Setangkai Edelweiss dari Ophelia

Alexander G.B.
http://www.lampungpost.com/

AKU tak memiliki apa-apa. Hanya punya sore dan gerimis. Beberapa orang bilang aku bajingan. Aku tak marah. Sebab mungkin betul adanya. Mestinya kau membenciku. Aku tak hendak menyesalinya. Meski aku tak sejahat yang mereka duga. Semua terjadi begitu saja. Yang kusesali, mengapa aku pernah berjanji untuk setia.

Dia kembali hadir tiba-tiba. Ketika sore tanpa gerimis, sementara desir angin timur menyapa. Membawa angan tanpa iman melayang ke barat.

Kujumpai engkau perempuanku. Ophelia. Wajahmu melekat di ujung pohon-pohon yang menghitam. Daun bambu bergesekan di pojok rumah. Langit memerah, ada gurat kuning, hitam, dan beberapa gumpal awan mencoba menghapus bagian langit yang masih biru. Asap rokok dan kopi panas mencipta sosok hitam di kejauhan, mendekat dan perlahan menyata. Secara berangsur-angsur sosok hitam itu mewujud dirimu. Perempuan yang menyimpan setangkai edelweiss, dan hasrat yang tak pernah sampai. Kulihat kau tersenyum selaras dengan gaunmu yang putih susu. Rambutmu terurai mendorongku segera bangkit menuruni undakan, membuka pintu pagar dan menyambutmu.

Setelah berbagi tatap kugenggam tanganmu, dan segera kau memelukku. Kerinduan yang sempurna setelah kau tinggalkan diriku 10 musim hujan. Aku sendirian melata di kota kecil yang lembap kesedihan. Kuajak kau duduk di bangku kayu, lantas memandang langit dari ruang tamu.

Beberapa wanita lewat di depan rumah dengan rok mini dan dandanan yang tak semestinya. Kau temukan tubuhku kian kurus dan mata kian cekung. Sore beku. Halaman dan pohon-pohon kurasa berwarna putih dengan lanskap langit yang semakin hitam. Jendela masih terbuka. Mata kami beradu di ruang tamu, nafasku tertahan.

“Apa kau akan tetap menungguku meski aku tak pasti kembali?”

“Ya, akan kucoba.”

“Itu melukaiku.”

“Juga diriku, tapi apa yang bisa kulakukan selain menunggu kau kembalikan separo jiwa yang kutitipkan kepadamu pada sore yang tanpa gerimis itu?”

Ia menundukkan kepala. Tangannya masih gemetar, dengan edelweiss yang masih terselip di jari-jarinya yang lentik.

“Bagaimana jika aku gagal menjaga separo jiwamu, dan kau tak lagi menemukan warna yang selalu kau titipkan padaku? Apakah ketika itu kau akan membenciku?”

“Tidak, aku akan tetap mencintaimu. Aku tak suka berprasangka. Sekarang aku hanya ingin percaya bahwa tetap ada kemungkinan bagi kita untuk hidup bersama?”

“Harapanku juga demikian, tetapi bukankah tidak semua harapan berubah menjadi kenyataan?”

“Meskipun begitu.”

Dari ruang tamu sepintas kulihat langit, iring-iringan kelelawar keluar dari sarangmya. Seperti sore-sore yang lain sebentuk garis hitam membelah langit ketika sore lantas kabut perlahan menuruni perbukitan dan pandangan akan mengabur. Seperti bayangnya yang perlahan memudar ketika mendekati pintu kamar dan aku kembali sadar bahwa aku tetap sendiri. Aku tahu aroma tubuhnya masih jelas tertinggal di kursi kayu.

Debu-debu hinggap di jendela, mengajakku menanggalkan semua harapan, tapi tak kuhiraukan.

Di sore yang lain, kau tahu, bangku kayu itu masih menyimpan bau tubuhmu. Aku terhenyak. Awan berhenti bergerak, matahari mengintip diriku yang masih berdiri menengok jalanan dari jendela. Mataku menangkap bayang hitam perbukitan. Aku tahu tidak semua langit ditutupi awan, di bagian utara kulihat rona merah menjalar dari punggung bukit, sinar matahari mulai redup menusuk jantungku. Lampu-lampu rumah menyala. Kudengar suara piring dan gelas pecah menghantam lantai. Lantas kudengar perang mulut suami isteri yang sama-sama merasa dibohongi.

