Dingin

Yuki Anggia Putri
http://jurnalnasional.com/

7 Desember 2008, 7.30 a.m., Incheon International Airport.

Aku tersentak bangun ketika suara kapten pilot meraung lewat headset yang terpasang di telinga. Aku menggerutu dalam hati, lupa mencopot benda itu sebab terlena dibuai kantuk. Kapten memberitahu bahwa 30 menit lagi pesawat mendarat di Incheon dan suhu udara kini adalah minus empat derajat Celcius.

Debaran jantungku menjadi kacau, bukan karena getaran pesawat yang menurun dan hentakan roda kecilnya ke aspal, melainkan getaran yang lain, berbeda, terasa asing. Itu bertambah parah ketika aku harus lama mengantri untuk pemeriksaan imigrasi. Orang bule itu mungkin bermasalah. Aku pindah jalur antrian. Pasangan suami-istri dari Indonesia dengan anak yang berjejer, lima orang kecil-kecil.

Aku? Aku! Sendiri…

Segera kucari ia di sela-sela lembaran tiket dan paspor. Tak ada. Ia menguap. Kucari orang yang merokok, siapa tahu ia di sana. Nihil. Mana mungkin ada orang merokok di ruangan ini. Hhh… kucari lagi pada anak demi anak tangga eskalator yang menurun, namun semakin ke bawah ia semakin menghilang. Di antara koper-koper tergeletak belum diakui pemiliknya, terus kuintai ia.

Ah, ia menghilang lagi. Menguap.

Bandara yang lapang ini seolah mengejek kesendirianku. Aku tersesat dalam kelapangan ini. Ketika kulihat pintu keluar, lantas aku lari. Berharap dapat mengejarnya.

Huiss….

Angin yang membekukan menerpa wajah. Kontan hidungku sesak dan kepala pening. Tubuh gemetar tak terduga. Aku terhuyung-huyung melawannya. Ia menjadi udara yang melayang bebas, menembus hatiku.

7 Desember 2008, 7.45 p.m., Myeongdong Shopping Street.

Ia menjadi uap yang menyeruap dari kepekatan Excelso. Aku tergesa-gesa menghirupnya. Terlambat. Ia menyelusup lewat jendela yang dibuka wanita itu. Yang sedari tadi tak henti mengembuskan asap lewat hidung dan mulut. Asap-asap itu berebut menyusup ke dalam mantel dan syalnya yang tersampir di kursi. Bahkan ada yang meluncur turun melesat ke dalam boots-nya. Ah, aku lengah sehingga terlupa ke mana ia pergi.

Dari balik jendela kaca itu, ia menantang. Beribu-ribu berterbangan ke sana ke mari dikayuh angin. Aku tahu ia sedang menggodaku. Lantas aku bangkit hendak menangkapnya. Terlambat lagi. Ketika aku turun dan menghajar pintu demi memeluknya, ia lari menjauh. Ia tinggal putih yang menghiasi jalan dan terpal-terpal yang menutupi dagangan orang. Ia tinggal basah yang membuat aku berkali-kali tergelincir hampir terjatuh. Aku pulang dalam kuyup. Menyusuri butik-butik, toko kosmetik, kedai kopi, dan restoran, Korean dan junkfood, di Myeongdong. Menuruni stasiun metro tembus ke Lotte Department Store. Menuju hotelku.

8 Desember 2008, 8.25 a.m., Room 2925 President Hotel.

Di antara udara yang mengembun di balik kaca, kubelai ia. Tapi, ia lenyap bersama usapan jemari. Kubantu dengan embusan nafasku. Ia mencoba ada. Lalu tiada. Kupindahkan pandangan lebih jauh. Ke arah gunung-gemunung di ujung sana. Terlalu jauh. Tak tampak. Lalu kulihat ia di atap gedung-gedung itu. Ada jejak-jejaknya. Sisa perburuan semalam. Namun jejak-jejak itu surut bersama angin. Bersama hangat matahari yang malu-malu. Dan buldoser pun menguruknya bersama pasir di balik gedung City Hall.

9 Desember 2008, 11.17 a.m., N Seoul Tower.

Kurogoh koin-koin yang semalam kumasukkan asal ke dalam tas. Beberapa keping 100 Won kuambil. Ternyata tak cukup untuk menggunakan teropong itu. Untung ada mesin penukar koin. Kuselipkan selembar seribuan, dua koin 500 Won berdenting. Segera kumasukkan pada sebuah teropong yang menganggur, di hadapan kaca yang bertuliskan Jeju Island 1,211.09 km.

Kupicingkan mata agar dapat memandang ia dengan jelas. Aku bingung. Berbagai arah kuamati, ia tak hadir jua. Tiba-tiba setitik cahaya berkilat menyilaukan sebelah mataku. Itu dia. Di sana. Tapi entah. Aku tak bisa membedakan mana utara-selatan, mana barat-timur. Andai pun tahu, percuma, aku asing di kota ini. Yang pasti ia tak berada di gunung Namsan ini, ia ada dalam sebuah sudut.

9 Desember 2008, 8.15 p.m., President Hotel Lobby.

Aku bertemu dengan teman lamaku, pria Korea yang pernah kuliah satu semester di kampusku. Kusebut ia dengan haraboci, kakek.

?Haraboci, apa kabar!? Teriakku sambil memeluknya erat. Kepalaku mampir di dadanya. Haraboci tambah gemuk, mungkin karena porsi makanan Korea yang extra large. Haraboci mengajak sahabatnya datang untuk dikenalkan. Maka kami menunggu di lobi. Dan ia pun datang. Langkah demi langkah…

Putih.

Ia begitu putih.

?Kenalin, namanya Panda. Dia kayak Panda kan, yang dari China.? Haraboci memulai dengan tawa lepas. Kami bersalaman.
Panda. Putih…

?Ani, Lee Pan Jin?, ia meralat.

Aku resah. Kami belum berbicara. Ia tidak bisa bahasa Inggris, terlebih Indonesia. Ia terus bercakap dengan Haraboci. Tiba-tiba menoleh padaku dan berkata, ?Cantik!?
Aku beku dalam diam. Ditemani angin yang terus bergulung. Menatapnya dalam putih. Hari ini ia tidak menjadi uap ataupun kapas-kapas dingin yang berterbangan.

Ia ada.

10 Desember 2008, 9.45 p.m., Room 2925 President Hotel.

Ia tinggal dalam kata. Dalam huruf-huruf neon yang berbaris di puncak gedung Samsung itu. Ia ada dalam setiap titik yang membentuk kata itu. Happy Forever. Aku bermalam dengan kata-katanya.

11 Desember 2008, 10.05 a.m., President Hotel Lobby.

?Maaf Haraboci, udah nungggu, kamu udah sarapan??

?Belum, nanti aja. Ayo pergi!? Ajak Haraboci, menarik tanganku. Udara pagi ini tak terlalu dingin, matahari lebih terik daripada beberapa hari lalu. Kami turun ke stasiun metro City Hall. Haraboci sempat salah jalan. Aku menertawainya.

?Masa? orang Korea gak tahu jalan, tinggal di kampung, ya?? lagi aku meledek tempat tinggalnya yang lumayan jauh dari Downtown Seoul (Walaupun kuakui stasiun ini memang rumit karena merupakan stasiun transfer, tempat penumpang ganti jalur kereta).

?Yangjae itu kalau di Jakarta, Pondok Indah, tempat rumah orang kaya.?
Jawabnya nyengir dengan bahasa Indonesia khas logat Korea.

Kami naik kereta jalur 1. Dari City Hall menuju Seoul Station lalu Namyeong dan sampailah di Yongsan. Menurut Haraboci, harga barang elektronik di sini lebih murah.

?Haraboci udah lapar belum, mau makan?? tanyaku usai belanja.

?Udah kenyang, tadi udah merokok dua batang,? Haraboci menjawab dengan konyol. Aku tertawa. Lagi-lagi lelucon itu, rokok bisa membuat perut kenyang.

Pun begitu kami bersantap ria di sebuah restoran Korea. Haraboci memesan mi pedas, mi dingin, dan kimbab. Jatahku adalah mi dingin, naengmyon. Seharusnya mi ini dinikmati saat musim panas, tapi Haraboci memaksa aku mencobanya. Mi ini seperti bihun, tapi berwarna hijau. Kuahnya dicampur dengan remah-remah es batu.

Kubalik serpih demi serpih es batu itu, kusibak, ia tak ada. Ah, di mana ia, aku sangat merindukannya. Seharusnya ia selalu ada di dekatku, walaupun ia suka kelana ke entah. Aku tahu ia ada.

?Haraboci, teman kamu kok gak ikut??

?Panda? Dia kerja pulang malam.?
…..

12 Desember 2008, 11.20 a.m., KAL Limousine Stop at Lotte Hotel.

Dia menghilang.

Apakah ia menguap habis mengembun luruh mencair kuyup. Dalam kata pun tak kudapati ia.
Ataukah karena ia menjadi. Mewujud.

Aku menyesal telah menolak pelukannya. Kukira kami masih akan bertemu. Ternyata ia hanya memberi sehari. Andaikan ia kuraih saat itu mungkin ia tak akan lepas lagi dan mengembara bebas. Mungkin ia akan menyusup pada tubuhku dan tinggal di dalam darah. Pulang bersamaku. Tapi, kini…

Dadaku sesak, hatiku panas…

Aku ingin dingin itu!

Pun salju tak akan singgah di balik kaca kamarku…

Jakarta, Januari 2009.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *