Ismi Wahid
http://www.tempointeraktif.com/
Dua bola mata itu tergantikan oleh bulatan jam dinding berangka romawi yang acak. Lalu terlihat seorang perempuan mungil sedang mengutak-atik jarum jam yang tak beraturan itu di ujung tangga. Bersandar di pipi wajah raksasa. Di bawahnya terpasang kumis tebal yang melengkung teratur, seolah menyembunyikan senyum wajah yang dingin.
Poster sederhana sebuah pertunjukan teater yang dibuat oleh Wieslaw Grzegorczyk mencuri pandang setiap orang yang melihatnya. Kata dan gambar berimpit menjelaskan satu sama lain.
Tidak bergabung, hanya seperti dua telapak tangan yang bersentuhan. Wieslaw seolah ingin mengabarkan nama Lysa Spiewaczka-lah yang akan memainkan peran drama karya penulis besar Eugene Ionesco.
Ini hanya salah satu poster yang terpampang di O House Gallery hingga 6 Januari mendatang. Dalam pameran yang bekerja sama dengan Kedutaan Polandia itu, lebih dari 40 poster event dipamerkan dalam tajuk “Polish Poster Exhibition”.
Muhammad Zamzam Fauzanafi, antropolog visual, dalam katalog mengatakan antara kata dan gambar menjadi satu media yang saling melengkapi. “Mereka tak tereduksi menjadi sekadar informasi, tetapi juga jadi sensasi,” ujarnya.
Lihat saja poster yang dibuat oleh Franciszek Starowieyski, vulgar dan penuh sensasi. Lagi-lagi poster pertunjukan teater. Kali ini diperankan oleh Hedda Gabler dengan judul naskah Ibsen (1997). Di situ tergambar jelas tubuh seorang perempuan bertelanjang dada. Payudara yang menyembul dirambati oleh kumbang badak. Perempuan tersebut seperti membiarkan saja makhluk mungil merambati dadanya itu dengan kaki yang menancap bergerigi.
Tubuh masih saja menjadi bahan eksplorasi yang menarik. Tabu karya Andrzej Pagowski menampilkan siluet hitam tubuh perempuan dengan lingkaran rumput berwarna kuning kehijauan yang terpasang di sekitar vagina. Gambar yang sederhana namun isinya tersampaikan. Seolah terjadi interaksi yang sepadan bahwa kata menguasai gambar, pun juga sebaliknya gambar menguasai kata.
Ada lagi poster karya Andrzej Pagowski. Ia menggambarkan sebagian organ tubuh saja, yaitu bibir. Dua bibir berlainan warna terlihat saling menggigit–tergambar secara karikatur. Poster film Sceny dziegiege z Zycia prowinsji (1985) ini seolah-olah lebih menonjolkan gambar dibanding kata.
Makhluk-makhluk aneh juga bermunculan. Mereka berhibridisasi dengan manusia. Poster 34th International Short Film Festival (1997) karya Stasys Eidrigevicius tampak ganjil. Meski bertubuh dan bertangan manusia, kepalanya membesar dan terperangkap oleh balutan kertas yang berselimpangan ke sana-kemari.
Selain itu, makhluk ganjil kaya warna bermunculan dalam poster International Festival Puppetry Art XVII yang dibuat oleh Michal Klis. Makhluk-makhluk itu seperti baru saja muncul dari danau cat beraneka warna.
Poster masih saja dibebani oleh keberadaannya sebagai penyampai informasi, entah berbentuk imbauan, peringatan, perintah, atau hanya sekadar menawarkan sesuatu. Beban itulah yang kemudian diekspresikan melalui kata serta gambar yang penuh sensasi, eye catching, dan bahkan diproduksi massal serta berulang-ulang. Seperti yang dikatakan oleh Zamzam, seolah poster-poster itu berusaha menguasai dan justru bukan menyentuh kita.
Maka tak ayal jika mereka–para kreator poster–memanfaatkan benda atau materi yang mulanya biasa kemudian diubah menjadi tak lazim. Seperti tubuh misalnya. Tangan-tangan mereka mempersolek obyek itu seperti terbebas dari skala, penggaris, atau desain grafis. Jarak menjadi permainan, sehingga elemen kata, gambar, dan mata kita dapat saling bersentuhan.