Ketika terbangun paginya, kudapati banyak halaman ditumbuhi kamboja. Hampir semua kota memutih. Aroma kamboja memenuhi kamar dan ruang tamu. Wangi tapi menyedihkan. Setiap hari, di surat kabar, berita radio dan televisi kisah-kisah duka itu menyebar, dari gang-gang sempit hingga jalan-jalan protokol, mal, plaza, kafe-kafe hingga tenda-tenda pedagang kaki lima kota ini.

Malam hari, kesedihan yang sama mengetuk kamar dan beranda, puluhan teman dan tetangga datang membawa kabar adanya pengkhianatan. Aku lupa bertanya, apakah kamu atau aku yang telah berselisih dengan nurani. Selanjutnya berita sedih yang lain mendatangi setiap rumah, setiap malam, silih berganti. Ketika hujan reda. Aku tak mampu menghindar untuk bertanya pada jalanan yang masih basah, pertanyaan yang kerap kusangkal sendiri sebab merasa semua adalah takdir yang mesti kujalani tanpa harus menanyakannya.

Tapi malam itu sungguh aku tak mampu membendung gelisahku. Aku tercekat oleh kuatnya keinginan untuk hidup bersamamu. Mengapa kau meninggalkanku, mengapa aku tak menahanmu? Bukankan aku bisa menemanimu menyelusuri kota yang terus mengasingkan dirimu? Bukankah hanya diriku yang kau harapkan? Apa artinya diriku bagimu hingga kau biarkan jarak batin kita terus menjauh? Rentetan pertanyaan lain menyerbu kepala, aku panik. Paginya pertanyaan-pertanyaan itu berhamburan di halaman, dengan malas kupunguti kembali, masih banyak cerita lain yang bisa kukabarkan kepadamu suatu ketika. Meski kamu bukan Ophelia, meski aku bukan Hamlet, tapi sungguh aku mencintaimu. Ophelia yang jelita.

Terakhir ia berkata suka memakai gaun berwarna putih susu, mengenangku di sebuah jembatan di sebuah kota yang jauh. Aku kerap mengacuhkan rindunya karena tidak tahu bagaimana meresponnya. Aku juga tidak tahu mengapa ia suka memakai gaun putih susu itu. Ia ingin aku mengiriminya bunga. Atau kartu pos bergambar lanskap kota kecilku, Tanjungkarang. Berulang-ulang ia utarakan ingin menjumpai diriku di sebuah sore tanpa gerimis itu, membawa beberapa tangkai edelweiss agar aku tak terus menerus mengkhianatinya.

Sebuah pesan singkat kau kirimkan.

“Jika suatu hari, entah besok, lusa, atau kapan pun aku gak bisa bernafas lagi. Ketahuilah kamu sebuah nama hadiah terindah yang pernah aku dapat adalah waktu aku mengenal kamu.”

Kamu di Singapura mungkin lama. Sebenarnya kau tak ingin pergi ke sana. Tapi katamu kau tak bisa menolak perintah orang tua. Kau menjauh diriku, mencoba memadamkan api yang berkobar di hatimu. Pada waktu yang laknat itu tak kuasa kau tahan rayuanku yang membuat ribuan mawar di tamanmu terpaksa mekar meski waktunya belum tiba. Kini kita sama-sama jatuh ke jurang tak berdasar. Kita lemah dan penuh prasangka. Api yang mestinya membangkitkan gairah pagi malah berubah malam. Seperti rindu yang mungkin terlanjur menjadi benci dan cemburu. Kau diam. Aku juga. Kau simpan perasaan-perasaan yang membuat hujan tak henti turun di kamarmu.

Kita sama-sama mencoba keluar dari segala prasangka. Tapi sia-sia. Kau tebus malam tanpa seorang teman. Aku pun melakukan hal yang sama. Lantas serangkaian pesan singkat kita kirimkan, kita saling berbagi dusta, bahwa kita baik-baik saja. Angin menyesalkan mengapa kita tak hendak jujur mengakui bahwa kita semakin tua dan rapuh untuk tetap berdiri di ujung jalan dengan kepala tegak lantas pergi, ada ruang kosong, ada yang terasa menyiksa setiap hari. Ruang yang aneh, seperti tembok dingin mengurung kita, menyadari bahwa kita adalah pendosa yang mengangan surga.

Aku tertawa menyaksikan kekonyolan yang kita lakukan berulang-ulang. Menyaksikan bagaimana kita mengemasi pakaian, mengunjungi satu kota ke kota lainnya. Hanya untuk sebuah harapan agar kita masih menyimpan kerinduan.

“Aku tak ingin kau selalu begitu. Betapa pun setiap orang pantas mencintai dan dicintai. Sekarang aku datang berharap kau memberi kepastian. Aku ingin kau tetap menungguku, meski aku tak pasti bisa kembali,” ujarmu.

Malam ini penuh lenguh yang aneh. Yang asing di telinga, tapi tetap kunikmati.

Hari-hari menjadi melelahkan. Sesekali kuragukan apakah kamu masih menyimpan warna yang dulu pernah kutitipkan. Mengenangmu seperti menguak luka lama yang selalu basah dan pedihnya tiada tara. Dadaku seperti tertusuk pisau tumpul. Tapi aku tak menyalahkanmu. Kau juga pantas untuk ragu. Sebab sebenarnya bukan aku yang membuatmu ragu, tapi pikiran-pikiran diriku tentang kamu yang meragukan apakah kita masih bias bersama. Kepanikan ini membuatku berprasangka yang tak semestinya. Kau pun hanya diam. Sore penuh awan hitam. Aku menunggumu, tak hendak melupakan atau mengenangmu secara berlebihan.

Engkau bilang sedang dipantai bersama teman-temanmu. Aku duduk di ruang tamu menonton televisi sambil meneguk segelas kopi dan mengisap berbatang-batang rokok. Kepulan asap rokok menyusun wajahmu. Ruang tamu jadi penuh kamu. Lantas kumatikan rokok, kubuka jendela, dan angin yang semilir segera membawamu ke lubuk malam. Beberapa kali kau kirimkan pesan singkat.

Aku mencari kesibukan lain. Menyusun buku di lemari, merapikan tempat tidur, menutup semua pintu dan jendela. Dering telepon membuatku terdiam. Kutahan semua keinginan untuk mengangkatnya. Bukankah lebih baik kau melupakanku. Tak ada apa pun yang kulihat sore itu, kecuali rasa putus asa yang dalam dan tak mampu kuselami. Kau yang pernah membuka pintu, tetapi tak membiarkan diriku benar-benar masuk ke dan menetap. Jendela ini selalu kubiarkan terbuka.

Kau berkelana di antara bunga-bunga salju yang semerbak dikayuh angin. Bersemayam dalam impian mawar yang bermekaran di sepanjang taman. Kau tertawa bersama hangat pagi yang berkilauan. Aku hadir dalam mantra para tukang sihir. Aku lahir dalam sebuah mitos. Cinta sejati. Yang bagi kebanyak orang tak lebih baik dari kotoran ayam, atau kentut yang akan menghilang setelah sesaat menyapa hidungku.

“Kamu masih menunggu aku? Tunggu aku ya. Janji,” ujar Opheliaku yang sedang belajar di Singapura.

Aku mengutuki hari yang kuyup karena hujan itu. Seperti aku mengutuki air yang terus menetes dari pelupuk matanya ketika ia tak mampu menahan keinginan untuk bertemu.

Kepulangannya memang kuharapkan sejak awal, seperti aku menerima kehadirannya dalam sejenak hidupku. Tapi aku tidak pernah siap melepaskannya. Merelakan tangan itu bermain dengan hampa. Aku sangat mencintai Ophelia meski aku bukan Hamlet seperti yang selalu kau duga. Sebab aku juga tahu kamu bukan Ophelia yang sebenarnya.

Setangkai edelweiss kembali tergeletak di meja kamarku pagi ini. Selembar kartu pos dari Jakarta.

Hampir sepuluh tahun aku menyimpan luka yang masih basah dan pedih sekali… dan aku berharap kamu lah sebuah nama yang akan membalut lukaku ini. tapi akankah lukaku ini bisa kering kalau? Ah, entahlah mungkin cuma waktu yang bisa menjawabnya.

Ophelia.

Celaka, aku tak tahu Ophelia mana lagi yang meletakkan edelweissnya untukku.

Bandar Lampung, September-November 2009.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *