Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=374
KEPADA PENYAIR
Alexander Pushkin
Pantangkan penyair, mengharap sanjung yang ramai.
Riuh tepuk mereka sebentar mati gemanya;
Lalu kaudengar putusan timbangan Pak Tolol
Dan ketawa halayak yang bikin hati patah;
Tapi andai kau teguh, tak guncang dan sederhana,
Rajalah engkau dan nasib raja hidup sendiri.
Bathin bebas didiri berseru padamu: Teruskan!
Sempurnakan kuntum indah dari mimpi-mimpimu,
Tapi jangan harap-puji atas buah ciptamu.
Puji berakar di bathin; hakimnya engkau sendiri,
Dan ambil putusan terkeras terhadap diri sendiri.
Tapi, andai kau puas, biar itu kawanan menggonggong
Peduli mereka meludah dinyala siar mimbarmu
Dan pada tarian asap menyan dari kuilmu.
*) dari buku Puisi Dunia jilid I, susunan M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952.
Jaman gemilang abad 19 kesusastraan Rusia didahului kemegahan Aliran Klasik, dipelopori Krylov, Derzjawin, Joukowsky, yang puncaknya Alexander Sergeyevich Pushkin (1799?1837). Seperti penyair-penyair Eropa Timur, jikalau berkenalan Byron diharukan gubahan-gubahan, tapi romantik Byron pada Pushkin berganti corak realistis. Pada usia 22 tahun terbit karangannya “Ruslan dan Ludmilla” disusul “Tawanan di Kaukasus” yang disusunnya dalam pembuangan. Naskah drama sejarahnya bertitel “Boris Godunov” dan sajaknya yang lain “Poltawa” (1828) juga berbau romantik, tapi sejak berkenalan dengan Shakespeare, membawanya condong pada realistis. Kenyataan paling tragis, kejantanannya dipertaruhkan dalam pertarungan anggar, hingga menyudahi nyawanya di tahun 1837.
***
Seperti dendang keras di kepala, batu-batu pendirian memukul waktu padatan keyakinan, penyair pejuang kusemat namanya.
Tidak berhenti hujamkan belati kesungguhan, atas kata sampai menggigil, mentalnya ditempa sendiri di kisaran masa.
Kokohnya setegar pohon purba jiwanya tak mempan digergaji cibir pilu amukan masa.
Merangsek bagai kapal di tengah samudra tak mungkin lemparkan jangkar, menari-nari ikuti ritme gelombang bathiniah.
Meluncur sebola api diuntahkan ular naga, tiada henti kepalkan tangan, baginya tiada guna siksa kesunyian pula tepuk tangan panjang.
Sebab yang sejati keberanian, hatinya meremaja, tapi sukmanya setua rimbun daun-daun angkasa, atas pengetahuan merambahi pustaka dunia.
Dirinya tak ingin jadi mayat sia-sia, menggembol nasibnya nun jauh ke puncak pengunungan sajak.
Tiada angin semua hampa ketika kepenyairannya manafaskan kalimah, keelokan kenang dibawanya matahari.
Tiadalah pamrih, hanya insan tegar sudi fahami warna, dari sanalah Pushkin melukis riwayatnya.
Nyala setiap hari menggelinjak kobarkan segala, menuju ujung uji coba memantabkan kata-kata.
Jalan pernah dilalui takkan dilewati, andai terbentur tidak menjilati kebusukan lama.
Gairah meledak-ledak jantungnya dipompa jutaan masa, digayuh rindu melampaui mata-mata.
Kisah para penyair dituntaskan, dirinya menempati sudut diimani, jarak diperhitungkan menggosongkan laku.
Syaraf-syaraf menggelisah melebihi kritik penalaran puitik, analisanya bercepatan bintang hangus ditelan perubahan.
Bukan lemparan dadu tapi otaknya menelisiki tidur dibawanya mimpi gubahan terindah sampai terjaga.
Menulis di larut malam kekosongan tubuh terdapat limpahan, penyiksaan diri kerasnya usaha menyerat aura berseliweran.
Digodoknya di tungku jiwa, diaduk-aduk mengental selumatan serpihan menjelma kesatuan.
Magnit niatnya berikatan otot mendaging kesungguhan kemerah, buah ranum dihidangkan perjamuan matahari.
Nyawa dipertaruhkan keberanian, kegilaan di sebalik romantis, realitas sampai ambang tragis kesintingan.
Dari sana terpancang kesadaran kata bermula gema, gurat makna membeledak berjuta dalam batok kepala.
Bahasa lingkar warna melesat antar benua, planet pun galaksi malam tak malam jika tanpa anggur mati rasa.
Jantung satunya seniman dipertaruhkan, perasaan ludes dipukuli realitas ditanggung pilihan keblinger.
Tapi tidakkah ketinggian pandang terhampar setubuh cakrawala, suara kata-kata menyusup dari batas-batas anasir jamannya.
Sampai gairah hidup mati berbangkit gentayangan, satu detikan picu jauh mampu kembalikan ingatan.
Kejatuhan ulang tak dirasai, diri sudah faham lautan masa depan, lebih gemuruh dari dimaknai waktu itu.
Tiada berleha menumpahkan yang terserap, hisapan candu dihayati kesuntukan melebihi dukun santen.
Adalah jarum-jarum tak berhenti mencari tiada tanding tiada banding; rasa sedari rasa telah mati rasa, Pushkin ada.
Sungguh berat menyunggi beban kata di kota keras, pertarungan hidup mati dalam laknat siksa sendirian, kalau kaki-kaki tetap berkuda meyakini.
Yang diembannya dalam hayat, hantamannya paling keras tak buat gembira atau beringas tanpa kendali.
Dirinya tetap yakin, keterjagaan kata sampai mati dikerubungi sakit tetap terima.
Sebagai penutup kupersembahkan puisi bagimu:
UNTUK ALEXANDER PUSJKIN
Meratapi tebing nasib
hatinya mendekap belukar,
dibawanya kutukan para nabi
hidup yang perih merongga kekal.
Ketika angin di jemarinya
merambati leliku waktu,
tubuh yang terbenam malam
dikepakkan sayap lautan.