama bekerja membangun aku
Ditilik mahabijaksana dan iradat-Nya.
Selain yang abadi, tiada ciptaan ketemu
Sebelum aku, pula abadi perlanjutan aku:
Lepaslah, siapa masuk, segala harapanmu!
Lalu kutatap kata-kata yang suram itu,
Tertulis di papan pada atas rangka gerbang.
Kataku: Sungguh kejam tulisan dinding itu.
Tapi aku diisyaratinya lembut dan terang:
Di sini pantang memutar pikir ke belakang,
Membiar ketakutan di cermin hati membayang.
***
Kurasakan kata-kata dalam sajaknya diruapi alam kubur, ataukah sudah meruh kebakaan berabadi. Dante memandangi dunia tak lagi di tempat menggigil, sangat tegar melebihi perhitungan iman yang tertancap di setiap kata-hati.
Ada perjanjian tak dapat diundat perubahan, diresapi kehusyukan batu goa, tiada sanggup melewati kecuali kesabaran air menelisiki serat-seratnya. Ada pecahan sejarah takdir menghempas cahaya, Dante menangkapnya bagai menyambar petir menjelma trisula, menggeledek nalar-nalar pembaca.
Jikalau diriku tak hadir di akhir jaman, mungkin tak sanggup membacanya lebih jelas dari ucapan; peradaban kini tanjung karang tinggi menjulang. Aku saksikan karyanya serupa kota tua paling angkuh dan belum ada mampu merobohkan, sebab telah mengikat nasib mereka dengan perjamuan kekekalan.
Nujummu Dante tertoreh di sini, di belantara puisi sewujud singa mengaum meruntuhkan mental-mental tanggung. Lewat tetesan keringat meluncur dari keningku, kuterjemahkan padatan waktumu atas restu Maha Waktu. Dan kusetubuhi maksud yang pilu, keluar masuk kesuraman terjal tanpa belas kasih kecuali bayangan cermin iradat-Nya. Maka kuciumlah keningmu dalam keabadian.
***