Prospek Sastra Jawa Timur

Beni Setia *
cetak.kompas.com

Jawa Timur sesungguhnya mempunyai potensi sastra sangat besar, yang siap dibangkitkan dengan mengakomodasi model estetika dari sastra lisan dan pertunjukan khas Jawa Timur-ludruk drama atau garingan dan kentrung, misalnya-sebagai teks yang menekankan peran dominan aku kreator yang bercerita atau menulis teks.

Satu ekspresi subyek temperamen dan berkarakter khas (selalu) ngomong terus terang ala lokal budaya arek, yang digarap dan ditransformasikan menjadi gaya personal (ekspresif) berkesusastraan.

Lantas keunikan alam dan khazanah budaya lokal yang bisa diintroduksi sebagai ciri karya yang orisinal dan eksotik, seperti yang dilakukan D Zawawi Imron dengan eksotisme sosial dan personal Madura, menyesuaikan diri dengan pola globalisasi yang sudah dijinakkan. Maksudnya, globalisasi klasik yang bermula dari modernisasi yang bermakna westernisasi telah ditafsirkan penganut postmodernism, dengan sengaja melawan kekuatan penyeragaman dan membuang sikap dependensi tergantung pada droping estetika dan gaya hidup para trendsetter, yang orientasinya penguasaan pasar.

Ini dengan mengintroduksi rumus aktif menggali lokalitas sekaligus kreatif memperkenalkannya ke dunia luar. Dalam kaitan ini, tahun lalu Mardiluhung menulis puisi “Sangkuriang” yang dipublikasikan di Kompas dan disertakan Ahda Imran dalam antologi puisi Di Atas Viaduct: Bandung dalam Puisi Indonesia (Bandung, Forum Sastra Bandung, 2009). Padahal, latar belakang penciptaan puisi itu bukan Sangkuriang yang mencintai ibunya (Dayang Sumbi), tetapi justru cerita rakyat lokal Gresik tentang seorang ibu menjadi teramat posesif menguasai anaknya dan malah ingin mengawininya.

Ada kontras sekaligus misinterpretasi. Berbarengan dengan fakta Mardiluhung ini berencana akan menerbitkan buku yang berisi serangkaian puisi dan foto dengan tema/obyek Bawean, sekumpulan puisi dengan bertolak dari satu riset lapangan, serta inventarisasi artefak sejarah dan cerita lisan/rakyat setempat. Unik. Menarik karena mampu menghadirkan fakta-fakta jejak pengelana Tionghoa dan para pendakwah lokal. Sementara S Yoga menulis banyak puisi dengan tema khazanah sosial-budaya Madura yang amat berbeda dari Madura-nya D. Zawawi Imron.

Sementara Zoya Herawati sedang menulis novel dengan tema eksistensi wanita di tengah budaya patriarki Madura di Madura. Sementara Fahrudin Nasrulloh, selain meneliti sejarah ludruk di Jombang, juga menulis sejumlah cerpen dan menyiapkannya sebagai satu buku dengan tradisi filologis. Mencerita ulang sejarah atau cerita lisan sebagai teks edisi semi-variorum sebab menyertakan catatan kaki dan komentar kritis tentang peristiwa, kejadian, dan tempat hingga terbentuk rujukan cerdas dari kisah (lisan) yang diceritakannya. Sebuah teknik transliterasi yang didongengkan dengan gaya esai, bukan tutur fiksi para pencerita dan juga bukan narasi features jurnalistik.

Sementara itu Mashuri mengumpulkan pengalaman pergulatannya di pesantren dalam wujud puisi dalam buku berjudul Ngaceng. Uniknya, penamaan ini tidak merujuk ke arah libido, tetapi merupakan pengakuan jujur seorang santri yang berkonsentrasi ke ilmu agama tetapi tidak bisa mengingkari potensi libidinal diri saat bersipergok dengan perempuan bukan muhrim. Ini mentransendensikan semua perempuan bukan muhrim itu sebagai ibu-muhrim yang haram dikawini. Dengan begitu, syahwat akan padam oleh ancaman dosa inses dan kontraksi juga otomatis ikut melemah. Hampir mendekati perintah Allah SWT bagi yang belum mampu menikah, “Berpuasalah!” Tidak heran kalau ibu merupakan ikon yang selalu digali Mashuri.

Pada tahun-tahun mendatang kita berharap akan lebih banyak sajak, cerpen, novel, bahkan esai yang ditulis sastrawan Jatim dengan estetika (tradisional) lokal, passion yang dibangkitkan oleh dan dalam karakter (jenius) manusia berkepribadian lokal, serta khazanah pastoral dan aneka cerita lisan/rakyat setempat. Itu jawaban atas semua tantangan penyeragaman pada masa dunia datar tak berbatas. Karena itu, mari kita menengok ke ke sekitar untuk merayakan keotentikan dan keunikan. Karena dengan menjadi lain dan menonjol secara berbeda, kita akan diakui ada.

Di titik ini, upaya W Haryanto menginventarisasi komunitas sastra luar Surabaya-Malang menjadi positif dan prospektif untuk membangun angkatan terbaru sastarwan Jatim-di luar nama yang telah menyeruak macam A Muttaqin, Dheny Jatmiko, atau Puput Amiranti. Semoga.

*) Pengarang, Tinggal di Caruban.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *