Albertus Prasetyo Heru Nugroho
citizennews.suaramerdeka.com
ONKOUCHISHIN, demikian peribahasa dalam bahasa Jepang yang artinya “hangatkan yang lama, peroleh yang baru”. Sejak kedatangan saya di negeri matahari ini tahun 2000 dalam rangka tugas belajar S-1, banyak hal yang saya alami, saya rasakan berbeda dengan apa yang saya bayangkan sebelum saya datang ke Jepang.
Banyak sekali barang-barang berbau Jepang yang dapat kita temui di Indonesia. Toyota, Honda, Suzuki tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dari sabun, kosmetik hingga alat transportasi kita dirajai oleh merek Jepang. Bukannya tanpa alasan kita memilih merek-merek Jepang tersebut tetapi memang karena merek-merek tersebut awet, berkualitas dan indah.
Pada saat saya datang ke Jepang tahun 2000, yang saya heran adalah mengapa masih ada juga toko yang menyewakan video. Padahal di Indonesia, jaman sudah dikuasai oleh VCD player. Keluarga yang memiliki dan menggunakan video player di Indonesia tahun 2000 mungkin bahkan bisa dihitung dengan jari saking sedikitnya.
Setelah hampir 10 tahun tinggal di Jepang, berkeluarga dengan Oshin dan bekerja di Jepang, saya kira kehebatan Jepang ini adalah pada kemampuannya memelihara barang yang lama. Bak kantong ajaib Doraemon, barang-barang teratur rapi di rumah-rumah Jepang yang mungil-mungil.
Suatu kali, saya diberi tahu teman saya bahwa di Jepang, semua orang harus belajar karya klasik sejak SMP. Karya tertua yang terkenal adalah GENJI MONOGATARI atau HIKAYAT GENJI yang umurnya 1000 tahun! Tidak hanya sebatas informasi saja yang diberikan di SMP dan SMU Jepang, namun mereka juga diajari tata bahasa Jepang Klasik yang dipakai pada saat HIKAYAT GENJI ini dibuat. Di SMU-SMU tertentu bahkan ada guru yang mengajak murid-muridnya untuk membaca karya-karya klasik dalam bahasa aslinya (Jepang kuna).
Saya tidak mengetahui bagaimana pendidikan bahasa di SMP dan SMU kita sekarang. Pada jaman saya belajar di SMP (SMPN 1 Boyolali) tahun 1993,di buku pelajaran bahasa Indonesia saya hanya ada tertulis tentang Hikayat, Syair, Pantun. Penjelasannya hanya satu halaman dan tidak ada cuplikan karya di buku pegangan saya.
Waktu saya pulang ke Indonesia beberapa saat yang lalu dalam rangka liburan, saya sangat terkejut karena buku-buku SMU banyak yang dwi-lingual. Memang penguasaan bahasa Inggris sangat membantu karier di kemudian hari, namun perlu dipikirkan juga bahwa penguasaan bahasa ibu yang baik dan menyeluruh akan membantu kita memahami sesuatu yang baru.
Pendidikan Sastra Klasik di Jepang memang saya tulis sebagai judul tulisan saya kali ini, namun yang ingin saya utarakan adalah apakah memang tidak ada upaya dari Pemerintah atau lembaga terkait untuk lebih memperkaya pendidikan bahasa Indonesia kita dengan pengenalan sastra-sastra klasik? ataukah memang pendidikan sastra klasik ini dipandang tidak perlu?
***